24. Joshua

78 19 3
                                    

Copyright © 2020 by Cindy Handoko

"The fuck, dude!"

Teriakan Sam adalah yang pertama kali terdengar di tengah ruangan yang mendadak hening mencekam. Kalau biasanya, Bryan akan menegur si Bocah karena mengadopsi hal-hal yang nggak benar dari film Hollywood, kali ini, kurasa semua orang di dalam ruangan ini menyetujui perkataan itu.

The fuck, dude.

Apakah saat ini Topeng Putih sedang mengerjai kami? Jangan-jangan, ia sengaja memberikan klu-klu yang salah supaya kami nggak pernah bisa menemukan korban sesungguhnya? Tetapi, lebih daripada itu...

"Apa maksudnya; korban selanjutnya akan dieksekusi sekarang?" Bryan menyuarakan pemikiranku hampir kata-per-kata.

"Terus..." Alice menambahkan dengan suara tercekat, "Dieksekusi itu maksudnya diculik kayak Alexa atau...?"

Ia tidak perlu melanjutkan pertanyaan itu. Kami semua sudah tahu kelanjutannya.

Jantungku berdegup kencang sekali sampai-sampai rasanya aku mual. Ini bisa saja situasi hidup atau mati bagi seseorang di luar sana. Aku harus melakukan sesuatu.

"Guys," aku berkata sambil mengambil ancang-ancang berdiri, "Tolong kalian telepon Topeng Putih sekarang. Cari tahu apa yang udah dia lakuin ke Alexa dan apa yang akan dia lakuin ke korban selanjutnya. Siapa tahu dia angkat."

"Lo mau ke mana?" Sam bertanya dengan wajah pucat, "Gue ikut, dong."

"Nggak, please," aku menjawab, kali ini sambil sungguh-sungguh berdiri, "Gue mual. Gue nggak kuat. Harus ke kamar mandi sekarang juga."

Tidak memberikan kesempatan bagi yang lain untuk bertanya lebih lanjut, aku segera melesat keluar dari kamar Alice dan berlari menyusuri koridor asrama, menuju tangga turun yang letaknya tidak jauh dari tikungan. Sambil berlari, tanganku meraih saku untuk mengeluarkan ponsel.

Aku nyaris terjatuh di tangga karena berusaha memertahankan kecepatan berlari sambil mengutak-atik ponsel, mencari-cari nama Gwen di daftar kontakku. Saat mataku akhirnya menemukan nama itu, aku segera menekan tombol call dan menempelkan ponsel ke telinga. Untuk sesaat, nada sambung telepon terdengar, menjadi backsound menegangkan saat langkahku mulai menyusuri anak tangga-demi-anak tangga—dipadukan dengan debar jantungku yang sekarang sudah naik sampai kepala, aku mungkin bisa menciptakan soundtrack film Mission Impossible selanjutnya tanpa sengaja. Hingga akhirnya, kedua kakiku melompat dan berhasil menapak ke lantai satu asrama.

Angkat, batinku, Angkat, Gwen, angkat.

Ia tidak mengangkat.

Pantang menyerah, aku menekan tombol call sekali lagi, masih sambil berlari seperti dikejar setan, keluar dari area teras dan berbelok menuju taman belakang asrama. Angin malam seperti menyabet tubuhku tanpa ampun, seolah-olah memeringatkanku untuk tidak mengambil langkah lebih jauh dan melibatkan diri dalam bahaya yang mungkin lebih besar lagi.

Saat pemandangan taman belakang yang gelap dan menyeramkan mulai tampak, aku memelankan langkah kaki. Suasana hening malam langsung terasa menggigit begitu aku melakukan hal itu. Gwen masih belum mengangkat panggilan, dan selain bunyi nada sambung telepon, hanya suara jangkrik di kejauhan lah yang terdengar jelas.

Sesaat kemudian, sambungan telepon terputus tanpa jawaban, dan pada detik itu juga, rasa merinding mulai merambati tengkukku. Taman belakang tampak dua kali lipat lebih mengerikan di malam hari. Tidak ada barang sebuah lampu pun yang menerangi, sehingga tempat itu benar-benar terlihat seperti hutan belantara yang rajin muncul di film horor, dan aku adalah lakonnya yang bodoh dan suka menghampiri sumber bahaya.

Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang