Copyright © 2020 by Cindy Handoko
"Josh?" Aku mengetuk pintu kamar Joshua dengan pelan.
Hari ini, aku harus berbicara dengannya. Kamera yang tergantung di leherku memberikan alasan yang valid untuk itu, dan aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Jujur saja, aku juga tidak tahu harus memulai dari mana, atau hal apa yang sebenarnya perlu kami bicarakan. Toh, semua itu sudah berlalu, dan seharusnya tidak ada lagi masalah di antara kami berdua. Tetapi, entah mengapa...
"Ya, bentar," Joshua berseru dari dalam ruangan. Tak lama setelah itu, engsel pintu berderak, dan pintu mengayun terbuka, menampakkan wajahnya dengan rambut acak-acakan. "Bry," sapanya, "Mau balikin kamera?"
Aku mengangguk. "Sama ngobrol juga, sih," tambahku, "Kalo lo udah nggak masalah."
Joshua mengangkat bahu, lalu membuka pintu lebih lebar lagi. "Sure," jawabnya ringan, "Masuk aja."
Aku melangkah masuk ke dalam kamar itu. Hanya dari sekilas pandang saja, aku langsung menyadari sedikit perbedaan dari terakhir kali aku berkunjung, yang berarti baru beberapa hari yang lalu. Kamar itu tampak lebih rapi, setidaknya di sisi milik Joshua. Meja belajar cowok itu sudah ditata habis-habisan; tidak lagi dipenuhi oleh buku-buku paket yang berserakan hingga ke lantai. Baju-baju kotor yang biasanya hanya dilempar asal-asalan ke sudut ruangan kini benar-benar dimasukkan ke dalam laundry bag di bawah meja. Tong sampah yang biasanya terisi penuh juga kelihatan kosong.
Aku tertegun. Apa yang terjadi?
"Rapi banget," komentarku, "Lo kesambet apa; tiba-tiba beberes?"
Joshua hanya tersenyum kecil. Hal itu membuatku, lagi-lagi, merasa kecewa. Tidak mungkin ia melakukan hal ini tanpa sebab. Sebagai sahabatnya selama bertahun-tahun, aku tahu persis, ia bukan orang yang suka mengambil inisiatif, terutama di saat-saat kacau seperti ini. Tetapi, ia hanya mengabaikan komentarku, yang biasanya pasti dibalasnya dengan candaan.
Aku melepaskan kamera yang tergantung di leherku dan meletakkannya di atas meja belajar Joshua. "Jadi," mulaiku, "Lo masih marah, ya, kayaknya?"
"Nggak, sih," balasnya, "Sumpah, udah nggak, sekarang."
"Terus, kenapa nggak jadi ngobrol kemarin malem, habis diskusi?" tanyaku.
"Lo tahu sendiri, lah, situasinya gimana. Distracted, gue. Tapi, sekarang, kan, udah plong. Topeng Putih udah bales SMS kita—bener, pula, jawabannya," jawabnya. "Tapi, gue lumayan kaget, sih, dia nggak ingkar janji buat ngelepasin target."
Aku mengangguk setuju. "Iya," jawabku, "Kayaknya dia bingung banget, kudu gimana. Buktinya, baru pagi ini dia bales SMS-nya. Mungkin semaleman, dia stres, terus nyebat-nyebat dulu di luar."
Joshua tertawa renyah. "Itu, mah, gara-gara dia psikopat aja—mau bikin lo nggak tidur semaleman mikirin balesannya," selorohnya, "Sukses, kan, dia? Lo semaleman nggak tidur, kan?"
"Kampret," balasku, "Kok lo tahu, sih?"
"Lo ngaca, nggak, sih, pagi ini?" tanyanya, "Bawah mata lo kayak habis digebukin Andrew, nggak sadar?"
"Enak aja; gue digebukin Andrew," balasku tak terima, "Kalo iya, gue pastiin, dia lebih babak-belur lagi. Sampe nggak bisa dikenali, deh."
"Wah, ati-ati—dikejar Bryan's Fansclub lagi, loh, ntar," katanya. Lalu, ia mengubah ekspresi wajah, menirukan anak-anak Bryan's Fansclub yang lebay minta ampun, "'Kak Bryan! Kak Bryan! Keren banget—Kak Andrew sampe kayak lemper Mang Agus begitu. Jago banget berantemnya—macho abis!'"
Aku tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh Joshua. Mendadak, semua ketegangan yang selama ini membatasi kami berdua cair seketika. Rasanya menyenangkan, bisa tertawa seperti ini lagi; seolah-olah kami tak punya beban. Saat tawa reda, keheningan mengambil alih. Tetapi, bukan keheningan yang canggung. Aku bisa merasakan kehangatan meliputi kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Mistério / SuspenseSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...