88. Joshua

56 15 0
                                    

Copyright © 2020 by Cindy Handoko

Suasana asrama begitu tenang saat aku tiba, seolah-olah mengejek kehadiranku. Aku menerjang masuk melalui gerbang, menghiraukan pedagang cilok depan asrama yang melongo melihatku berlarian dengan wajah panik dan tubuh bersimbah peluh, menenteng jubah hitam yang membalut topeng putih rapat-rapat. Langkahku tidak sedetik pun memelan hingga mencapai taman belakang.

Sama seperti bagian depan asrama, taman itu begitu sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan satu pun orang, termasuk Gwen. Memang, dari perkataan Topeng Putih di gedung tadi, seharusnya rekan-rekannya sedang beraksi di sekolah, dan bukannya di sini. Tetapi, Gwen sendiri seharusnya berada di tempat ini.

Aku mengeraskan rahang. Aku harus masuk ke markas itu.

Aku menatap kostum penyamaran di tanganku, lalu celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri. Setelah memastikan tidak ada orang yang melihat, aku mengenakan jubah dan topeng itu secepat kilat, lalu mengendap-endap mendekati kolam. Tetapi, baru beberapa langkah, sebuah pergerakan dari balik batu besar menghentikanku. Aku segera melesat mundur, menyembunyikan diri di balik pilar teras belakang asrama sambil mengintip ke arah kolam.

Sebuah sosok berkostum sama denganku keluar dari balik batu besar. Aku memicingkan mata untuk melihat lebih jelas saat sosok itu berjalan lambat, meniti batu berlumut di tepi kolam. Apakah itu Topeng Putih? Batinku penasaran.

Detik selanjutnya, sosok itu terpeleset, dan aku berjengit kaget. Secara refleks, aku mengambil ancang-ancang untuk berlari menolongnya, tetapi logikaku mengambil alih. Aku masih belum tahu siapa dia. Kalau ternyata orang itu benar-benar Topeng Putih, aku harus memikirkan skenario yang matang sebelum menghampirinya dengan gegabah.

Untung sekali orang itu berhasil memertahankan keseimbangan dan tidak jadi terjatuh. Ia meneruskan langkah dengan sempoyongan, lalu berhenti sambil memegangi kepalanya. Jantungku berdebar-debar tidak beraturan, mendadak menyadari sesuatu. Postur tubuh itu... caranya bergerak...

Itu Gwen.

Tanpa berpikir dua kali, aku keluar dari tempat persembunyian dan segera berlari melintasi taman, menahan diri dari menyerukan nama cewek yang saat ini masih berdiri dengan kondisi sangat tidak stabil di tepi kolam itu. Aku sudah tinggal selangkah jauhnya dari menyambar tangan lemah cewek itu saat seseorang mendahuluiku.

Segalanya terjadi dengan begitu cepat.

Dalam jangka waktu sepersekian detik, sosok bertopeng putih lain muncul dari balik batu besar dengan kecepatan yang tidak bisa dipercaya, menerjang keluar dan menyikut leher Gwen dengan sangat keras, hingga tubuh cewek itu terpelanting ke samping, membuat sebuah pekikan histeris meluncur dari mulutnya.

Duak!

Tanpa bisa dicegah, tubuh lemah tak bertenaga itu jatuh. Sebelah kakinya terpeleset masuk ke dalam kolam. Kepalanya, yang kini terekspos lantaran tudung jubahnya merosot, mengantam batu tepi kolam dengan keras.

Seperti itu lah, jantungku berhenti berdetak. Seluruh dunia terasa melambat di sekitarku.

Apakah barusan, Gwen...

Sebuah jeritan tertahan nyaris meluncur dari mulutku, tetapi entah bagaimana, di tengah semua kegilaan yang terjadi, masih ada secuil kesadaran di dalam diri yang mencegahku untuk melakukan hal bodoh itu. Sosok berdarah dingin yang baru saja melakukan tindakan keji itu mencekal lenganku kuat-kuat. Aku membeku. Tenaganya sungguh tidak main-main.

Ia mendesis di telingaku, membuatku merinding. "Nggak ada waktu buat mastiin dia mati. Kita bisa perbaiki itu nanti. Polisi udah dalam perjalanan ke gedung belakang mal, mungkin sebentar lagi kemari. Masuk sekarang. Plan C."

Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang