Copyright © 2020 by Viona Angelica
Akhirnya aku bisa mendapatkan istirahat tambahan setelah non-stop berpikir selama berhari-hari. Setidaknya aku bisa mendapatkan waktu untuk mengejar tugas-tugasku, dan me-time yang cukup membuat otakku kembali fresh.
Kulirik jam dinding milik Catherine yang tergantung di atas lemari baju. Jam setengah sebelas malam. Setengah jam lagi mereka akan kembali berkumpul di sini untuk memberikan jawaban akhir pada topeng putih. Sebaiknya aku merapikan kembali barang-barangku yang berantakan.
Tok tok tok
Sebuah ketukan pelan terdengar dari luar.
Mungkin Bryan, biasanya ia datang lebih awal dari yang lain karena kamarnya hanya berada di sampingku. Tapi aneh, seawal-awalnya ia datang, biasanya sepuluh menit sebelum pertemuan.
"Lice?" sebuah suara maskulin terdengar dari luar ruangan, dan itu jelas bukan suara Bryan. "Gue boleh ngomong sama lo bentar?"
Jantungku berpacu lebih cepat begitu mengenali pemilik suara tersebut. Itu adalah Andrew. Kenapa dia datang lebih awal dari yang lainnya? Dan terlebih, kenapa jantungku masih berdegup sebegini kencang meskipun tahu bahwa cowok di depan pintu itu pernah berencana mengorbankan Catherine dan nyawa-nyawa lain demi kepentingannya sendiri?
Aku buru-buru merapikan rambutku di cermin dan menghela napas panjang sebelum membuka pintu kamarku.
"Masuk aja." sahutku pura-pura dingin, seakan masih sebal soal kejadian waktu itu.
Wajahnya memerah kemudian.
"Er... Cowok sama cewek kalo di kamar berdua, nggak baik kelihatan orang. Lo yang ikut gue keluar bentar aja, sekalian nunggu yang lain." sahutnya sambil mengusap tengkuk dan tersenyum kikuk.
Setelah mendengar kalimat itu ganti aku yang merasakan aliran hangat naik ke bagian wajahku. Aku tidak pernah melihat Andrew berekspresi seperti itu. "Oke." sahutku buru-buru sambil menyembunyikan wajahku yang memerah.
Ketika aku membalikkan badan untuk menutup pintu kamar, ia tampak celingak-celinguk mengawasi sekitar. Entah apa yang sedang ia cari, atau sekadar memastikan tidak ada yang akan melaporkan kami karena berkumpul malam-malam begini. Aku memutuskan untuk mengabaikannya.
"Kita muter lantai sekali, ya." pintanya.
Ya Tuhan, kenapa cowok ini malah memintaku jalan memutari lantai dengannya?
"Apa nggak bahaya kalo yang lain tahu kita keluar malem-malem?" tanyaku.
"Em... Iya juga, sih. Ya udah, di situ aja." Andrew mengajakku untuk berdiri di dekat tangga.
Kami pun berdiri berhadapan di tangga tersebut. Membutuhkan waktu yang sedikit lama sampai Andrew dapat merangkai kata-kata yang ingin ia ucapkan padaku.
"Gue... mau minta maaf soal kejadian kemarin." katanya.
"Iya, nggak apa-apa, kok." sahutku sekenanya.
"Nggak, beneran. Waktu itu gue merasa punya sudut pandang yang salah, dan seharusnya gue nggak ngomong gitu. Gue udah egois dan pingin nangkep Topeng Putih dengan jalan instan. Pokoknya, gue menyesal banget. Apalagi... sampe buat lo nangis." jelasnya.
"Gue udah maafin lo, kok. Sebenernya perkataan lo ada masuk akalnya juga. Hanya aja, gue agak nggak suka part lo mau ngorbanin semua temen—"
"Ya, I know, I was stupid—nah, not was, I AM stupid," potongnya buru-buru.
"Nggak bego, sih..." sahutku sambil tersenyum geli. "Cuma agak gesrek aja. Dan nggak punya filter..." sambungku membuatnya melongo. "Dan kasar."
"Sorry, kebiasaan—"
"Tapi itu kan yang bikin lo jadi seorang Andrew Leonardo? Kalo punya filter jadi bukan Andrew, sih, ya. Cuma cowok random yang punya rambut ombre merah aneh kayak gitu."
Senyum menghiasi wajahnya, lalu ia mengulurkan tangan kanannya padaku. "Oke, memang rambut gue aneh dan mulut gue nggak punya filter. Nggak seganteng Bryan yang dikejar banyak cewek, ataupun sesopan Joshua yang kayak anak bangsawan. Tapi ini artinya kita damai, kan?"
"Nggak nyambung, sih... Tapi oke, kita damai." sahutku menyambut tangannya dan ikut tersenyum.
"Siapa di sana!?" sebuah suara tiba-tiba terdengar dari balik tikungan, membuatku meloncat kaget ke belakang dan secara tidak sengaja terpeleset menuju tangga lantai tiga.
Aku pasti sudah jatuh berguling-guling ke tikungan tangga seandainya Andrew tidak menarikku dan mengulurkan lengannya untuk menopang badanku. Kami bertatapan selama hampir setengah menit penuh. Sinar perak bulan seakan menerangi tubuhnya yang tampak sangat mendebarkan malam itu. Kulitnya yang pucat dan wajahnya yang maskulin membuatnya entah bagaimana tampak seperti malaikat berambut merah yang sedang menyelamatkanku dari kematian.
Jantungku berdegup cepat, aliran hangat kembali naik ke wajahku.
Ketika mendapatkan kesadaran kembali, ia buru-buru menarik badanku ke atas. Kami sempat berpelukan selama lima detik sebelum ia melepaskan pegangannya dan menoleh ke sumber suara.
Bryan berdiri di belakang kami, dengan raut wajah bete dan rahang yang menegang.
"Oh, lo udah dateng. Yuk, kita ngumpul, gue tadi ada urusan bentar." sahut Andrew santai sambil berjalan melewatinya begitu saja.
Perlu beberapa detik untuk menarik kembali jiwaku yang sudah terbang entah ke mana sebelum aku mengikuti sosok itu dari belakang dengan kikuk. Wajahku bahkan masih terasa panas dan jantungku masih berdegup kencang, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Lo diapain sama berandalan itu?" tanya Bryan sambil menghentikan langkahku.
Melihat sorot matanya yang menajam dan rahangnya yang menegang, sepertinya ia salah mengira Andrew hampir mendorongku hingga jatuh ke belakang. Maka dari itu, aku buru-buru menjelaskan kebenarannya.
----------
(P.S. Gambar ilustrasi menyusul dikarenakan jadwal author lagi padat. Maaf yah, mohon bersabar:")
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Mystery / ThrillerSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...