96. Epilogue: Gwen

90 16 13
                                    

Copyright © 2020 by Cindy Handoko

Sesak.

Aku benci tenggelam.

Namun, dalam kegelapan tanpa ujung, tubuhku terus menyelam turun. Tak mampu bernapas, tak mampu berpikir. Lebih dalam... lebih dalam... lebih dalam... hingga suaraku tak lagi terdengar dan seluruh sel di dalam tubuhku tak kuasa melawan.

Seperti inikah akhir hidup?

Lucu sekali. Di mana kilasan memori indah yang kurindukan sejak kecil? Bukankah mereka bilang, menjelang ajal, momen-momen yang pernah terlalui akan berkelibatan di hadapan mata, seperti rol film dari neraka yang diputar tanpa henti? Lantas, mengapa di tengah perairan yang dalam ini, aku tidak bisa melihat apa pun selain senyumnya?

Senyum itu.

Senyum tipis yang selalu menyambangi mimpi-mimpi burukku. Senyum yang terkubur dalam alam bawah sadarku, mati-matian berusaha untuk kulenyapkan, hanya untuk mendapatinya menghantuiku lagi, dan lagi, dan lagi...

Kenapa?

Padahal, aku percaya padanya. Pada hari itu juga, aku memercayainya dengan sepenuh hati. Ia, yang menghampiriku di tepi kolam itu, dengan tatapan dingin yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Ia, yang membalas sapaan riangku dengan seringai mengerikan yang tidak mencapai matanya. Ia, yang mengulurkan tangannya, bukan untuk menyambutku, melainkan untuk mendorongku, masuk kemari; ke dalam lautan gelap yang menjeratku, memenuhi diriku dengan ketakutan dan pertanyaan.

Selamanya, aku akan terus tenggelam, dengan memori yang kian lama kian mengabur. Semua tangan yang terulur itu... apakah miliknya? Bila kusambut uluran tangan itu, apakah aku semata-mata akan melihat seringai tanpa belas kasih itu sekali lagi, sebelum tenggelam lebih jauh ke dalam kegelapan abadi?

"Menyedihkan," katanya, "Sayang, ya, padahal pintar. Lebih baik mati aja."

Suara itu.

Aku mengenalinya sekarang. Suara yang biasanya begitu hangat dan penuh keceriaan, pada hari itu berubah menjadi lonceng kematian. Suara yang akhir-akhir ini kerap kudengar lagi, tetapi tidak kukenali. Suara yang berkamuflase di balik keramahan dan senyum riang, yang berhasil mengelabui semua orang...

Aku harus keluar dari sini. Mereka harus tahu siapa orang itu. Mereka harus tahu, siapa sosok yang bersembunyi di tengah-tengah kami. Tetapi, bagaimana caranya keluar? Kalau saja aku tahu tangan mana yang harus kusambut, yang tidak akan menuntunku kembali padanya. Kalau saja aku tahu, siapa yang bisa kupercaya...

"Gwen!"

Aku tersentak bangun dengan napas terengah-engah. Selama sesaat, mataku dibutakan oleh cahaya yang terang menusuk, diikuti serangan rasa pusing yang membuat seluruh dunia terasa berputar-putar tanpa ampun. Kemudian, mataku berangsur-angsur menyesuaikan dengan keadaan sekitar, mulai mengenali di mana aku berada. Ruangan serbaputih, bau obat-obatan, selang oksigen yang terpasang kendur di hidung... Aku di rumah sakit lagi, dan persis seperti terakhir kali mataku terbuka di tempat yang sama, wajah Jo yang khawatir menyambutku. Bedanya, ia bukan lagi anak culun berkacamata yang hanya bisa memandangiku dengan takut-takut. Kini, aku bisa merasakan tangannya yang kuat menggenggam tanganku, dan sorot matanya yang intens ditujukan ke arahku.

Seperti banjir bandang, ingatan mengenai peristiwa tujuh tahun yang lalu mulai menyerangku, kali ini dengan jelas. Detail demi detail yang selama ini buram dan acak menyatukan diri tanpa aku bahkan berusaha, meninggalkan kata-kata yang sulit untuk dirangkai di ujung lidah. Jantungku berpacu, memompa dengan sangat kuat, seakan mendukungku untuk berbicara. Tetapi, saat membuka mulut, tidak ada yang keluar dari sana.

"Gwen, tenang dulu," Jo menatap mataku dalam-dalam, "Aku panggilin dokter—"

Entah dengan tenaga dari mana, aku mencekal pergelangan tangannya, membuatnya terkesiap. Namun, aku harus melakukan hal ini. Ingatan itu begitu rapuh, sewaktu-waktu bisa lenyap. Aku tidak ingin kembali ke dalam kubangan yang sama. Semua orang harus tahu. Jo harus tahu.

"Aku inget semuanya."

Suaraku serak dan asing, seperti milik orang lain. Tetapi, Jo kembali menatapku. Kebingungan, panik, terkejut... Ia menatapku sembari berusaha menyusun kata-kata.

Aku tidak membiarkannya bicara. "Orang itu—"

"Joshua!"

Pintu dijeblak terbuka, menampakkan Bryan, dengan raut paling pucat yang pernah kulihat di wajahnya, sedang terengah-engah. Rambut hitamnya berantakan, pertanda ia baru saja berlari kemari. Di ambang pintu itu, tatapan paniknya berpindah dari Jo kepadaku, dan aku berani bersumpah, sedetik lagi, kakinya akan tumbang.

"Gwen, lo udah sadar. Syukurlah. Tapi, sori," katanya, "Pinjem Joshua sebentar."

Aku memererat cengkeraman di tangan Jo sambil menggeleng, membuatnya otomatis menatapku dan Bryan bergantian, bingung harus melakukan apa.

"Harus cerita," aku berkata dengan susah-payah, "Catherine—"

"Catherine udah sadar. Barusan, muncul di berita," Bryan memotong dengan tergesa-gesa. "Dan hal pertama yang dia lakuin adalah lapor ke polisi, karena—"

"Karena dia bukan Catherine," potongku.

Keheningan menyambut perkataanku itu dalam sekejap mata. Bryan tertegun menatapku, seperti habis dirundung oleh berton-ton batu. "K-kok— kok lo bisa—"

Aku masih merasakan ujung jariku gemetaran saat mengalihkan pandangan pada Jo, yang kini berwajah sepucat kertas. Suaraku pun masih serak dan lirih saat mengatakan, "Karena, dia Topeng Putih."

Lagi-lagi, hening. Kupejamkan mata sembari menghela napas panjang. Fakta itu meluncur dari mulutku seperti air yang mengalir, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, seluruh dunia mendengarku.

"Tujuh tahun lalu, di kolam itu..." napasku terembus berat, "Catherine orangnya."

----------

Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang