Copyright © 2020 by Viona Angelica
Matahari sudah tidak lagi tampak setelah kami menyelesaikan makan malam.
Untuk pertama kalinya, kami duduk berpencar di ruang makan. Rasanya sangat aneh dan canggung karena aku tidak punya teman lain selain mereka semua. Bryan masih punya teman-teman basketnya. Joshua dan Sam masih bisa mengobrol bersama anak-anak kelas XI-B, walaupun mereka berdua juga harus duduk terpisah. Andrew masih punya Fellicia...
Cuma aku yang makan sendirian di ujung meja tanpa berbicara dengan siapa pun.
Rasanya hidupku menyedihkan. Aku ingin menangis sendirian di kamar malam ini, meratapi nasib. Tetapi, perkataan Andrew tadi siang masih terus terngiang dalam benakku, membuatku mengurungkan niat tersebut, bahkan ketika aku sudah sampai di dalam kamar.
"Gimana kalo kita coba tawar-menawar sama Topeng Putih?"
Seharusnya, aku mengatakan ide ini pada Bryan, karena rasanya ia yang paling cocok mewakili kami semua untuk bernegosiasi dengan Topeng Putih. Tapi... aku takut kalau bertemu dengan salah satu dari IMS, aku benar-benar bakal didepak keluar dari panti asuhan ini.
Sebenarnya, kami masih bisa berkomunikasi lewat SMS atau telepon, sih. Tapi, aku takut Pak Stenley memasang semacam penyadap demi menangkap basah kami seperti yang sebelum-sebelumnya. Toh, aku tidak begitu paham soal teknologi. Jangan-jangan, dia juga bisa menyadap telepon kami seperti di film-film hacker?
Aku tidak boleh mengambil risiko, deh.
Aku menatap kontak Topeng Putih yang sudah kusimpan sebelum Gwen menghapus seluruh SMS-nya. Yah, aku memang sengaja menyimpannya, sih, supaya bisa membedakan mana SMS darinya, dan mana yang SMS penipuan 'Mama Minta Pulsa'. Dengan begitu, kan, aku tidak perlu terkejut tiap kali mendapat pesan dari nomor tidak dikenal.
Eh, tapi, kalau aku menelepon Topeng Putih dan Pak Stenley sungguh-sungguh bisa menyadap telepon, apa nggak jadi membahayakan nyawa para korban? Tapi, kemungkinan Pak Stenley adalah Topeng Putih itu sendiri juga belum jelas, sih. Seandainya Pak Stenley bisa menyadap, tapi dia Topeng Putih, aku bakal aman, sih.
Tapi... bukannya Panji yang kemungkinan besar adalah pelaku itu umur tiga puluhan, ya?
Ah, bisa saja datanya salah, kan?
Setelah diliputi dilema yang cukup panjang sambil mengitari kamarku sendiri selama kurang lebih sepuluh kali, aku akhirnya memutuskan untuk meneleponnya. Nada tunggu mulai terdengar. Rasanya jantungku sudah hampir meletus saking cepatnya ia berdegup, tapi panggilan pertama ternyata tidak dijawab.
Aku menekan tombol redial, dan menunggu lagi.
"Kangen aku, ya?" tanya suara dari ujung telepon, membuatku melonjak kaget.
"E-eh..." sahutku tergagap.
"Kenapa? Tidak biasanya yang meneleponku adalah kamu, Alicia. Apakah kamu mau membicarakan sesuatu denganku secara personal? Atau jangan-jangan..." ia menggantungkan kalimatnaya di udara, membuat degup jantungku bertambah cepat. "Kamu naksir aku?"
"Astaga. Nggak." sahutku. "Gue mau diskusi soal permainan psikopat lo ini. Gimana kalo kita berhenti? Keadaan nggak memungkinkan buat kita tetep lanjut. Sekolah udah mulai ngabsen satu-satu muridnya, dan kalau lo terus-terusan nyari korban, bisa jadi lo sendiri bakal ketangkep."
"Kenapa bisa begitu? Bukankah sekarang tersangka utamanya adalah kalian?" balasnya, kentara sekali meremehkan.
Aduh, kenapa, ya? Andrew belum sempat menjelaskan kenapanya waktu tadi siang karena Pak Stenley sudah datang menginterupsi. Seharusnya aku menyusun rencana lebih matang. Kenapa bisa aku meneleponnya tanpa argumen sama sekali seperti ini? Sepertinya aku malah memerburuk keadaan.
"Ya... karena nggak ada bukti kalo kita pelakunya. Justru karena kita diawasi, bukannya lo juga bakal kena kalo misal kita ketangkep basah nyelidikin teka-tekinya, dan ada SMS dari lo?" jawabku. "Lo nggak pernah, tuh, nonton film hacker? Yang bisa ngelacak IP address dari SMS? Tadi siang aja, nomer lo hampir ketahuan sama Pak Stenley, kan? Kalo sampe ketahuan beneran... emang lo nggak takut, nih?"
"Kalau aku menghentikan permainan," Topeng Putih menjawab, "Apa untungnya buatku?"
Aku menelan ludah. "Err... kita janji nggak bakalan ngasih tahu ke Pak Stenley tentang semua ini. Kita bisa bantu lo nutupin, bahkan. Terus, dari sandera-sandera itu juga, kita—"
"Oke, deh." sahutnya langsung, sangat tidak terduga sampai aku sendiri kaget.
Oke? Berarti... Topeng Putih memang bukan Pak Stenley, dan takut kalau masalah ini sampai jatuh di tangan kepala sekolah? Atau... dia cuma mau main-main denganku, ya?
"Lagipula, permainan teka-teki ini sudah mulai membuatku bosan. Aku akan membuat permainan baru yang jauh lebih seru dari sekarang, dan akan lebih banyak darah berjatuhan." tambahnya kemudian, membuat jantungku langsung mencelos jatuh ke perut.
Sambungan telepon langsung terputus setelahnya.
Astaga. Apa yang sudah kulakukan?
Semakin banyak darah yang akan berjatuhan? Apakah aku malah memperburuk keadaan? Harusnya, aku diam saja dan tidak mencoba bernegosiasi yang adalah tugas Bryan. Seharusnya aku tidak ikut campur...
Tring...
Aku memekik kaget saat tiba-tiba ponselku berbunyi, menandakan adanya pesan masuk. Dengan tangan bergetar, aku membuka pesan itu, yang, tentu saja, berasal dari Topeng Putih.
'Selamat! Kalian sudah sampai ke babak final permainan:) Tunggu instruksi dariku, ya. Good luck.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Mystery / ThrillerSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...