Copyright © 2020 by Cindy Handoko
"Jangan nangis!" Gwen kecil berkata sambil menatap mataku dalam-dalam. Aku, dengan kacamata tebalku yang melorot, berusaha menghentikan tangis dengan cara mengatupkan mulut rapat-rapat. Tetapi, tentu saja, hal itu malah membuat sesenggukanku makin parah, dan aku kesulitan bernapas karena hidungku tersumbat ingus. Gwen mengeluarkan tisu dari tas ransel ungunya, mengambil selembar, dan mengacungkannya ke arahku. "Jangan. Nangis."
Aku mengambil tisu itu dan berniat untuk mengucapkan terima kasih, tetapi yang keluar dari mulutku hanyalah, "Mhah-hih." Gwen sepertinya tidak peduli. Saat aku mulai menggunakan lembaran tisu itu untuk menghapus air mata, ia duduk di sampingku. Tatapan matanya, yang selalu kelihatan observatif seperti sedang memindai lawan bicaranya, tak lepas dari wajah belerku yang memalukan, sampai-sampai aku nyaris membuang muka.
"Kenapa, sih, kamu nangis terus?" Gwen bertanya, "Kenapa takut sama mereka?"
Aku tidak menjawab; hanya menundukkan kepala dalam-dalam.
"Aku, kan, udah bilang. Kamu itu lebih kuat daripada mereka!"
"Bohong!" protesku, "Tadi aku coba lawan balik, mereka nggak berhenti."
"Nggak usah dilawan balik!" Gwen membantah, "Kamu diem aja. Pokoknya, aku kasih tahu kalo kamu itu jauh lebih kuat daripada mereka. Kamu aja lebih pinter daripada mereka! Ngapain diladeni, sih, Jo?"
Aku menyedot ingus, kemudian mengalihkan pandangan pada Gwen. "Tapi... mereka ganggu aku terus."
"Nggak apa-apa! Kamu, kan, punya aku." Gwen meringis, menampakkan gigi depannya yang ompong. Diacaknya rambut jamurku sambil melompat berdiri. "Yuk!" ia mengulurkan tangan, "Kita main di taman. Aku tadi ambil kamera dari ruang fotografi. Mau kuajari foto?"
Aku menatap cewek itu sekarang, sembilan tahun kemudian, terbaring lemah di atas tempat tidurku. Wajahnya, yang memang sudah pucat, tampak lebih pucat lagi. Dengan mata terpejam dan ekspresi wajah tenang ini, ia tak lagi tampak mengancam seperti biasanya. Tangannya yang lemas dan berkeringat dingin berada di dalam genggamanku. Mendengar bunyi napasnya yang lembut dan teratur, aku merasa seperti dibawa kembali ke masa-masa itu, di mana segala sesuatu masih sangat sederhana dan dia masih seorang gadis kecil yang kuidolakan sebagai sosok kakak yang tidak pernah kumiliki.
Lebih dari semua orang, aku mengenal sosok seperti apa Gwen yang sesungguhnya. Ia masuk ke panti asuhan saat usianya empat tahun. Waktu itu, aku adalah anak culun yang selalu duduk di pojok ruangan, mengamati anak-anak lain bermain dan saling bercanda. Tidak pernah ada orang yang memedulikanku. Tetapi, gadis berumur empat tahun itu menghampiri dan mengajakku bicara. Ia adalah satu-satunya orang yang memanggilku 'Jo' dan menertawakan lelucon-lelucon garingku alih-alih menertawaiku. Ia adalah orang luar biasa yang berhasil meyakinkanku untuk membuka diri dan keluar dari zona nyaman. Ia telah menyelamatkan seorang Joshua Tristan.
Dan sekarang, aku tidak bisa menyelamatkannya.
Aku menatap wajah cewek itu dalam kesedihan. Bukannya aku tidak ingin menyelamatkannya. Aku sudah mencoba, dan sampai detik ini pun, aku terus mencoba. Ia, yang dulu menjadi tempatku bertumpu, berpikir bisa melakukan segalanya sendirian. Tetapi, bahkan aku, yang memandangnya sebagai orang yang luar biasa kuat pun, tahu semua ini terlalu berat baginya. Seandainya ia mau membagi sedikit bebannya kepadaku. Seandainya...
Aku menahan napas dan segera menegakkan posisi duduk saat tiba-tiba kelopak mata Gwen bergerak-gerak. Detik setelahnya, cewek itu membuka mata. Tatapannya langsung terarah kepadaku, dan selama beberapa saat, kami berpandang-pandangan. Kemudian, seperti ditampar kembali ke kesadaran, Gwen menarik tangannya dari genggamanku dan berusaha duduk. Aku buru-buru membantunya, tetapi ia menepis.
"Apa yang terjadi?" tanyanya setelah berhasil duduk. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam, seperti menghindari tatapanku.
Aku menghela napas panjang. "Kamu pingsan di tepi kolam, Gwen," jawabku.
Gwen mendengus singkat.
"Kenapa, sih?" tuntutku, "Apa aku boleh tahu apa yang terjadi?"
"Bukan urusan lo," Gwen bergumam tanpa menatapku. Mata hitamnya menatap lantai dengan pandangan kosong. Entah di mana pikirannya berada saat ini.
"Gwen," selaku, "Ayolah. Aku cuma khawatir. Lebih dari siapa pun, kamu harusnya tahu, kan, aku pasti bakal bantu?"
"Gue nggak butuh bantuan," Gwen menjawab. Namun, kali ini, aku bisa mendengar sedikit getaran emosional dalam suaranya.
"Kenapa kamu balik ke... ke tempat itu?" tanyaku ragu-ragu.
Gwen tidak menjawab sejenak. Kepalanya masih ditundukkan, tetapi tubuhnya menegang. Aku merasa buruk telah menanyakan hal itu, tetapi aku sungguh-sungguh berharap ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Aku juga ingat, dan akan selalu peduli, akan kejadian yang menimpanya tujuh tahun lalu di tempat itu.
Gwen berdeham singkat. "Ini nggak..." gumamnya, "Ini nggak seperti yang lo pikirkan," Kemudian, ia memalingkan wajah dariku, tidak mengizinkanku melihat ekspresi wajahnya saat mengatakan hal itu, dan menyambung, "Lo tenang aja."
Aku tidak bertanya lagi, takut menyentuh topik yang sensitif baginya. Selama beberapa saat, kami hanya terdiam dalam keheningan canggung. Banyak sekali pertanyaan menyeruak di dalam benakku, dan aku tidak tahu harus memulai dari mana, atau apakah aku bahkan boleh menanyakan semua itu.
Setelah lama terdiam, Gwen turun dari kasur. Ia sepertinya sudah mendapatkan keseimbangan kembali. Tanpa menatapku sama sekali, ia berjalan dengan pelan ke arah pintu. Aku menatap punggungnya, tidak rela membiarkan kesempatan langka ini berakhir. Setelah ini, aku dan dia akan kembali seperti biasa—dia akan kembali menghadapi masalahnya sendirian tanpa membagi beban kepada siapa pun dan bertingkah seolah-olah aku tidak ada. Kami akan menjadi seperti orang asing yang tidak pernah bertukar cerita. Rasanya seperti aku telah menyia-nyiakan satu-satunya kesempatan untuk memerbaiki persahabatan kami. Tetapi, ia telah menolakku. Aku tidak ingin memaksanya bercerita kalau ia tidak mau.
Tepat setelah aku berpikir demikian, Gwen memalingkan wajah di ambang pintu. Tatapan matanya melunak saat menatapku. "Thanks udah mau nolong," gumamnya, "Bye, Jo."
Kemudian, ia benar-benar membuka pintu dan melangkah keluar.
Aku terpaku di tempat, menatap pintu yang kini tertutup sambil memutar kembali ekspresi wajah cewek itu saat hendak keluar di dalam benakku.
Apakah itu air mata?
Apakah aku baru saja melihat seorang Gwen menangis?
Saat aku masih bertanya-tanya, pintu kamarku tiba-tiba terbuka lebar. Luke masuk ke dalam ruangan dengan keringat membanjiri tubuh. Sebuah handuk kecil terkalung di lehernya dan rambut panjang sebahunya diikat tinggi-tinggi. Ia menatapku dengan dahi berkerut.
"Gwen kenapa?" tanyanya kebingungan.
Aku segera berusaha untuk menampakkan ekspresi normal. Kuangkat bahuku dan menjawab, "Nggak tahu."
Luke tampak tidak percaya, tetapi ia memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh. "By the way," katanya, "Lo dicariin Bryan, loh. Katanya udah nelepon berkali-kali. Dia minta gue suruh lo ke kamar Alice sekarang."
Kini, giliran aku yang mengerutkan dahi. "Kamar Alice?"
Luke mengangguk.
Baiklah, batinku, Apa lagi yang terjadi?
----------
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Misteri / ThrillerSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...