Copyright © 2020 by Viona Angelica
Sudah setengah jam sejak Andrew masuk ke dalam kamar Kak Benny.
Kenapa dia tidak kunjung keluar, sih? Apa yang ia lakukan di dalam sana? Apa ia sedang berdebat agar Kak Benny mau meminjamkan salah satu senjatanya pada kami? Atau jangan-jangan... dugaan Joshua soal Kak Benny mencurigakan waktu itu benar, dan sekarang Andrew sedang ditawan?
Bayangan Andrew tengah diikat dengan lakban hitam di mulutnya membuatku terusik.
Apa aku turun saja, ya, dan menolongnya? Tapi, kalau seandainya dia tidak benar-benar disekap, pasti kelihatan aneh sekali, sih. Juga, bakal membuat Pak Stenley semakin curiga pada kami. Tapi, rasanya aku tidak bisa tinggal diam seperti ini. Aku mondar-mandir di koridor lantai tiga, tepat di seberang kamar Kak Benny sambil masih melirik pintu kayu yang tertutup rapat itu sesekali.
Bodo amat, deh. Aku harus ke sana sekarang.
Cklek....
Akhirnya, pintu kayu itu terbuka, menampakan tampang datar Andrew yang tampak santai seperti biasanya. Dia tidak senang, tidak juga merasa sedih, sehingga sulit untuk membaca apakah ia berhasil meminjam senjata. Aku buru-buru lari menuruni tangga untuk keluar dari sekolah—ingin segera mengetahui bagaimana hasil perundingan dengan Kak Benny. Memang, perjanjiannya, setelah Andrew keluar dari kamar itu, kami akan ikut keluar dari tempat pengawasan masing-masing dan bertemu di luar area sekolah. Tetapi, ternyata, yang muncul hanya aku, Bryan, dan Sam—yang secara mengejutkan datang.
"Ini Joshua sama Gwen ke mana, sih?" tanyaku pada Bryan, yang hanya membalasnya dengan mengangkat bahu ketika kami sudah menunggu dua oknum itu selama lima belas menit.
"Kayaknya mereka nggak dateng, deh." sahut Bryan. "Nggak tahu juga ke mana. Dari awal sampe, nggak kelihatan sama sekali."
"Oh. Ternyata, boleh gitu, ya. Tau gitu gue pulang tadi, tidur siang." sahut Sam acuh tak acuh sambil menguap. "Padahal gue udah ngantuk banget, ini."
"Berarti lo nggak mau dapet tembak, nih, kalo lo lebih milih ngilang sekarang?" sahut Andrew sambil mengangkat bahunya.
"Akhirnya dapet?" tanyaku sambil memekik girang.
"Nggak dapet, sih." balasnya, nyengir kuda. "Nggak dibolehin sama anaknya. Pelit banget, sumpah. Udah gue kasih berbagai alesan juga, tetep nggak dibolehin. Kampret, memang."
"Yah..." sahutku sedikit kecewa. "Berarti nggak dapet senjata selain pisau lipat, dong?"
"Tuh, kan, akhirnya juga gue nggak dapet tembak. Tau gitu gue ikut Joshua tadi, biar bisa tidur siang." gerutu Sam sambil menendang kerikil di dekatnya. "Padahal bayangan gue, gue bakal dapet tembak keren kayak FBI."
"Ya udah, sih, kalo lo mau pulang ya pulang aja sono." usir Andrew sambil memutar bola matanya.
"Ya udah, bye." tanpa disangka, Sam benar-benar melambaikan tangannya dan berjalan kembali ke panti asuhan sendirian setelahnya. Kami bertiga langsung terjebak suasana canggung.
"Gue masih nggak setuju kalo lo ikut besok, lho." kata Andrew membuka pembicaraan sambil menyenggolku dengan bahunya.
"Gue juga masih nggak setuju kalo lo nggak setuju gue ikut besok, lho." balasku sarkastik.
"Gue juga nggak setuju lo ikut besok." sahut Bryan, tidak mau ketinggalan.
"Gue beneran nggak apa-apa, guys. Gue bisa jaga diri, kok." sahutku. "Lagipula, kalo dia lihat gue nggak ikut, dan gue diem sendiri di kamar, nggak malah bahaya, tuh? Bisa aja dia nggak jadi ke tempat kalian dan nangkep gue duluan, hayo."
Kalimatku langsung membuat mereka terdiam.
"Iya juga, sih. Ya udah, pokoknya besok lo jangan jauh-jauh dari gue." sahut mereka dalam waktu bersamaan, membuatku langsung melongo.
"Jinx." seruku sambil tersenyum geli.
"Ikut-ikut aja, lo, dari kemarin. Nggak ada ide lain apa?" sahut Bryan bete sambil mendorong bahu Andrew pelan.
"Lo yang ikut-ikut ide gue, sih." balas Andrew, mendorong bahu Bryan menjauh.
"Kalo kalian berantem, gue teriak, nih, manggil satpam kompleks." ancamku sambil menyilangkan tangan di depan dada.
"Ikut gue aja, kali. Bryan cemen, nggak bisa berantem. Waktu itu aja kena pisau, kan? Gimana dia mau ngelindungin lo kalo masih nggak bisa—"
"Enak aja. Justru itu karena gue nggak takut kena pisau. Lo, dengan tampang lo yang takut kena pisau, nggak bakalan bisa ngelindungin Alice, kan? Nanti, dia mau diapa-apain, lo malah kabur, lagi."
"Eh, enak aja. Kalo ada yang harus dilindungin, gue juga mikir, lah. Tapi, kalo bisa nggak kena sabet sama sekali, kenapa harus kena?" balas Andrew sarkastik.
"Ada kalanya lo nggak bisa menghindari serangan, sih." balas Bryan tidak mau kalah.
"Eh, gue kasih tahu, ya—"
"Udah, cukup! Kan udah gue bilang, gue bisa melindungi diri sendiri. Gini-gini, gue bisa lari cepet, tau. Atau sembunyi di tempat sempit waktu dikejar sama si Voldemort." potongku.
"Tapi—"
"Lagipula, kalo kita nggak mencar besok, kemungkinan korban bisa kita selametin sebelum ditemuin sama Voldemort dan dihabisi di tempat kecil nggak, sih?"
"Tetep aja nggak bijak kalo kita mencar satu-satu, sih." sahut Bryan. "Gue maunya kita jalannya per kelompok kecil gitu. Misal ketemu sama si Topeng, tetep aja bisa ngelawan dua banding satu."
"Gue sama Alice kalo gitu." sahut Andrew.
"Gue yang sama Alice." timpal Bryan, lalu melanjutkan dengan pelan sambil tersenyum penuh kemenangan. "Inget, ada Fellicia."
Kalimat itu membuat hatiku seakan dihujam panah raksasa milik Topeng Putih. Rahangku mengeras, dan rasanya perasaan senang yang tadi ada di dalam dadaku berubah jadi amarah yang besar dalam sekejap.
"Eh anj—"
"Gimana kalo kita suruh Alice aja yang milih?" usul Bryan, membuat Andrew mau-tidak-mau bungkam, dan menoleh ke arahku.
Kenapa Andrew bungkam saat nama Fellicia dibawa-bawa? Kenapa dia tidak berusaha meluruskan kesalahpahaman antara dia dan Fellicia? Aku menatap ke arah Andrew dalam-dalam, menunggunya menjelaskan bahwa mereka hanya berteman, tapi ia tidak kunjung membuka suara.
Apa mereka memang bukan sebatas teman dan aku hanyalah orang ketiga?
"Gue..." aku menggantungkan kalimatku di udara, lalu membuang muka dari Andrew. "Sama Bryan aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Misteri / ThrillerSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...