58. Alice

53 14 0
                                    

Copyright © 2020 by Viona Angelica

Copyright © 2020 by Viona Angelica

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ah, Andrew kampret.

Kalau saja malam itu ia tidak mengunjungiku malam-malam dan berlaku seperti kemarin, mungkin aku bakal tidak kesiangan dan bisa memergoki siapapun yang memotret Kak Max dari luar kamar mandi. Sayangnya, gara-gara Andrew, aku jadi tidak bisa tidur semalaman, dan hanya bisa bolak-balik mengganti posisi di atas tempat tidur.

"Good night, Princess."

Kalimat itu kembali terngiang di otakku, bahkan sampai saat ini. Aliran panas langsung naik ke telingaku, dan aku kembali memukul-mukul wajahku dengan bantal beberapa kali. Aku bisa gila kalau begini terus.

Fokus, Alice. Ayo kita cari tahu tentang burung albatros saja. Kita butuh pengalih perhatian.

Aku meraih ponselku dari atas meja dan mengetikkan 'albatros' ke mesin pencari. Dalam sedetik, munculah serangkaian gambar burung warna putih dengan latar belakang laut di baliknya. Aku mulai membuka artikel mengenai burung itu, dan mendapati bahwa albatros memiliki sayap paling lebar di dunia.

Apa artinya korban yang dimaksud punya 'sayap lebar'? Tapi, apa maksudnya 'sayap' di sini? Apa jangkauan yang luas? Atau dia suka mengayomi orang lain dengan 'sayap lebar'-nya? Tapi... kalau dia suka mengayomi... kenapa dia juga egois?

Tok tok tok

Siapa lagi yang kembali ke sini? Apa ada yang barang yang tertinggal di kamarku setelah pertemuan barusan? Mungkin Sam. Dia biasanya yang paling ceroboh dan suka sekali meninggalkan barang-barangnya di dalam kamarku sebelum pergi, dan kembali lagi setelahnya.

Aku segera bangkit dari kasur dan membukakan pintu untuknya.

"Ada barang apa lagi?" tanyaku malas sambil membuka daun pintu.

"Maksud lo?" sosok di balik pintu bertanya sambil mengernyitkan alisnya.

Itu sama sekali bukan Sam, dan yang muncul malah sosok yang sama sekali bertolak belakang dengannya, yaitu Andrew.

"Eh, lo ternyata." sahutku gelagapan sambil tersenyum canggung.

"Lo kira siapa lagi, kali ini?" sahutnya bete sambil menopang sebuah laptop di tangan. "Memang, ya, ternyata banyak banget yang suka ke kamar lo diem-diem di belakang gue."

"Bukan siapa-siapa, kok. Ngapain lo ke sini?" tanyaku sambil tersenyum.

"Oh, ini, gue tadi kan udah bilang mau bantu lo soal artikel koran itu." sahutnya sambil tersenyum bangga dan memutarkan layar laptopnya ke arahku. "Gue minjem laptop Benny buat nyari-nyari artikel itu, dan—voila!—ketemu."

Aku langsung membelalak tidak percaya. "Serius!? Kok bisa!?"

Aku menengok keadaan sekitar, memastikan tidak ada orang lain selain kami di sana. Topeng Putih tidak boleh tahu bahwa kami sudah menemukan artikel koran tentang orang tuaku, dan sebentar lagi kami bisa mengungkap identitasnya.

Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang