11. Andrew

96 22 0
                                    

Copyright © 2020 by Viona Angelica

"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang sibuk. Silakan coba beberapa saat lagi."

Ini sudah ketiga kalinya kami mendengarkan kalimat itu dari ponsel Sam yang digunakan untuk menghubungi nomor Catherine. Yah, bukannya aku seratus persen setuju pada rencana bocah itu, sih. Kalau memang Topeng Putih yang beraksi, kayaknya Catherine masih terbaring di kasur pasien, tidak sadarkan diri.

Mana bisa seorang pasien yang pingsan dalam kondisi kritis mengangkat telepon?

"Oke, kayaknya kita harus beralih ke rencana B." sahutku, menyuruh Bryan untuk men-dial nomor rumah sakit.

"Tadi, nama rumah sakitnya apa, ya, Lice?" tanya Bryan sambil menoleh ke arah wanita pujaannya.

"Husada, kayaknya. Coba google." sahutnya sambil mengintip ke arah ponsel yang dibawa Bryan.

Terkadang, melihat mereka duduk begitu dekat dan berinteraksi terlalu dekat seperti itu membuat suatu bagian dalam diriku merasa kesal. Bryan si sombong itu jelas-jelas naksir berat pada Alice. Aku cuma tidak senang aja cowok itu mendapatkan apa yang dia mau. Namun, aku tidak mungkin tiba-tiba menerjang ke arahnya ketika ia bahkan tidak melakukan apapun, kan?

Alhasil, aku hanya bisa menghela napas panjang dan melengos.

"Husada Bandung, ya? Ini ada." Bryan berkata, lalu segera menekan tombol call dan loudspeaker.

"Selamat sore, Rumah Sakit Husada Bandung," sebuah suara perempuan terdengar dari telepon, membuat si goblok Sam langsung melonjak kegirangan.

"H-Halo? Catherine ada?" tanya Sam tanpa ba-bi-bu, membuat semua orang langsung menutup wajah mereka masing-masing dengan malu.

"Maaf, anak saya memang agak aneh orangnya." sahut Bryan sambil mendorong wajah Sam menjauh. "Selamat sore, Teh, tolong tanya, pasien atas nama Catherine Maxwell ada di kamar nomor berapa, ya?"

"Maaf? Boleh bantu ejaan namanya?"

"C-a-t-h-e-r-i-n-e," Bryan mengeja. Jeda sejenak, lalu ia menyambung, "M-a-x-w-e-l-l."

"Mohon tunggu sebentar, ya." sahut wanita itu. Terdengar suara keyboard yang diketik, kemudian. "Maaf, boleh tahu ini dengan siapa dan hubungannya apa dengan Saudari Catherine?"

"Ah, saya gurunya. Nama saya Jonathan." Bryan menjawab, kelihatan sudah siap dengan nama samaran. "Saya sudah mencoba telepon sesama rekan guru yang ada di sana, tapi nggak diangkat."

"Baik, dengan Bapak Jonathan, ya. Menurut data kami, pasien Catherine Maxwell masih di ruang ICU, Pak. ICU nomor lima."

"Oh, begitu. Belum ada tanda-tanda kapan dipindahkan ke kamar biasa, kah? Soalnya, ini teman-temannya mau jenguk." tanya Bryan.

"Wah, saya kurang tahu, Pak. Coba Bapak ke sini saja, tanya sama dokternya langsung," jawab wanita itu, "Tapi, sepertinya masih agak lama, ya, Pak, karena kini kondisinya masih kritis dan belum siuman."

Kami semua langsung berpandang-pandangan.

"Oh, gitu. Ya udah, t-terima kasih." sahut Bryan sebelum memutuskan sambungan telepon, sepertinya tidak ingin Alice mendengarkan keadaan Catherine lebih lanjut, karena kini air mata mulai membasahi wajahnya.

"Bener, dong..." Alice bergumam sedih. "Semuanya bener, dong. Harusnya... Gue ada di sana. Harusnya gue—"

"Jangan nyalahin diri sendiri, Lice." sahut Bryan sambil memegang lutut cewek itu mesra.

Hey.

Bukankah tidak sopan memegang cewek sembarangan seperti itu? Di saat-saat seperti ini, pula—di mana ada orang lain yang juga bersedih? Dasar modus.

"G-Gue nggak bisa di sana waktu Catherine kondisinya kayak gitu, padahal dia... dia selalu ada buat gue." curhat Alice sambil berlinang air mata.

Gadis itu memang cengeng. Maksudku, Catherine belum meninggal, kan? Lagipula karena sudah terbukti hal ini bukan jebakan, kita bisa melanjutkan galang dana yang sempat kita bahas tadi—atau, entahlah, memikirkan rencana lain? Kenapa dia menangis begitu?

Membuatku ingin memeluknya.

Hah, apa yang kupikirkan barusan? Aku pasti sudah gila. Bukannya aku suka pada Fellicia yang juga sedang terbaring lemah di rumah sakit? Oh, ya, kenapa aku tidak kepikiran menjenguknya, sih? Eh, tapi aku juga nggak punya duit buat naik taksi ke rumah sakit, sih.

"Oke, kayaknya kita perlu kembali ke kamar masing-masing dulu, deh, sekarang." sahut Bryan membubarkan kumpulan, masih memegangi lutut gadis itu. "Kayaknya, kesimpulannya kita nggak bisa pergi ke Bandung dengan duit terbatas begini sementara Catherine belum sadar. Yang terbaik yang bisa kita lakuin hanya mengorek info dari guru atau siapa pun yang mungkin tahu mengenai kasus ini. Cari tahu kondisi dia setiap hari, dan kalau dia siuman, mungkin beberapa di antara kita bisa berangkat untuk menemui dia."

Membubarkan kami seperti ini, pasti dia mau memanfaatkan kesempatan untuk bisa berduaan bersama Alice, kan? Heh, nggak akan kubiarkan, lihat saja.

"Lice, gue mau nyoba nyari petunjuk soal ini, lo mau ikut, nggak?" tanyaku, membuat semua orang menatapku dengan kebingungan.

Kenapa mereka menatapku seperti itu? Maksudku, bukannya ini kalimat yang biasa si Blake katakan? Kenapa jadi salah kalau aku yang mengatakan?

"No offense, Ndrew, tapi maksud gue tadi, nggak langsung sekarang. Besok, kek, gitu. Emang sekarang apa yang bisa diselidiki?" tanya Bryan sok pintar.

"Ya, gue bisa nanya ke Asep atau Joseph, atau... kalo perlu Stenley." sahutku.

"Mereka kan posisinya nggak ada di sekolah." sahut Joshua, mem-backing sohibnya. "Lagipula, kalo lo nanya langsung gitu emangnya mereka bakal jawab? Nggak disuruh bungkam, tuh, sama Pak Stenley?"

Benar juga.

Oke, barusan aku kelihatan seperti orang goblok.

"Siapa bilang!" sahutku asal bunyi sebelum mendengus dan buru-buru keluar dari ruangan itu sendirian sebelum kehilangan muka.

Kesal.

Entah sudah berapa lama aku tidak merasakan perasaan kesal seperti ini. Beberapa minggu berlarut dalam kesedihan sepertinya membuat otakku berhenti berjalan. Buktinya, aku barusan mengatakan hal bodoh yang merusak pamorku di depan semua orang.

Aku butuh hiburan.

Mungkin sebaiknya aku nongkrong di warung belakang sekolah tanpa membeli apapun seperti biasa—hanya melihat mobil lalu lalang sambil bercanda dengan Mang Cipto, pemilik warung, dan sohibku, Willy.

Willy.

Kenapa nama itu terus terlintas di otakku seakan ia masih ada di sini? Hatiku kembali terasa sakit, dan mataku kembali dilinangi air mata. Sebenarnya, kapan aku bisa menerima kepergiannya? Kapan namanya tidak akan terdengar menyakitkan dalam benakku?

Kuhela napas panjang sambil berlarian kecil menuruni tangga hingga lantai satu. Meskipun Willy tidak ada, mungkin aku masih bisa mendapat hiburan di warung Mang Cipto. Lagipula, tempat itu sudah menjadi basecamp keduaku setelah rooftop sekolah. Mungkin aku bisa menenangkan diri di sana.


----------

----------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang