36. Sam

55 18 0
                                    

Copyright © 2020 by Cindy Handoko

"Gue boleh tidur di kamar lo sampe Luke balik, Josh?" aku bertanya pada Joshua saat kami berjalan menuju kamar masing-masing setelah diskusi di kamar Alice. Bryan batal menyuruh kami mewawancarai teman dekat korban karena sadar nggak ada korban yang punya teman dekat. Fellicia cuma dekat dengan Andrew, Rey nggak punya teman kalau nggak sebangku dengan Andrew, dan Alexa malah nggak punya teman sama sekali. Cuma Kim dan Luke yang bisa diharapkan, dan karena tugas mewawancarai anak cheers sudah diambil Rosaline dan tugas mewawancarai anak basket diambil Bryan, kami bebas tugas.

Dengan 'kami', maksudnya aku, Joshua, Alice, dan si Monster Rambut Merah, tentunya. Sebenarnya, Joshua kepingin mengekor Bryan, tetapi karena mereka berdua kayaknya sedang nggak akur, Bryan berkata, 'Nggak usah. Gue aja sendiri.' Memang dasar cowok tukang ngambek. Aku kadang-kadang kesal padanya. Tapi, ya sudahlah. Setidaknya, karena Joshua menganggur sekarang, aku bisa mengusulkan ide yang sudah kupikirkan sejak kemarin padanya. Begini, aku sudah punya rencana untuk siang ini: tidur siang dan mencari ilham mengenai Topeng Monyet melalui mimpi. Tapi, untuk itu, aku harus menentukan di mana aku akan tidur, dong?

Jangan salah. Aku bukannya malas, ya—cuma capek banget. Sejak kemarin, aku nggak bisa berhenti kepikiran tentang kesalahan goblok yang sudah kuperbuat, dan otakku rasanya diperas oleh bayangan Topeng Monyet sialan tertawa ngakak melihat balasanku yang ngawur abis. Aku butuh tidur segera, dan lebih baik lagi kalau di kamar yang bebas dari Jeffrey—yang mungkin saja adalah Topeng Monyet itu sendiri—seperti di kamar Joshua.

Sayangnya, si Cowok Kelengkeng tampaknya nggak suka dengan ide itu. Ia menelan ludah dengan grogi dan bertanya, "Kenapa emangnya, di kamar lo? Jeffrey juga nggak pernah ada, kan? Lo takut diserang Topeng Putih pas lagi ngiler-ngiler jelek? Tenang aja. Lo emang selalu ngiler-ngiler jelek, kok."

"Enak aja!" protesku, nggak terima dihina, "Kan— maksudnya— ah, kampret, Josh. Maksudnya, kan, biar gampang aja, gitu, kalo kita sekamar. Biar nggak terjadi yang kayak kemarin lagi."

Si Kelengkeng Asam mengalihkan pandangan dengan cepat. "Jangan, deh," tolaknya.

"Kenapa, sih?" aku bertanya, tersinggung, "Lo takut gue homo? Idih, sok kegantengan lo. Gue nggak segitunya, ya. Gue masih setia, ya, sama Catherine tercinta, walaupun—"

"Lo mabok ciu, ya?" Kelengkeng Asam memotong kurang ajar, "Maksud gue, ya biar menghargai Luke, lah. Dia diculik, loh, dan lo malah mau sleepover cantik, gitu, di kasur dia. Kan, kesannya nggak baik."

Aku mengerucutkan bibir. "Ya udah, sih, kalo nggak boleh?" gerutuku sebal, "Galak banget, ih, ditanyain gitu aja, dasar Kelengkeng Kurang Kasih Sayang."

Si Kelengkeng hanya menatapku horor, seolah-olah aku baru saja menyebutkan nama orang di balik Topeng Monyet dengan logat ala Cinta Laura. Dasar alay. Aku mendongakkan kepala sesongong mungkin dan berjalan cepat mendahuluinya, menuju kamarku yang letaknya terpaut satu tikungan dari sini. Aku bisa mendengar bunyi pintu ditutup di belakangku, pertanda si Kelengkeng Asam sudah masuk ke kamarnya sendiri.

Huh. Ya sudah. Yang penting, aku tetap bisa tidur siang. Lagian, sleepover cantik dari mananya, sih? Melihat tingkat kejorokan kasur Luke, kayaknya malah bangun-bangun, Hulk pun bakal menjerit trauma melihat jerawat segede kolornya di wajahku, deh. Terakhir kali, aku bahkan melihat sepasang kaus kaki bau di atas bantal Luke. Kalau tidur di sana, badanku yang suci ini bisa ternodai oleh seluruh dosa duniawi. Mungkin memang ini untuk yang terbaik.

"—nggak mau!"

Aku berhenti di tempat, tepat saat mencapai tikungan dekat kamar mandi. Suara itu berasal dari dalam ruang monitor, dan pasti adalah milik Iris Emmanuel, adik kelas penjaga CCTV yang galaknya sebelas-dua belas dengan Monster Gwen.

Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang