Copyright © 2020 by Viona Angelica
Jantungku nyaris berhenti berdetak saat semua ponsel yang ada di kantong kami masing-masing bergetar bersahutan, menerima SMS baru dalam waktu bersamaan. Kami segera berdiri dan saling melempar pandangan selama tiga detik singkat sebelum mulai mengecek ponsel masing-masing.
Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal.
Semenjak kejadian Rey dan Catherine, rasanya pesan dari nomor tidak dikenal membuat bulu kudukku langsung berdiri. Padahal, belum tentu itu adalah SMS teror yang sama yang mereka alami. Bisa jadi, hanya SMS iseng atau SMS penipuan. Tapi tetap saja, aku spontan menelan ludah sebelum membuka pesan tersebut. Apakah pesan ini akan berbunyi "Maafkan aku" seperti yang Catherine dan Rey dapatkan sebelum menjadi korban Topeng Putih?
"Main, yuk. Telepon aku sekarang dan akan kujelaskan permainannya."
Ketika membaca kalimat itu, rasanya nyawaku seperti dicabut paksa dari tubuhku.
"K-Kalian dapet SMS apa?" tanyaku pada teman-temanku yang kini menatap layar ponselnya masing-masing.
"Main, yuk. Telepon aku sekarang dan akan kujelaskan permainannya." Bryan membacakan SMS di layar ponsel miliknya sambil menatap ke arahku.
"Sama." semua orang menyahut bersamaan, hening setelahnya.
"Kita coba telepon? Atau gimana? Ini dari siapa, sih? Orang salah kirim?" tanyaku bingung.
"Kayaknya orang salah ngirim nggak bakalan masuk ke lebih dari satu nomer." sahut Bryan.
"Bisa aja orang iseng?" usul Rosaline berusaha positif. "Kayak SMS nipu gitu? Yang isinya suka nggak bener—"
"Nggak, sih. Terlalu kebetulan orang iseng neror kita berlima. Lagian, SMS nipu pasti lo disuruh transfer, kan? Atau tentang menang hadiah gitu." jawab Andrew sambil memutar bola mata dan duduk di atas meja lab. "Pasti itu si Bajingan Topeng Putih."
"Em... Jadi gimana ini? Kita telepon atau nggak?" tanyaku.
"Telepon aja, siapa tahu dari suaranya kita bisa dapat klu." sahut Bryan. "Biar gue aja yang telepon, bentar."
Detik selanjutnya, nada tunggu sudah terdengar dalam loudspeaker dari ponsel Bryan yang diletakkan di tengah-tengah kami, yang sudah membentuk sebuah lingkaran kecil. Tak lama kemudian, terdengar bunyi gemerisik dari seberang telepon. Panggilan telah tersambung.
"Halo, senang akhirnya bisa bertemu dengan kalian." sahut Topeng Putih dengan suara disamarkan menggunakan suara pedagang bakso boraks di acara TV investigasi. Nada bicaranya juga tidak bisa dikenali karena sengaja dibuat sangat formal. "Bagaimana kejutanku? Keren, kan?"
"Kejutan apa maksudnya?" bisikku pada Rosaline yang berdiri tepat di sampingku.
Ia hanya mengedikkan bahu sambil menggeleng tidak paham.
"Hahaha. Lucu sekali wajah bingungmu, Alicia Brennan. Tentu saja aku berbicara tentang sahabatmu, dong, Catherine Maxwell. Aku ingat bagaimana dia menjerit saat pisau itu menghujam—"
"Bacot, anjing. Langsung intinya aja." potong Andrew emosi.
"Hahaha..." gelak tawa lepas terdengar dari mulut Topeng Putih. Aku merinding. Situasi ini, terlebih suara Topeng Putih yang disamarkan, sangat aneh, rasanya aku seperti baru saja tersedot masuk ke dalam sebuah film thriller. "Sabar dong, Leonardo, apa kau harus kuingatkan seperti apa rasanya saat panah menancap ke kepala William supaya kau mengurung diri—"
"Lo bacot sekali lagi, gue tutup teleponnya." ancam Andrew.
"Terserah saja. Aku tidak akan rugi kalau kalian menutup telepon, karena permainan akan terus berjalan, tapi..." ia menggantungkan kalimatnya di udara, membiarkan kami bertanya-tanya dalam hati. "Kalian akan kehilangan info tentang korban selanjutnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Misterio / SuspensoSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...