03. Bryan

126 25 6
                                    

Copyright © 2020 by Cindy Handoko

"—yan? Bryan!"

Aku berjengit kaget mendengar bentakan itu. Selama beberapa detik sebelumnya, aku terlarut dalam lamunan panjang yang tidak berujung. Kini, aku bertatap muka dengan Alice, cewek yang kutaksir, yang saat ini sudah lebih dari terbiasa berada di sekolah sekaligus panti yang beberapa minggu yang lalu masih merupakan rumah barunya.

Ini bukan pertama kalinya seseorang menyentakku dari lamunan. Hampir setiap pagi, Hikarito Max, si Ketua OSIS sekaligus penguasa lantai empat asrama, tempat kamar-kamar VIP yang dikhususkan untuk anak-anak peraih ranking di SMA berada (dia sendiri yang meng-klaim titel itu, sebenarnya), selalu memelototiku sambil berkata, "Ini pintu kamar mandi, bukan portal ke dunia alien. Masuk tinggal masuk aja, Lemot! Gue juga mau mandi, nih, udah telat!" Tidak hanya itu, beberapa guru yang tadinya ramah padaku juga sudah memanfaatkan kesempatan ini untuk menegur, bersikap sinis, atau melempar spidol ke arahku—yang terakhir ini cuma perbuatan Pak Tanto, sih. Bahkan, seorang Gwen beberapa kali menyuarakan pemikirannya yang sama sekali tidak diperlukan. "Orang bilang jatuh cinta bikin goblok. Ternyata kebanyakan ngumpul sama anak-anak yang sama gobloknya juga punya efek serupa, ya?" ia akan berkata sambil menyeringai sinis, kemudian melanjutkan, "Lo yang mana, tapi—dua-duanya?"

Well, kalau aku sungguh-sungguh menjadi goblok seperti yang dikatakannya, yang jelas itu bukan gara-gara jatuh cinta, sih. Sebab, saat ini, menatap wajah Alice yang polos dan penuh pertanyaan di hadapanku, rasanya aku tetap mati rasa.

"Ya?" sahutku lemah.

"Lo kenapa, sih? Dari tadi gue ngoceh sendiri, loh," protesnya.

"Eh, iya?" tanyaku sok perhatian, "Ngomongin apa, Lice?"

"Nggak," jawabnya, "Nggak apa-apa. Cuman lagi mengungkapkan kebingungan gue aja, tapi gue rasa lo juga lagi bingung sendiri. Sebenernya ada apa, Bry? Tumben-tumbenan lo mau ngelewatin jam pelajaran begini?"

Aku terdiam sejenak, kemudian mengembuskan napas panjang. "Nggak ada gunanya gue di kelas. Nggak ada yang masuk kepala juga ujung-ujungnya."

"Iya, sih," ia mengangguk setuju, "Suasananya juga jadi aneh banget sejak... sejak hari itu. Catherine pergi, nggak ada kasus aneh-aneh lagi, kita jarang ngumpul, gue sendirian di kamar, dan... dan Andrew juga nggak pernah kelihatan." Bagian terakhir dari kalimat itu diucapkannya dengan lirih, hampir seperti tidak ingin aku mendengarnya.

Tetapi, kalau dua minggu yang lalu, aku akan mencak-mencak mendengar Alice mengkhawatirkan berandalan tidak tahu adat seperti Andrew, sekarang aku merasakan hal yang benar-benar kebalikannya: cowok itu juga menjadi bagian dari kegundahanku akhir-akhir ini. Sikap Andrew benar-benar tidak seperti yang kubayangkan. Aku tidak akan menebak kalau alih-alih mengamuk dan mengajak semua orang yang berani berbicara dengannya adu jotos seperti saat nyawa Fellicia dan Rey nyaris terenggut, cowok itu malah memilih untuk menghilang dari peredaran dan tidak berbicara kepada siapa pun. Pasti kematian Willy merupakan pukulan keras baginya, sebab mereka berdua memang seperti saudara kandung. Dari yang kudengar, mereka bahkan sudah saling kenal sejak sebelum masuk ke panti asuhan ini.

"Yah...," ujarku, "Dia, kan, nggak bisa didepak dari sekolah juga, jadi gue rasa biarin aja dia menyendiri dulu. Pasti berat banget, kan?"

Alice manggut-manggut. "Kalo lo gimana, Bry? Apa lo... udah nggak apa-apa?"

Tentu saja tidak.

Aku masih mendapatkan mimpi buruk setiap malam—mimpi yang selalu sama: aku, rooftop itu, dan William Lee yang mengembuskan napas terakhir di pangkuanku. Benakku terus mengulang dan mengulang ekspresi wajah cowok berambut cepak itu saat rona mulai hilang dari wajahnya dan bibir itu mulai membiru. Dan setiap subuh pula, aku terbangun dengan peluh membanjiri pelipis. Aku tidak akan—setidaknya dalam waktu dekat ini—baik-baik saja.

Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang