Copyright © 2020 by Cindy Handoko
"Baik, kamarmu yang pertama. Kita ke sana saat ini juga."
Aku berusaha mengontrol ekspresi wajah saat mendengar kalimat itu. Sejauh ini, semua berjalan sesuai rencana. Tetapi, tentu saja, itu bukan jaminan. Bahkan, fakta bahwa aku selalu menghapus pesan berisi percakapan dengan Topeng Putih secara berkala untuk alasan keamanan juga tidak membantu. Saat kepala panti kami itu sudah memimpin jalan dengan tergesa-gesa menuju kamarku di lantai empat asrama, jantungku masih berdebar-debar dan perutku rasanya berdesir tidak karuan.
Bagaimana kalau Topeng Putih sedang mengawasi kami lewat CCTV dan sengaja mengirim pesan pada orang yang ponselnya sedang digeledah?
Memang, Iris sedang berada di sekolah, dan saat ini, tugasnya diambil alih oleh guru piket hari ini. Tetapi, mengetahui trik-trik licik Topeng Putih, tidak menutup kemungkinan bahwa ia juga sudah menemukan cara untuk melibatkan guru piket itu, entah bagaimana. Atau, lebih parah lagi, guru piket itu mungkin saja adalah Topeng Putih sendiri. Kami, kan, masih belum tahu siapa guru atau karyawan yang kemungkinan terlibat dalam insiden ayah Alice 25 tahun lalu.
'Permainan ini, semuanya—itu cuma buat ngancem kami. Dan salah satu larangannya, selain ngomong tentang ruangan itu ke Pak Stenley, adalah ngomong ke kalian.' Perkataan Joshua di kantin pada hari itu terngiang dalam benakku.
Larangan untuk membicarakan soal ruang bawah tanah pada Pak Stenley? Bukankah itu berarti, Topeng Putih juga tidak mau aksinya terpergok oleh beliau? Kalau begitu kasusnya, bukankah ia seharusnya berada di pihak kami saat ini; berusaha menutupi segala hal tentang permainan dari kepala sekolah kami itu? Kalau begitu, apa ada kemungkinan bahwa ia tidak pernah berniat menjebak kami, dan malah akan membiarkan rencanaku berjalan tanpa gangguan kali ini?
"Buka kuncinya," Pak Stenley memerintah begitu kami sudah tiba di depan kamarku. Suasana lorong sangat sepi, sehingga saat aku memutar kunci, bunyi klek terdengar lebih keras, membuat semua orang saling merapat dengan gelisah.
"Kalian, tunggu di luar. Kalau ada yang kabur atau masuk ke dalam, saya akan langsung asumsikan orang itu pelakunya." Tanpa basa-basi, Pak Stenley langsung menjeblak pintu kamar lebar-lebar, membiarkannya tetap terbuka, lalu melangkah masuk dan mulai menggeledah barang-barangku.
"Apa yang lo rencanain?" Andrew bergumam di bawah napas yang memburu, cukup pelan sehingga hanya bisa didengar olehku.
"Tenang aja," balasku. "Kamar gue clear, kok."
Aku melirik teman-teman yang lain, dan baru menyadari bahwa wajah Joshua adalah yang paling pucat. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap tajam ke arah Pak Stenley yang sedang mengobrak-abrik barangku tanpa rasa sungkan. Beberapa kali, aku bisa melihat bahwa ia sedang mencari celah untuk kabur, tetapi beberapa kali itu pula, Pak Stenley selalu melirik kemari dan menggagalkan usahanya.
"Jangan kabur," desisku lirih. Ia hanya melirikku sekilas, masih dengan raut wajah seperti mau muntah. Aku jadi bertanya-tanya, apa yang disembunyikannya selain pesan dari Topeng Putih? Sebab, dari ekspresi wajahnya, sepertinya ada banyak sekali hal menarik yang akan ditemukan Pak Stenley di kamarnya.
Setelah puas dengan kamar dan ponselku, Pak Stenley keluar dengan wajah geram, lalu langsung memimpin kami menuju kamar Alice, yang hanya terletak di sebelah. Kamar itu tidak dikunci, pertanda Gwen sudah memasukinya—membuat kami sedikit lega. Sama seperti di kamarku, Pak Stenley keluar dengan tangan kosong.
Kami pun melanjutkan perjalanan ke kamar Andrew, yang rupanya kelihatan seperti sarang penyamun saking banyaknya makanan curian dari kantin yang berjajar di sana. Tetapi, selain itu, tidak juga ada apa pun yang menarik perhatian Pak Stenley. Kamar Sam adalah yang selanjutnya. Kamar itu kelihatan normal dibandingkan milik Andrew. Di sana-sini, ada bukti-bukti keberadaan Sam, seperti stopkontak yang hangus, alat tulis yang berjatuhan, dan bekas tumpahan teh di tembok. Tetapi, tidak ada hal aneh sama sekali.
"Buset," Sam bergumam, "Kok, nggak ada barang mencurigakan, ya, di lemari Jeffrey? Gue kira, pasti ada apa, kek—narkoba lima ton."
"Hus," tegurku, "Diem, deh."
Saat kami beralih ke kamar Joshua, aku berani bersumpah wajah cowok itu sudah berubah biru. Pandangannya terus lekat pada Pak Stenley sepanjang beliau menggeledah hingga saat ponselnya mulai diutak-atik dengan serius. Saking tegangnya, aku sampai mengira Pak Stenley benar-benar akan menemukan sesuatu. Tetapi, kenyataannya, beliau mengembalikan ponsel itu ke tempatnya tanpa mengatakan apa pun. Sepertinya, Gwen melaksanakan tugasnya dengan baik.
"Jadi, gimana, Pak?" Alice bertanya, "Nggak ada apa-apa, kan? Kami bebas, kan?"
Pak Stenley menatap Alice lurus-lurus dengan penuh amarah. "Saya tidak tahu bagaimana kalian menghapus jejak dalam waktu sesingkat itu," katanya, "Tapi, ini belum berakhir. Kalian tetap berada di bawah pengawasan saya."
"Apa lagi, sih, Pak, yang diawasin? Bapak nggak sadar, ya, tuduhan Bapak itu nggak berdasar sampe sekarang? Bapak, tuh, cuma mau nyari kambing hitam aja," Andrew mencibir.
"Bicara yang sopan!" Pak Stenley menghunuskan tatapan membunuh pada cowok berambut merah tersebut, "Kalau ngotot tidak terlibat, kalian pasti tidak keberatan kalau saya melarang kalian berkumpul mulai sekarang. Tidak sepasang pun dari kalian boleh kelihatan bersama. Kalau saya mendapati aturan ini dilanggar, saya tidak akan segan mengeluarkan kalian dari panti asuhan. Keputusan ini tidak bisa diganggu gugat."
Aku merasa seperti habis ditampar keras-keras. Dilarang berkumpul? Lalu, bagaimana dengan Topeng Putih? Bagaimana dengan permainan? Bagaimana dengan Catherine, Rosaline, dan sandera-sandera lainnya?
"Eh, ya nggak bisa gitu, dong, Pak!" Sam, di luar dugaan, adalah yang pertama kali memprotes. Pak Stenley langsung mengalihkan tatapan tajam beliau padanya, membuatnya gelagapan. "Eh, ya bisa, ding! Bisa, kok, Pak, bisa! Tidak ada yang mustahil di tangan Bapak!"
Pak Stenley mendengus sinis. "Bagus kalau kalian sadar."
"Nggak bisa gitu, anjir!" Andrew menimpali, "Kami bukan kumpulan teroris. Bapak nggak berhak merlakuin kami kayak gini!"
"Sekali lagi kamu melawan saya, Andrew Leonardo," hardik Pak Stenley, "Tidak ada lagi toleransi buat kamu. Oh, ya, satu lagi: saya akan menyita HP kalian sampai waktu yang tidak ditentukan."
"Pak, yang itu nggak adil, dong!" aku spontan ikut membantah tidak terima, "Bapak, kan, sudah lihat sendiri, kami bahkan nggak pakai HP-nya untuk berkomunikasi satu-sama-lain! Kami butuh HP-nya, Pak, buat ngerjain tugas."
"Saya percaya semua yang kalian butuhkan untuk mengerjakan tugas ada di buku paket," Pak Stenley membantah tegas.
"Nggak bisa, Pak," aku ngotot, "Bapak boleh tanya sama Bu Shinta—dia selalu minta tugas-tugas kami dikumpulin lewat e-mail. Banyak juga, kok, info yang nggak ada di buku paket. Kami butuh browsing, Pak. Komputer sekolah pun biasanya selalu ngantre, dan perpusnya sore udah tutup. Bapak nggak kasihan sama kami? Terus lagi, gimana nasib kami yang nggak punya jam beker dan cuma ngandalin alarm HP? Bapak mau kami semua terlambat dan dapat nilai jelek?"
Setelah argumen super panjangku itu, semua orang hanya tertegun, termasuk Pak Stenley, yang kini menatapku dengan hidung kembang-kempis dan wajah merah padam. Selepas keheningan yang menegangkan itu, beliau akhirnya buka suara. "Baik," kata beliau, "Saya tidak sita HP kalian. Tapi, kalau ada yang membantah lagi soal larangan berkumpul, siap-siap saja untuk tinggal di jalanan. Sekarang, kembali ke kelas. Jangan harap bisa melakukan hal selain belajar lagi di bawah atap saya."
----------
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Misteri / ThrillerSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...