Copyright © 2020 by Cindy Handoko
Aku terjaga semalaman.
Selama satu atau dua jam setelah pertemuan, aku hanya terbaring di atas kasur, memikirkan betapa kacaunya situasi saat ini. Topeng Putih belum membalas pesan kami sama sekali, aku lupa mencegat Joshua untuk mengajaknya berbicara karena pikiran kami semua teralihkan oleh ketakutan, aku juga lupa mengingatkan Alice untuk menceritakan soal artikel koran itu...
Lalu, aku tersadar.
Daripada berbaring tidak jelas, aku seharusnya mengawasi Max. Otakku yang berubah bodoh bahkan tidak bisa memikirkan solusi yang sudah jelas itu. Kamar Max hanya terpaut beberapa langkah dari milikku, dan aku sama sekali tidak berpikir untuk mengecek apakah ia baik-baik saja? Berbekal jantung yang berdebar kencang, aku pun berlari keluar kamar dan mengetuk pintu kamar Max dengan brutal seperti orang gila.
"Apa, sih!" cowok itu membuka pintu dengan wajah emosi, tidak ada semenit dari saat aku mulai mengetuk, "Tengah malem gini gedor pintu kayak debt-collector aja! Gue udah hampir tidur, tahu!"
Aku terpaku di tempat beberapa detik, memandangi wajah Max yang merah padam, kemudian napasku terembus lega.
Aman. Ia aman.
"Sori, gue cuma..." kalimatku berhenti di tengah jalan. Apa? Aku cuma apa? Memang aneh banget, sih, kelakuanku barusan. "Eh... cuma... mau nanya, lo besok ngapain aja."
Kini, semua urat di wajah Max bertaut bingung. "Kepala lo habis kebentur apa, sih?" tanyanya pedas, "Emangnya urusan lo, gue besok ngapain aja? Mau apa, lo?"
"Santai, lah," aku melambaikan tangan dengan grogi di depan dada, berusaha kelihatan santai, "Cuma mau ngajak ketemu bentar pulang sekolah. Mau... bahas soal... tim bas—"
Brak!
Pintu ditutup tepat di depan hidungku, membuat jantungku nyaris mencelat saking kagetnya. Lalu, aku mendengar bunyi klek tanda pintu dikunci, dan langsung mundur dengan perlahan.
Sudah, kan? Yang penting Max aman, kan?
Otakku mulai berputar dengan cepat. Apakah jawaban kami sungguh-sungguh benar kali ini? Atau... jawaban itu salah, dan sekarang, entah siapa di luar sana sedang diseret secara tidak manusiawi ke liang Topeng Putih tanpa ada yang tahu? Apakah orang itu April? Tetapi... aku tidak mungkin berkunjung ke kamar April, kan? Selain karena tidak tahu kamarnya di mana, aku juga bakal kelihatan freak dan creepy banget.
Akhirnya, semalaman, aku hanya duduk di depan kamar Max, menjagai dengan awas kalau-kalau ada sosok mencurigakan yang datang. Namun, sampai matahari mulai mengintip dari balik atap pun, tidak ada tanda-tanda seseorang bakal muncul sewaktu-waktu. Aku mengecek ponsel, berharap ada pesan baru dari Topeng Putih atau semacamnya. Tetapi, yang seperti itu tidak ada juga.
Saat pintu kamar Max mulai berbunyi klek sekali lagi, aku buru-buru melesat ke kamarku sendiri, malas mendengar omelannya di pagi-pagi buta seperti ini. Setelah memejamkan mata sejenak, aku memutuskan untuk mandi. Kusahut seragam, handuk, dan sikat gigiku, lalu melangkah keluar kamar.
Sesuatu terbersit di kepalaku. Apa aku mandi di lantai bawah saja—siapa tahu bisa bertemu anak cheers atau apa, syukur-syukur bertemu April sendiri?
Ide itu terdengar sangat bagus dalam otak-kurang-tidurku, sehingga aku tidak berpikir dua kali dan langsung melenggang turun ke lantai tiga. Kamar mandi di lantai itu, sesuai dugaan, sangat ramai, dipenuhi anak-anak yang mengantre dengan rusuh—membuat keraguan langsung menghinggapiku. Aku hampir tidak pernah berada di sini di jam-jam seperti ini, dan rasanya aneh sekali harus berdesak-desakan hanya untuk mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Mistério / SuspenseSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...