71. Bryan

61 14 2
                                    


Copyright © 2020 by Cindy Handoko

Aku tidak tahu apa yang direncanakan Topeng Putih.

Setelah berpikir dan berpikir, membaca ulang e-mail psikopat itu seperti orang gila dan menyusun daftar kemungkinan-demi-kemungkinan di dalam kepalaku, aku tetap tidak menemukan jawabannya. Kenapa ia tiba-tiba mau melepaskan sandera? Memang, sih, ia tidak melakukan itu secara cuma-cuma. Tetapi, tetap saja, ia memberi kami kesempatan untuk menyelamatkan sandera-sandera itu. Untuk alasan apa?

Apakah ia sudah berhasil mencapai tujuannya, dan saat ini hanya tinggal bermain-main saja dengan kami, sehingga tidak keberatan melepas sandera? Atau... apakah ia punya rencana lain—misalnya membunuh sandera-sandera itu dan membuat final quest ini sebagai jebakan agar seolah-olah kami pelakunya?

Sepertinya otakku jadi ikut-ikutan terganggu. Pemikiran sadis macam apa itu barusan?

Tetapi, ini Topeng Putih—seorang psikopat yang tidak terduga perilakunya. Bisa saja skenario itu bukan sekadar dugaan belaka. Walau begitu, jauh di dasar pikiran, aku masih memiliki sedikit kepercayaan bahwa Topeng Putih memiliki rasa takut untuk membunuh. Buktinya, selama ini, nyawa yang direnggutnya hanya milik almarhum Willy, dan itu pun untuk alasan yang bisa dimengerti: karena ia kemungkinan besar hendak mengungkap identitas partner-nya. Sementara sandera-sandera itu, seperti yang sudah kubuktikan dengan Max, orang yang pernah hendak dijadikan sandera, tidak benar-benar mengetahui identitas Topeng Putih. Jadi, aku mungkin hanya berpikir terlalu jauh.

Saat bel pulang sekolah berbunyi, aku memberi isyarat lirikan mata pada Alice, Andrew, dan Gwen, yang masing-masing masih duduk di bangku mereka. Setelah itu, aku mendahului mereka keluar dari kelas, langsung menuju gerbang untuk memulai perjalanan ke mal.

Tempat berkumpul kami itu letaknya hanya satu kilometer dari sekolah. Di hari Sabtu, yang notabene merupakan weekend, seperti ini, banyak anak yang pergi ke mal baru itu untuk sekadar nongkrong atau makan—kalau mereka punya uang untuk itu. Sehingga, bukan merupakan sesuatu yang aneh apabila kami semua pergi.

Aku tiba di kedai nasi goreng lantai dua yang kusebut-sebut dalam pesan kemarin malam dan segera mencari tempat duduk. Agar tidak diusir si penjual, aku memutuskan untuk memesan segelas es teh. Cukup lama aku menunggu. Kira-kira dua puluh menit kemudian, saat es tehku sudah tinggal sisa es batu yang mencair, Sam tiba, disusul oleh Andrew.

"Joshua mana?" tanyaku pada Sam, lantaran merasa aneh melihatnya muncul sendirian.

"Lo, kan, tahu sendiri, dia leletnya minta ampun kalo keluar kelas," Sam menjawab. Kuperhatikan, tampangnya masam sekali hari ini. Saat Andrew memesan es jeruk pun, ia tidak ikut-ikutan dan memilih untuk minum air putih saja. Benar-benar aneh.

Tidak lama kemudian, Alice, Gwen, dan Joshua tiba di saat yang hampir bersamaan. Akhirnya, kami pun duduk mengelilingi satu meja bundar. Rasanya salah memulai diskusi di tempat seperti ini, dengan latar belakang suara berisik orang-orang yang sedang mengobrol dan koki yang sedang memasak nasi goreng, tetapi aku memulainya juga. "Jadi," ujarku, "Menurut kalian, apa rencana Lo-Tahu-Siapa?"

"Lo-Tahu-Siapa Voldemort kali, ah," Andrew menyahut, "Intinya, gue merasa, cowok-cowok aja yang berangkat. Gwen juga boleh, sih, kalo mau ikut."

Aku menoleh ke arah Andrew, mencerna apa maksud kalimat itu.

Satu-satunya cewek yang ada di kelompok kami selain Gwen hanya Alice.

"Gue setuju." sahutku buru-buru, tidak ingin terlihat tidak peka di mata Alice.

"Loh," Alice langsung protes, "Kok gue nggak boleh ikut? Kenapa?"

"Bahaya, Lice," Andrew menjawab, "Dilihat dari korban-korban bajingan itu, kebanyakan anak cewek. Belum tentu kita bisa saling ngawasin besok. Kalo mencar, bisa-bisa lo ditargetin duluan."

Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang