EXTRA: Aku Nggak Boleh Takut (Side-Story)

40 11 0
                                    

Copyright © 2021 by Viona Angelica

Sembilan tahun yang lalu...

Andrew, 7 tahun

Aku tidak pernah suka panti asuhan. Waktu kecil aku ingat Ibu dan Ayah bilang kalau aku nakal aku bakal dimasukkan panti asuhan dan tidak bisa bertemu dengan mereka lagi. Makanya selama ini aku selalu bersikap baik, tapi pada akhirnya mereka bohong, aku tetap dimasukkan ke panti asuhan. Bu Shinta bilang mereka sudah ada di tempat yang lebih indah. Tapi, tetap saja aku tidak bisa bertemu dengan mereka lagi, kenapa mereka tidak mengajakku ke surga sekalian ya?

"Aduhhh lo ngapain lagi, sih?" tanya Willy sambil berjongkok di depanku. "Tuh, ingusan semua kalo lo nangis terus. Kenapa lo nangis?"

Aku menggeleng.

"Gue kangen Ibu sama Ayah." sahutku sambil sesenggukan.

Raut Willy langsung berubah, matanya berkaca-kaca lalu memelukku. Dapat kurasakan ia menarik nafas panjang lantaran menahan tangis lalu mengatakan, "Sama. Tapi kata Bu Shinta mereka udah di surga dan lagi mengawasi kita."

Ia melepaskan pelukannya lalu menempelkan kedua tangannya di pipiku sambil menatapku dan berkata sambil menitikkan air mata, "Makanya lo nggak boleh nangis, dong. Kalo lo nangis terus nanti Ibu sama Ayahmu juga nangis di atas sana."

Aku mengangguk lalu mengusap air mataku.

"Nah gitu dong, baru Andrew." sahut Willy sambil juga mengusap air matanya yang sempat menetes. "Ya udah yuk, kita ikutan main di depan."

Langkahku terhenti ketika ia mengatakan itu. Sudah beberapa bulan aku tinggal di panti asuhan ini tapi aku belum punya teman selain Willy. Malahan, mereka sering menggangguku entah karena apa. Kata Willy, itu karena mereka suka kalau aku bereaksi saat diganggu, jadi aku harus menahannya. Tapi tidak bisa, kalau dipukuli mereka sakit, aku tidak suka.

Aku takut pada mereka.

"Kenapa?" tanya Willy bingung.

Tidak sepertiku, mereka suka pada Willy. Aku tidak tahu apa yang membedakan kami berdua padahal Willy dan aku kan sama saja.

"Gue takut sama yang lain, mereka suka mukul." kataku sambil menggelengkan kepala.

"IH! Mereka itu nakal banget, sih!" decak Willy kesal sambil menggelengkan kepalanya. "Lo jangan jauh-jauh dari gue, kalo ada yang macem-macem nanti gue pukulin."

"T-Tapi kalo lagi bagi tugas bersih-bersih kan dipilihin kelompoknya. Biasanya gue diganggu sama temen-temen lain waktu dipisah dari lo."

"Yaudah lo pukul balik aja, yang kuat! Kayak power rangers yang sering kita tonton bareng itu. Anggep aja mereka penjahat!" kata Willy sambil mengepalkan tangannya di depan wajah.

"Tapi kata Pak Mardi nggak boleh mukul cewek." bantahku.

Willy memicingkan matanya ke arahku lalu manggut-manggut, "Iya juga ya... Memangnya yang gangguin lo siapa?"

"I-Itu... Kak April, Kak Sally, Kak Jasmine, Antoni... siapa lagi ya... Oh Kak Nana juga."

"Antoni kita pukulin balik aja nanti berdua. Kalo dia nakal lagi, kita pukulin balik lagi..." kata Willy dengan semangat. "Tapi yang cewek-cewek nggak boleh dipukul"

"Tapi mereka ganggu gue terus, gue mau bales." sahutku.

"Oh! Gue punya ide!" kata Willy sambil menggandeng tanganku menuju taman.

Ia tampak mengumpulkan sesuatu dari atas rumput dan tanah. Setelah beberapa lama menunggu di pinggiran, ia akhirnya berjalan kembali kepadaku sambil menggenggam sesuatu di tangannya. Sambil tersenyum jahil ia menggandeng tanganku menuju perkumpulan Kak April.

"Tanganmu mana." katanya sambil mengangkat telapak tanganku dan meletakkan apapun yang ada di dalam genggamannya ke dalam genggamanku,

Aku bisa melihat beberapa ekor cacing sedang menggeliat-geliat di telapak tanganku. Awalnya aku ingin segera mengibaskannya sambil berteriak, tapi Willy menahan tanganku dan berkata, "Jangan dibuang. Nggak gigit kok cacingnya. Lo lempar ini ke mereka sambil bilang kalo macem-macem sama lo lagi nanti lo kasih ini setiap hari, gitu. Harusnya mereka nggak gangguin lo lagi."

Akhirnya aku memutuskan untuk menahan rasa geli dan memberanikan diri untuk mendekati perkumpulan itu. Tentu saja saat melihatku mereka langsung tersenyum lebar sambil bersiap mengolok dan memukulku seperti biasa. Tapi sebelum mereka sempat melakukannya, aku segera melemparkan cacing di dalam genggamanku ke arah mereka sambil berkata, "Jangan macem-macem nanti gue kasih ini tiap hari!"

Selanjutnya terdengar jeritan heboh.

Entah kenapa rasanya puas melihat mereka menangis sambil berlari-larian dan melompat di tempat. Aku tertawa terbahak-bahak, apalagi saat Kak Sally jatuh tersandung dan menangis lebih keras.

"Cengeng-cengeng! Sama cacing aja takut!" seru Willy sambil tertawa terbahak-bahak dan mengajakku tos.

"Kalian semua cengeng! Tukang ngompol!" kataku mengikutinya.

Tentu saja setelahnya, kami dimarahi Pak Stenley dan dihukum. Aku hampir menangis, tapi saat melirik ke arah Willy yang menirukan Pak Stenley sambil menjulur-julurkan lidahnya aku tidak jadi menangis. Rasanya seru kalau aku bisa terus bersama Willy, kenapa dulu dia tidak lahir jadi kakakku saja, ya?


----------

Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang