21. Sam

78 19 0
                                    

Copyright © 2020 by Cindy Handoko

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Copyright © 2020 by Cindy Handoko

Aku benar-benar nggak punya ide.

Apa Topeng Putih itu tahu kalau kelemahan Yang Mulia Sam adalah pelajaran sehingga dia mulai menyerang kami dengan soal Bahasa Indonesia? Apa teka-teki selanjutnya—soal matematika? Soal kimia? Pintar sekali dia, menargetkan anggota paling berharga IMS—aku, tentu saja—secara personal begini. Nggak cuma itu, ancamannya adalah Catherine. Aku mulai berpikir, jangan-jangan, si Topeng Putih ini punya dendam pribadi terhadapku.

"Gue nggak ikut," aku menolak mentah-mentah saat Bryan mengajak 'mewawancarai' Hikarito Max, si Ketua OSIS yang seramnya minta ampun, sepulang sekolah. Alasannya tentu saja bukan karena aku takut padanya, ya, tetapi karena—

"Lo mau tidur siang, ya?" Joshua menyahut dengan pedas, "Ini bukan waktunya, Sam. Kita cuma punya kurang dari sehari buat mecahin teka-teki ini."

"Enak aja!" protesku langsung, "Gue mau bertapa, ya! Lihat aja, gue bakal nemuin jawabannya duluan daripada kalian."

Joshua hanya menatapku sensi. Aku benar-benar heran, deh. Kenapa orang-orang suka berprasangka buruk terhadapku? Tidur siang—di saat-saat seperti ini? Nggak mungkin, lah. Aku nggak bakalan bisa tidur tenang mengetahui Catherine sedang diincar.

"Ya udah, deh, terserah lo," putus Bryan, mendahului sohibnya yang sepertinya sudah hendak melontarkan ejekan lain lagi padaku—aku senang setidaknya dia membelaku dari serangan si Nanas Mutan, "Yang penting nanti kumpul habis makan malem, ya. Kalo bisa, kita kirim jawabannya malem ini. Jaga-jaga aja, siapa tahu Topeng Putih curang. Dia, kan, nggak ngomong jamnya."

Aku menyetujui saja tawaran itu, kemudian mereka berdua pergi menuju kamar si predator berkedok Ketua OSIS itu. Saat ini, Alice dan Rosaline juga sedang bertugas menemui ketua tim-tim yang lain, entah tim apa saja. Monster Andrew tidak kelihatan batang hidungnya, apalagi Monster Gwen yang sudah mengumumkan dari awal kalau ia tidak peduli terhadap permainan tanpa mangsa ini.

Aku berjalan menuju perpustakaan, merasa bangga dalam hati karena akan melakukan sesuatu yang jauh lebih berfaedah daripada yang lain: membaca buku latihan soal UN. Di saat yang lain kesulitan memecahkan soal Bahasa Indonesia, aku akan mendahului mereka dengan menghafalkan semua soal Matematika dan Kimia. Lihat saja, mereka bakal menyembahku habis-habisan setelah tahu kegiatan mulia apa yang kulakukan.

Sejujurnya, ini pertama kalinya aku bahkan berpikiran untuk mengunjungi perpustakaan selama bersekolah di sini. Kalau bukan demi Catherine, sampai lulus pun, aku nggak akan menginjakkan kaki di sana. Pertama, aku nggak melihat perlunya membaca buku. Kedua, aku nggak suka suasana perpustakaan yang terlalu hening sampai bunyi napasku saja terdengar stereo.

Dan ketiga, aku nggak tahu perpustakaan ada di mana.

Di mana, ya?

Duh. Ini sudah jam tiga sore. Aku cuma punya waktu kurang dari tiga jam. Seingatku, letaknya di lantai satu, deh, tapi di mana...

"Sam?"

Aku menoleh dan mendapati Andrea sedang menatapku balik. Wow. Jujur, cewek itu kelihatan kacau banget. Biasanya, ia selalu berpenampilan rapi dan berjalan dengan tegak. Tetapi, hari ini, ia tampak awut-awutan dan posturnya pun loyo. Yang lebih aneh lagi, tidak biasanya ia menyapaku seperti ini.

"Kita... kenal?" tanyaku syok.

"Sori, gue nyapa lo tiba-tiba gini," Andrea menjawab sambil tersenyum canggung, "Gue cuma mau nanya sesuatu, dan kebetulan aja lo lewat."

Aku menatapnya aneh. Jarang-jarang orang mau bertanya kepadaku. Biasanya, mereka takut terhadap kharismaku. "Mau nanya apa?"

"Itu... lo satu kelompok sama Rosa dan Bryan, kan?"

Oh, ternyata dia cuma mau menanyakan soal tugas kelompok. Apa dia mau sekelompok denganku? Dia itu sudah nggak punya teman, ya? "Nggak, gue sama Joshua," jawabku, "Nggak bisa sekelompok sama Bryan, by the way. Kan, nggak sekelas. Tapi, Joshua juga pinter—"

"Maksud gue, kalian nyelidikin kasus-kasus percobaan pembunuhan itu, kan?" ia memotong dengan buru-buru. "Masih, kan?"

Aku langsung membelalakkan mata. Oh. Oh. "Iya, masih. Kenapa?" tanyaku.

"Apa Andrew masih bareng kalian juga?"

"Hah? Ngapain nanyain si Mons—Andrew?"

"Gini," Andrea mengembuskan napas berat, "Lo tahu sendiri, kan, saudara kembar gue barusan hilang. Kemarin, gue lagi kacau banget. Gue kasih tahu semuanya ke Bryan dan Rosa. Gue nggak kepikiran kalo Andrew ada di tim kalian juga."

Aku masih menatapnya dengan kening berkerut. "Terus?"

"Gue bakal appreciate banget kalo kalian nggak melibatkan Andrew dalam pencarian saudara kembar gue. Gue akan pakai cara sendiri buat nyari dia, dan gue janji nggak akan ngelapor ke guru atau Pak Stenley, soalnya gue sendiri tahu itu bikin semuanya lebih runyam dan sama sekali nggak nyelesaiin masalah, tapi gue mohon, lo nggak ngelibatin Andrew. Soalnya, jujur, gue sedikit curiga sama dia."

Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan dengan informasi yang tiba-tiba dijejalkan ke kepalaku ini. "Lo curiga karena dia serem, ya?" tanyaku, "Kalo gara-gara itu, tenang aja. Di tim kita, ada yang lebih serem—Gwen. Tapi, biasanya nggak ada apa-apa juga."

"Nggak, Sam, bukan gara-gara itu," Andrea menjawab serius. Lalu, ia menurunkan volume suara hingga berbisik saat menyambung, "Lo tahu, kan, soal kejadian yang terkenal banget itu? Waktu Andrew dan Bryan nyaris bunuh-bunuhan malam-malam? Waktu itu, penyebabnya adalah Andrew nampar Alexa. Cuma Tuhan yang tahu ada apa di antara mereka berdua, karena jelas-jelas semua itu ketutup dengan kabar duel maut Andrew dengan Bryan."

Oke, otakku tidak pernah dipakai berpikir sekeras ini. Kejadian itu—ya, tentu aku tahu. Siapa, sih, yang nggak tahu? Lalu, Andrew menampar Alexa. Lalu... lalu kenapa, ya?

"Terus, maksud lo apa?" tanyaku, benar-benar bingung.

"Gue juga nggak tahu kenapa Andrew nampar Alexa malam itu. Tapi, gue akan selidiki sendiri dengan cara gue. Mungkin gue akan nanya-nanya Kim, yang juga ada di sana malem itu. Tapi, sementara itu, gue nggak mau Andrew tahu apa pun, oke?"

Itu nggak menjelaskan apa pun.

Setelah mengatakan itu, Andrea melenggang pergi begitu saja, meninggalkanku yang masih bingung sendiri.

Apa, sih, maksudnya?

Bukankah Alexa diculik oleh Topeng Putih? Kalau dia mencurigai Monster Andrew, berarti Monster Andrew itu Topeng Putih atau gimana, sih? Tapi, kan, nggak masuk akal. Kemarin, dia ada di ruangan, kok, waktu kami menerima SMS-SMS aneh itu. Dilihat dari puncak Gunung Everest pakai sedotan pun, Monster Andrew nggak mungkin Topeng Putih. Bayangkan kalau nggak hanya menjadi monster, ia juga menjadi pembunuh berdarah dingin. Overpowered banget. Ngaco, ah.

Tapi, kenapa aku seperti mendapat sebuah pencerahan dari percakapan barusan?

Tapi... apa, ya?


----------

----------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang