80. Bryan

79 13 0
                                    

Copyright © 2020 by Cindy Handoko

"AKH!"

Aku terkesiap, otomatis berhenti di tempat dengan mata terbelalak. Teriakan siapa itu? Asalnya dari arah tangga. Apa yang terjadi?

"Itu Sam, Bry!" Alice memekik panik dengan wajah pucat pasi, dan rasa merinding langsung merambati tengkukku. Tanpa tedeng aling-aling, aku segera tancap gas menuju sumber teriakan. Saking kerasnya jantungku berdebar dan kepalaku berdentum, aku bahkan tidak bisa mendengar apakah Alice mengikuti di belakang.

Aku harus menyelamatkan Sam. Aku harus menyelamatkan Sam. Aku harus menyelamatkan Sam.

Tiba di pangkal tangga, aku langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Sam, dengan wajah membiru dan keringat bercucuran deras, sedang ditarik ke belakang oleh sosok yang sepertinya adalah Topeng Putih, yang kini mencengkeram kerah bajunya erat-erat seperti kucing. Aku sudah hendak meneriakkan namanya, tetapi dengan cepat menangkap bahwa Topeng Putih pasti tidak menyadari kehadiranku lantaran pandangannya terhalang tembok. Bahkan, aku pun hanya bisa melihat tangannya yang berbalut jubah hitam dari tempatku berdiri.

"Sa—"

Aku buru-buru menarik Alice, yang baru saja tiba dengan terengah-engah di belakangku, dan membungkam mulutnya. Cewek itu tampak terkejut setengah mati, tetapi kemudian melirik ke atas, dan segera menyadari alasan di balik tindakanku dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

"Bangsat! Lepasin dia!"

Teriakan penuh emosi Andrew menggema dari tempat yang tidak bisa kulihat. Sepertinya, saat ini, ia sedang berdiri di belakang Topeng Putih, barangkali siap menghujam punggungnya dengan pisau lipat. Tetapi, tentu saja, posisi itu tidak bertahan lama. Dalam jangka waktu sepersekian detik, Topeng Putih menarik tubuh Sam mendekat ke arahnya, hingga aku juga tidak lagi bisa melihat sosok mereka berdua.

Aku melepaskan bungkamanku pada mulut Alice dan mengisyaratkan kepadanya untuk ikut mengendap-endap naik di belakangku. Sambil menahan napas dan berusaha tidak menimbulkan suara, kami pun naik hingga ke area penghubung yang terletak di tengah-tengah tangga. Baru setelah berada di sini, aku bisa melihat siluet Topeng Putih yang kini berdiri membelakangi puncak tangga, mendekap Sam sambil mengarahkan sebuah pisau besar ke lehernya. Pemandangan itu membuat jantungku berpacu puluhan kali lebih cepat.

"D-dia bilang..." Sam berkata dengan suara bergetar hebat, "K-kalo lo mendekat, dia bakal langsung bunuh gue."

Aku membelalakkan mata. Kurang ajar, Topeng Putih ini. Dia memakai Sam, yang sedang ketakutan dan tidak bisa berpikir jernih, sebagai penyampai pesan. Licik juga.

"Lice, gue akan kagetin dia. Lo tangkep Sam, ya?" bisikku pada Alice, yang mengangguk-angguk dengan sekujur tubuh gemetaran. Aku pun segera berjingkat-jingkat naik, hingga pandanganku mulai menangkap sosok Andrew, yang berdiri di depan Topeng Putih dengan wajah merah padam dan rahang dikatupkan. Ia tampaknya tidak menyadari kehadiranku saking marahnya.

"Pengecut, lo!" teriaknya, "Ngomong pake suara sendiri, kalo berani!"

Kutarik napas panjang untuk menenangkan diri. Lalu, setelah berhitung dalam hati, aku mengeluarkan pisau lipat dari saku dengan tangan kiri, menancapkannya ke punggung Topeng Putih sekuat mungkin, sambil menggunakan tangan kananku untuk menahan tangannya yang memegang pisau agar tidak bisa bergerak. Sayang, karena tangan kiriku tidak dominan, tancapanku lemah dan sedikit melenceng, sehingga aku kehilangan kendali atas pisauku dan benda itu meluncur jatuh, setelah menggores dan sedikit melukai Topeng Putih.

Topeng Putih berteriak kaget, otomatis mengendurkan pegangannya pada Sam, yang langsung terkulai lemas ke arah kiri. "Sam, ayo!" Alice berteriak sambil menyambar tangan bocah itu kuat-kuat, menariknya turun untuk berlari kabur. Aku segera menahan Topeng Putih di lehernya menggunakan tangan kiri, sedangkan tangan kananku kugunakan untuk menepis pisau di tangannya sehingga terjatuh menuruni tangga dengan bunyi klang memuaskan.

Andrew, yang selama sepersekian detik terkejut melihat kemunculan kami, dengan cepat menguasai dirinya kembali dan merangsek maju dengan pisau lipat miliknya sendiri. Tetapi, sama seperti dirinya, Topeng Putih juga mendapatkan kesadarannya kembali dan menendang ke belakang dengan kuat, tepat mengenai lututku, membuatku kehilangan keseimbangan seketika.

"Shit!" teriakku. Tetapi, serangan itu berhasil membuatku melepaskan pegangan, dan aku pun jatuh berguling-guling ke belakang, menuruni tangga.

"BRYAN!" aku bisa mendengar Andrew berteriak panik.

Untung saja, gerak refleksku bagus. Aku meringkuk, membulatkan posisi tubuh dengan kedua tangan melindungi kepala, sehingga saat akhirnya berhenti di penghubung tangga, aku paling-paling hanya mendapat suvenir berupa beberapa memar baru saja. Tetapi, bagian mengerikannya, aku mendarat hanya satu sentimeter di samping pisau besar milik Topeng Putih. Kalau jatuhku melenceng sedikit saja, mungkin pisau tajam itu sudah menyambutku.

Setelah menarik dan mengembuskan napas panjang, aku meraih pisau itu dari lantai dan berusaha berdiri sambil menahan rasa ngilu. Kukira, Andrew pasti sudah berhasil memojokkan Topeng Putih. Namun, ternyata, hal yang kutakutkan benar-benar terjadi: Topeng Putih telah mengeluarkan sebuah pistol dan kini sedang mengacungkannya ke arah Andrew.

Aku bisa merasakan napasku tercekat. Wajah tanpa ekspresi topeng itu dipalingkan padaku, seolah menantangku untuk melakukan apa saja yang kumau dengan pisau miliknya. Lututku langsung bergetar dengan lemas. Satu langkah saja, dan ia akan menembak.

Di tengah situasi itu, tiba-tiba, sebuah teriakan nyaring terdengar.

"AAAKH!!"

Mataku membelalak kaget dan jantungku langsung mencelos. Itu suara Alice.

Aku tidak berlama-lama menghabiskan waktu untuk terbengong. Entah mengapa, Topeng Putih juga sepertinya ikut kaget mendengar teriakan di luar dugaan itu, dan Andrew memanfaatkan kesempatan untuk menerjang dan mendorongnya hingga terpelanting jatuh menuruni tangga sambil berteriak, "Lo apain Alice, Bangsat!"

Sebelum sosok berpistol itu mencapai tempatku berdiri, aku sudah berlari dengan kecepatan penuh, menuruni tangga untuk menuju ke arah sumber suara Alice. Andrew mengikuti di belakangku, juga dengan langkah secepat kilat.

SHOOT!

Bunyi tembakan pistol yang mengiris gendang telinga nyaris menghentikanku di tempat. Aku tergagap dengan gemetaran karena bunyi itu terasa tidak nyata, seperti berasal dari dalam kepalaku sendiri. Memang, bunyinya tidak sekeras bayanganku. Bahkan, aku bisa saja tidak mendengarnya kalau tidak berada dalam jarak sedekat ini. Tetapi, rasa merinding yang ditimbulkannya...

Aku menoleh sekilas dan mendapati sosok Topeng Putih sudah mengejar dengan kesetanan di belakang, sambil mengacungkan pistolnya ke arah kami. "Lari, Bry!" Andrew memekik, dan aku pun segera mengeraskan rahang dan meneruskan lariku, berusaha untuk tidak terpengaruh rasa takut.

SHOOT!

Tembakan kedua diluncurkan, tetapi aku sudah menyiapkan mental. Tujuanku hanya satu: menyelamatkan Alice. Dan untuk itu, aku akan menghindari sebanyak apa pun peluru. Apa pun, asalkan gadis itu bisa selamat.


----------

Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang