07. Joshua

98 21 0
                                    

Copyright © 2020 by Cindy Handoko

Setelah percakapan dengan Catherine kemarin malam, rasanya dua minggu belakangan tidak pernah terjadi di antara tim detektif kami. Semalaman, kami semua berkumpul di kamar Alice hingga larut, membahas kemungkinan-demi-kemungkinan Topeng Putih bisa sampai ke tempat karantina Catherine. Kurasa, diam-diam, kami semua sangat mengkhawatirkan dia sampai-sampai rasa khawatir itu berubah menjadi semangat yang membara. Tetapi, bahkan setelah teori konspirasi nomor sekian ratus dicetuskan, belum ada yang benar-benar bisa menjawab misteri itu.

Benarkah Topeng Putih menyusul Catherine?

Buat apa meninggalkan seluruh sekolah—bahkan seluruh kota—hanya untuk mengejar satu orang? Kecuali dia memang harus meninggalkan kota...

Atau jangan-jangan, Catherine hanya ketakutan saja sampai membayangkan yang tidak-tidak? Tetapi... bagaimana dengan teror-teror melalui pesan singkat itu? Walaupun kami tidak melihatnya secara langsung, bagaimana caranya seseorang membayangkan sebuah pesan singkat?

Aku berjalan sendirian menyusuri lapangan sekolah dengan langkah ringan. Jam sekolah sudah usai, dan Sam si bocah tukang tidur sudah ngeluyur paling awal dari kelas untuk, tentu saja, tidur siang. Biasanya, aku entah nongkrong di kantin atau berjalan kembali ke asrama untuk main ke kamar Bryan, tetapi hari ini, cowok itu memutuskan untuk mengikuti latihan basket lagi setelah sekian lama absen dan menyerahkan bebannya sebagai kapten kepada teman sekamarku, Luke. Mungkin diskusi kemarin malam membangkitkan sedikit semangatnya untuk kembali menjalani hidup seperti orang normal. Setidaknya, kuharap begitu.

Saat aku mencapai halaman asrama, hampir tidak ada sesosok pun manusia yang tampak batang hidungnya. Memang, aku kembali agak terlambat karena harus mengumpulkan tugas ke ruang guru terlebih dahulu. Jadi, kini orang-orang entah sudah bersantai di kamar masing-masing atau masih betah nongkrong di area sekolah. Aku sendiri tidak sabar untuk akhirnya bisa bersantai di kamar sendirian—bukannya aku keberatan ada Luke di kamar, tetapi kadang aku juga mendambakan waktu sendirian yang berharga.

Aku sudah hendak menapakkan kaki ke teras asrama saat pandanganku menangkap sesuatu secara sekilas di kejauhan. Aku berhenti bergerak dan memicingkan mata ke arah sebagian taman belakang asrama yang tampak dari sini.

Ada orang di sana.

Taman belakang asrama bukan tempat yang populer untuk menghabiskan waktu. Walau dibayar seratus ribu per jam untuk duduk-duduk santai di sana pun, orang-orang bakal berpikir dua kali untuk menerima tawaran itu. Sebab, taman itu memang sudah tidak terawat sejak beberapa tahun yang lalu. Rerumputan yang tadinya rajin dipotong cantik kini menjalar tak beraturan; bunga-bunganya juga sudah lama gundul. Kolam ikan yang dulunya sungguh-sungguh berisi ikan-ikan yang sehat kini menjadi sarang lumut yang bahkan tidak nampak permukaannya. Jujur saja, kalau ada rumor-rumor mistis yang mengelilingi taman itu, aku bisa paham. Bahkan, kalau aku iseng-iseng menunjukkan foto taman itu pada sutradara film horor, mungkin dia bakalan langsung tertarik.

Aku mundur perlahan agar bisa mengamati lebih jelas, tetapi sepertinya jarak pandangku sudah maksimal. Siapa pun yang ada di sana tidak lagi tampak—tertutup bangunan asrama atau dedaunan rindang.

Seharusnya kuhiraukan saja hal itu. Tetapi, firasatku mengatakan ada sesuatu di belakang sana. Bukan sesuatu yang berbahaya, tetapi jelas sesuatu yang familier. Saat mendapati diri berjalan dengan langkah pelan menuju taman itu, aku tidak merasakan ancaman atau perasaan bahaya. Yang ada hanyalah rasa penasaran, seperti orang yang sedang trans.

Taman itu persis seperti yang kuingat. Dulu, saat pertama kali mengenal dunia fotografi, aku suka sekali berada di sini, mengambil foto bunga-bunga dan langit senja. Aku terus merasa sedih setiap kali melihat kondisinya yang mengenaskan saat ini. Tetapi, lebih daripada itu, ada suatu memori tentang tempat ini yang ingin sekali kuhapus. Suatu memori yang...

Mataku terbelalak dengan cepat begitu menyadari sebuah sosok di tepi kolam ikan. Sosok itu hampir membaur dengan rumput tinggi yang nyaris menutupi sekeliling kolam, tetapi mataku yang awas mengenalinya. Ia, yang tertelungkup lemas di atas bebatuan licin, tanpa tenaga.

Secepat kilat, aku berlari menghampiri sambil menyerukan namanya.

Tiba di samping tubuh itu, aku segera membalikkan badannya dan menaikkannya ke pangkuanku. Masih sambil memanggil-manggil namanya, mataku memindai tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, memeriksa barangkali ada luka tusukan atau semacamnya.

Untungnya, ia hanya pingsan. Wajahnya yang selama ini selalu dingin kini tampak pucat dan dipenuhi peluh. Alisnya berkerut gelisah dan bibirnya hampir membiru. Rambut hitamnya pun menempel oleh peluh di wajah itu. Saat kupanggil namanya untuk yang kesekian kali, aku dapat merasakan kelopak matanya bergerak dan terbuka sedikit—ia melirik ke arahku tanpa berkata-kata. Jantungku langsung mencelos melihat tatapan mata itu—tatapan polos yang sudah lama tidak kulihat, yang telah terkubur dalam memoriku sampai-sampai melihatnya langsung, rasanya aku seperti ditusuk pedang tepat di ulu hati.

Detik selanjutnya, aku sudah membopong sosok itu dalam pelukanku. Sulit memercayai bahwa ia, yang selama ini selalu mengenakan topeng cewek kuat yang tidak tergoyahkan itu, ternyata seringan dan serapuh ini. Tetapi, aku sudah sejak lama tahu bahwa suatu hari, pertahanan seorang Marsha Gwen akan runtuh juga.


----------

----------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang