20. Alice

88 18 2
                                    

Copyright © 2020 by Viona Angelica

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Copyright © 2020 by Viona Angelica

Sejak kemarin, aku terus memikirkan arti SMS Topeng Putih itu.

Siapa 'Sang Kapten' dalam SMS Topeng Putih? Malam itu? Parang? Apakah semua ini adalah kata kiasan? Padahal, aku paling benci pelajaran kiasan Bahasa Indonesia. Maksudku, tidak mungkin kan kata itu bukan kiasan? Memangnya di sini ada kapten? Kapten bajak laut membawa parang? Siapa, coba?

Kepalaku benar-benar pusing dibuatnya.

Padahal Bryan kemarin memberi kami waktu berpikir dan meminta kami untuk mengutarakan pendapat di pertemuan istirahat siang ini, tapi otakku sama sekali tidak dapat mendapatkan jawaban arti dari puisi aneh ini. Mau tidak mau, aku tidak bisa berkontribusi lagi dalam kelompok kecilku ini.

"Jadi, menurut gue..." simpul Bryan, sedikit ragu dengan pemikirannya, namun tetap ingin mengutarakan pemikiran itu. "Ralat, menurut kalian, mungkin, nggak, sih, Topeng Putih ini mau nangkep kita satu-per-satu? Maksudnya, klu yang dikasih ini... buat salah satu dari kita?"

Kalimat itu membuatku membelalak terkejut.

Jangan-jangan salah satu dari tim ini yang bakal jadi korban adalah aku? Dibandingkan anak-anak lainnya, sepertinya aku adalah sasaran paling empuk Topeng Putih, sih. Lagipula, semua ini juga ada hubungannya dengan keluargaku, pembunuh itu, dan kecelakaan yang menimpa keluargaku, dilakukan oleh orang yang sama. Apakah aku bakal jadi sasaran selanjutnya? Tapi apa hubungannya aku dengan puisi aneh itu?

"Tapi lo yakin? Masalahnya, semisal Topeng Putih mau narget salah satu dari kita di posisi sekarang, dia bakal berhadapan langsung sama kita semua nggak, sih?" sahut Joshua.

"Nggak juga sih, Josh. Buktinya dia bisa nangkep Catherine." sahut Bryan. "Kita juga nggak selalu barengan terus, kan? Pas di sekolah, makan di kantin, atau pas gue ekskul basket."

Joshua menghela napas panjang, terpaksa mengakui fakta tersebut.

"Gimana kalo kita barengan terus aja habis ini?" usulku.

"Kayaknya... itu nggak bisa dilakuin." kata Bryan. "Bukannya gue nggak mau, loh, tapi gue rasa kita cukup punya kesibukan sendiri-sendiri yang nggak mungkin melibatkan semua orang di ruangan. Kayak gue dan ekskul basket, masa kalian mau nongkrong di pinggir lapangan buat mantengin gue latihan? Atau Sam, dengan tidur siangnya, yakin kalian mau nemenin dia tidur—"

"Siapa juga yang ngizinin kalian masuk kamar gue?" potong Sam sewot.

"Lo yakin mau tidur sendirian? Jeffrey, kan, sering nggak balik ke kamar." kata Joshua, berusaha menakuti Sam seperti biasa. "Siapa tahu, kan, Topeng Putih tinggalnya di deket kamar lo yang nggak bisa dikunci itu?"

"I-Iya, sih. Tapi kalo kalian semua ke sana, gue jadi nggak bisa tidur gara-gara panas. Gimana kalo Joshua aja yang nemenin gue?" sahut Sam sambil memegang lengan Joshua.

"Geli, anjir." sahut Joshua jijik sambil menggeser tubuhnya menjauhi Sam.

"Intinya, kita nggak mungkin barengan terus." Bryan langsung menyambung sebelum Sam kembali mengomel panjang lebar.

"Jadi, sajak ini, ada yang punya petunjuk? Kapten di sini maksudnya apa? Trus, parang? Semua ini kata kiasan atau apa, sih? Jujur gue sama sekali nggak nyantol." tanyaku.

"Mungkin aja iya, mungkin aja nggak." sahut Bryan antusias, menjelaskan apa yang ada di pikirannya. "Menurut gue, 'kapten' di sini bisa aja kayak pemimpin? Misalnya, Pak Stenley selaku kepala sekolah, atau Max, ketua OSIS kita, atau kapten tim basket, gue. Atau—"

"Ke-geer-an banget sih, lo." dengus Andrew sambil tersenyum menahan tawa.

"Gue cuma menyampaikan dugaan." sahut Bryan tenang sambil mengangkat bahunya. "Ya, bukan salah gue nama lo nggak disebut karena lo memang bukan pemimpin apa pun."

"Cih, halu aja terus." cibir Andrew sambil memutar bola matanya.

"Tapi kalo kapten di sini berarti Pak Stenley... Pada malam itu maksudnya apa?" tanyaku.

"Pada malam Jumat Kliwon." sambung Sam dengan raut wajah serius.

Aku ingin sekali menganggapnya serius kali ini, tapi akibat pedagang bakso boraks yang baru saja ia cetuskan kemarin, sepertinya apapun yang keluar dari mulut Sam tidak bisa dijadikan petunjuk baru.

"Maksud lo?" sahut Joshua sewot.

"Pak Stenley kalo malem Jumat Kliwon kan berubah jadi werewolf. Anjing rabies, kan?" sahut Sam, entah mencoba melucu atau memang otaknya sudah bergeser beberapa sentimeter dari tempat seharusnya.

"Sejak kapan werewolf berubahnya waktu malem Jumat Kliwon? Lo kira tuyul pesugihan?" timpal Joshua sambil menoyor kepala Sam.

"Emang tuyul pesugihan cuma keluar pas malem Jumat Kliwon?" tanya Sam bingung.

"Mana gue tahu? Kayaknya—"

"Bukannya selama ini uang lo itu uang haram hasil melihara tuyul, ya, Josh? Jangan-jangan lo nggak mau bagi rahasia—"

"Enak aja. Kerja gue halal, tahu. Pikiran gue juga bersih, nggak kayak lo yang ngusulin kita buat nyolong demi bisa nyusul Catherine." Joshua dan Sam memulai debat kusir mereka kembali.

"Eh, gue kan—"

"Siapa pun 'kapten' itu, kayaknya kita kurang informasi untuk nyimpulin detik ini juga." Bryan buru-buru memotong omelan Sam yang mulai melenceng dari topik. "Mendingan sekarang ini kita mulai cari informasi soal puisi, atau sajak, atau apa pun ini."

"Lo mau kita nyari informasi dari mana?" tanya Andrew.

"Kita bisa nanya ke oknum-oknum yang bisa masuk kategori 'kapten' di sini." sahut Joshua mantap sambil membungkam mulut Sam dengan wajah tanpa dosa.

"Bentar, bentar." kataku. "Gue baru kepikiran. Kalo kayak gini biasanya penelepon bisa dicek nggak, sih? Kayak address teleponnya atau apa itu, gue agak nggak paham. Ndrew, lo bukannya jago nge-hack?" tanyaku.

"Lo kebanyakan nonton film, kayaknya." sahut Andrew. "Memang bisa, sih, tapi gue jelas nggak cukup jago buat itu. Di sini, setahu gue, Benny, yang paling jago soal IT pun, belum bisa sejago itu. Nyari IP address orang nggak semudah membalik telapak tangan."

"Yah." sahutku sedikit menyesal.

"Yah, sorry to say, kita harus nyari identitas orang itu secara manual dari bukti-bukti yang tertinggal." sahut Andrew sambil mengedikkan bahu.


----------


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang