Copyright © 2020 by Cindy Handoko
Suasana di sekolah pagi ini benar-benar aneh.
Sebenarnya, tidak ada hal tak normal yang terlalu mencolok, setidaknya pada awalnya—hanya hari Rabu yang biasa, di mana anak-anak datang dan berkerumun di depan kelas masing-masing, mengobrol dan saling bercanda. Keanehan itu mulai terasa saat bel masuk sudah hampir berbunyi. Aku bisa melihat beberapa guru berlalu-lalang dengan gelisah di koridor, dan hal itu, tentu saja, bukan sesuatu yang normal. Pemandangan itu membuatku merasa tidak tenang.
Begitu bel masuk berbunyi dan anak-anak berbondong-bondong memasuki kelas, wajah tegang Pak Tanto langsung menyambut. Tidak seperti biasanya, urat-urat di wajah itu kelihatan kaku. "Semuanya, duduk," perintahnya dengan tegas. Alice melempar pandangan penuh tanya padaku, seolah meminta penjelasan. Tetapi, aku pun tak kalah kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Setelah semua murid duduk di kursi masing-masing, Pak Tanto memulai dengan nada serius. "Kemarin malam, kami, para guru, mendapat kabar yang sangat mengkhawatirkan," katanya, "Anak kelas sebelah, Lukas Angelo, menghilang."
Mendengar kalimat itu, dalam sekejap, seluruh penjuru kelas dipenuhi kasak-kusuk heboh. Aku mengepalkan telapak tangan kuat-kuat. Sudah kuduga.
"Tenang!" Pak Tanto menghardik, membuat seisi kelas bungkam seketika. "Untuk menghindari kejadian serupa, mulai hari ini, Pak Stenley memberi perintah supaya absensi dilakukan secara serius. Semua anak yang hendak membolos harus memberikan alasan yang bisa diterima, paling lambat H-1."
"Ya, nggak bisa gitu, dong, Pak!" Andrew spontan menyahut dari belakang kelas, "Kalo mendadak sakit, gimana? Lagian, ada beginian aja, baru peduli! Nggak bener, emang."
"Yang sopan, ya, Andrew Leonardo," Pak Tanto menatap Andrew tajam. Tetapi, cowok berandalan itu hanya menatap balik tanpa rasa takut. "Saya di sini hanya menyampaikan pesan saja. Kalau ada yang keberatan, silakan menghadap Pak Stenley sendiri."
Andrew membuang muka dengan rahang keras, lalu menggebrak meja penuh emosi, membuat seisi kelas berjengit kaget. Dalam hati, aku mulai merasa kesal. Buat apa ia emosional begitu? Apakah ia mau membawa kami pada posisi yang lebih tidak menguntungkan lagi? Sudah cukup buruk Pak Stenley tahu kami menentang aturan beliau untuk tidak ikut campur dalam kasus penusukan, kini ia menentang keputusan baru beliau terkait absensi secara terang-terangan?
"Baik," Pak Tanto meraih selembar kertas dari atas mejanya, mengabaikan Andrew yang masih tampak kesal setengah mati, "Sesuai peraturan baru, saya akan mulai mengabsen sekarang."
***
Ketegangan yang meliputi seluruh penjuru sekolah masih berlanjut hingga jam istirahat, saat seharusnya, aku dan yang lain berkumpul untuk membahas jawaban teka-teki di kantin. Aku bilang 'seharusnya', karena sebelum sempat aku bahkan mengambil dua langkah keluar dari kelas, Max tiba-tiba menghadang jalanku; entah sejak kapan telah berdiri di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery of the Orphanage: Curse of the Suicide Game
Misterio / SuspensoSosok psikopat di balik topeng putih yang menjadi momok siswa-siswi panti asuhan masih berkeliaran. Namun, tim detektif amatir IMS (Infinite Mystery Seeker), yang beranggotakan Alice, Catherine, Bryan, Andrew, Joshua, Samuel, Rosaline, dan Gwen, bel...