38 - Menjadi lebih baik

3.7K 373 11
                                    


🍭🍭🍭

"Caka," panggil Ratih. "Ada yang ingin Nenek sampaikan."

Caka yang tadinya ingin ke dapur, memutar langkahnya untuk duduk di sofa, samping Neneknya itu.

"Kenapa, Nek? Mau nambahin yang bulanan Caka ya?" gurau Caka disertai senyuman jahilnya.

"Caka kangen Mama-Papa?" tanya Ratih membuat ekspresi Caka berubah datar dan dingin. Ada raut tidak suka didalamnya ketika Ratih mempertanyakan hal itu.

"Caka gak mau bahas ini." kata Caka.

"Caka," Ratih berusaha meraih tangan cucunya itu, tetapi Caka menepisnya pelan. "Mau sampai kapan kamu membenci kedua orang tuamu sendiri, Caka?"

"Orang tua?" Caka tertawa mencemooh. "Apa mereka masih pantas disebut orang tua setelah tega membuang anaknya sendiri dan membuat anaknya sama sekali tidak mengenali sosok mereka?"

"Tapi gak ada salahnya kan, kalau kamu memberikan satu kesempatan untuk memaafkan mereka?"

Caka menggeleng tegas, lalu bangkit dari duduknya. Menatap Neneknya penuh kekecewaan. "Kenapa Nenek jadi belain mereka? Apa Nenek udah gak sayang Caka lagi? Nenek gak mau tinggal bareng sama Caka lagi dan mau menyerahkan Caka sama mereka? Iya?"

"Enggak, Caka. Bukan begitu maksud Nenek. Nenek cuma—" ucapan Ratih terhenti saat Caka mengangkat sebelah tangannya. Mengkode agar ia berhenti melanjutkan argumentasinya.

"Cukup! Caka gak mau denger apa-apa lagi. Caka capek mau ke kamar aja. Nenek jangan lupa istirahat. Selamat malam." ucap Caka sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang tamu.

Ratih hanya bisa menatap punggung cucunya itu dengan helaan nafas beratnya. Diusia yang semakin bertambah ini, Ratih hanya takut kalau ia tidak sempat membuat Caka mengembalikan kasih sayangnya kepada orang tuanya lagi.

🍭🍭🍭


"SATRIA! KELUAR KAMU! AYAH TAU KAMU ADA DIDALAM!" teriak Pradipta dari luar sambil menggedor-gedor pintu Panti Asuhan itu dengan kasarnya.

Satria yang tengah makan malam bersama anak-anak panti lainnya harus turun tangan menghadapi Papanya itu. Walaupun Ibu Panti melarangnya untuk menemuinya.

"Jangan keluar Satria. Ibu gak mau kamu kenapa-kenapa. Biar Ibu saja ya yang menghadapi Pak Pradipta?" Satria tersenyum, menurunkan tangan Ibu nanti dari pundaknya perlahan.

"Gak pa-pa, Bu. Udah saatnya Satria berani menghadapi Papa."

"Tapi-—"

"Kak Satria," panggil Armetta ketakutan. Gadis kecil itu memeluk kaki Satria menahannya agar tidak pergi. "Jangan, Kak."

Satria berjongkok, menyamakan tingginya dengan gadis kecil itu lalu mengusap pucuk kepalanya lembut. "Metta percaya Kakak, 'kan?" Armetta mengangguk kecil. "Kakak janji gak bakal kenapa-kenapa." lanjut Satria meyakinkan.

Satria berdiri, memberi isyarat kepada Lyodra membawa Armetta dan anak-anak lainnya ke kamar lewat matanya. Tanpa berkata apa-apa lagi Lyodra mengiayakan dan mengajak semuanya untuk segera pergi kekamarnya.

"Satria, kamu yakin?" tanya Ibu Panti memastikan.

Satria mengangguk. "Aku yakin. Ibu gak perlu khawatir. Atau Ibu mau Satria antar dulu ke kamar?"

"Gak perlu, Nak. Ibu akan tunggu disini. Kalo kamu butuh sesuatu bisa panggil Ibu, ya?"

"Iya, Bu."

Lalu, dengan langkah pasti melangkah kedepan. Sedetik setelah ia membuka pintu, Ayahnya langsung memberikan bogeman mentah yang menghantap dipipi kanannya membuat Satria sedikit terhuyung kebelakang.

The Boys Secret [Selesai] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang