Satu

593 53 13
                                    

Ada dua hal yang Diora benci saat ini, pertama; perasaannya pada Bagas dan kedua; mata kuliah Intermediate Writing sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu.

Hiburan seputar gosip panas yang ditawarkan oleh teman SMA Diora dulu sungguh tidak bisa dihindarkan, demi tidur berkualitas malam nanti Diora dengan senang hati memasang telinga.

"Nji, tanda tanganin absen gue dulu. Gue lagi di jalan mau ke kelas. Tunggu gue di belakang. Makasih." Diora segera mematikan sambungan telepon itu tanpa mau mendengar penjelasan dari Panji—sang ketua kelas. Diseruputnya boba di tangannya.

Dengan sebelah tangan memegang minuman, Diora berusaha memasukkan ponselnya ke dalam ransel. Ponsel itu hanya berjarak beberapa inci menuju bagian dalam tas ketika sebuah dorongan maha dahsyat membuat tubuhnya limbung hingga berputar dan gravitasi mengambil alih. Ponsel di tangan Diora terlempar sejauh dua meter, boba di tangannya terlepas lalu tumpah dan isi minuman itu bertaburan—yang berupa bubble berceceran—sedangkan mulutnya hanya bisa menganga.

"Duh hape gue." Diora mengambil ponselnya yang tertelungkup dengan retakan di bagian layar yang menjalar layaknya tentakel gurita. "Mana ini hape gue satu-satunya. Anjir lah!"

"Woi, kalo jalan tuh pake mata! Goblok!"

Seketika amarah Diora memuncak mendengar makian tadi. "Eh, jalan tuh pake kaki bukan mata, inilah akibat kalo lo gak bisa mikir. Liat nih hape gue rusak!"

"Lo liat nih draft gue jadi basah!" Cowok itu mengacungkan tumpukan kertas di tangannya yang berubah warna menjadi kecokelatan. "Gila lo ya?!"

"Apa-apaan? Parahan punya gue nih, layar gue nyampe retak. Kertas tuh masih bisa lo print lagi, kalo hape mana bisa!"

"Lo nyari masalah?" Cowok itu yang merangsak maju dengan napas memburu marah. Sejumput rambut menghalangi sorot tajam matanya layaknya elang yang siap menerkam.

"Ngapain? Mending nyari duit biar kaya."

"Jurusan apa lo, hah?"

"Apa peduli lo? Emang lo mau ganti rugi?" Syukur sih kalo dia mau ganti rugi, jadi Diora kan tidak perlu mengeluarkan duit. "Kok diem?"

"Sini nomer hape lo." Cowok itu mengulurkan tangannya, wajahnya memerah karena menahan marah. "Lo harus tanggung jawab!"

"Ha? Kenapa gue?" Diora menunjuk dadanya polos. "Harusnya lo yang tanggung jawab! Ni hape gue benerinnya mahal, bisa kebeli kertas ada kali sepuluh rim."

Cowok itu mendecih. "Lo kira gue gak rugi ditabrak terus draft gue basah gini? Lo jangan macem-macem."

Diora ingin melayangkan sejuta makian pada sosok yang berdiri menantang di depannya kini di kala lonceng peringatan di kepalanya berbunyi.

Intermediate Writing: C+.

Ada tugas yang harus dia kumpulkan dan masa depannya kini lebih penting.

"Urusan kita belom selesai ya! Awas aja lo besok gue cari." Kedua mata Diora menatap lurus-lurus mata cowok itu sebelum akhirnya dia berlari.

Sebenarnya dia tidak rela melihat minumannya yang baru dia minum tiga kali sedot itu lenyap begitu saja, padahal dia harus menunggu setengah jam untuk mendapatkan minuman itu. Dan kini lenyap dalam.... argh!

Tanpa mengacuhkan teriakan cowok itu, Diora berlari dengan cepat, melewati Graha Kemahasiswaan di mana tempat sekretariat UKM berada, jalur ini adalah jalur tercepat menuju Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dia membalas beberapa sapaan dari adik tingkat.

Begitu ruang kelas sudah nampak, dia beranjak ke bagian belakang kelas, mengetuk jendela pelan sebanyak tiga kali, kemudian sebuah tangan terjulur keluar. Buru-buru Diora menyerahkan tasnya.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang