Dua Belas

118 27 2
                                    

Diora berdecak sebal pagi itu karena ingatan tubuh Diego kemarin masih membekas, hingga semalam dia jadi membayangkan sosok Diego sedang bermain hulahop sembari bertelanjang dada. Lagian kenapa juga sih cowok itu hanya mengenakan celana santai dan bertelanjang dada? Kehabisan pakaian?

Dan kini ketika Diora mengikat tali sepatu, dilihatnya Diego sedang menaik-turunkan tubuhnya di pasak besi di depan rumah tanpa mengenakan baju. Lagi!

Dasar tukang pamer!

Setengah bersungut-sungut, Diora melakukan pemanasan sebelum akhirnya berlari pelan. Dia tidak akan termakan oleh otot yang dimiliki Diego.

Tanpa terasa sudah akhir pekan lagi, kurang lebih sudah dua minggu Diego menjadi tetangga paling menyebalkan dalam hidup Diora. Sungguh, ingin rasanya Diora mengadu dengan ketua RT untuk mengusir Diego tapi itu tidak mungkin.

Karena berlari dengan perasaan kesal tanpa sadar Diora sudah menghabiskan waktu satu jam di luar rumah. Matahari sudah menampakkan diri dengan sinar hangatnya yang menggelitik kulit. Langkahnya menuju rumah terasa pelan dan teratur selaras dengan tarikan napasnya. Suhu tubuhnya meningkat seiring dengan reaksi tubuhnya yang berusaha menormalkan suhu dengan mengeluarkan keringat begitu banyak hingga kausnya basah. Tenggorokannya terasa kering kerontang bahkan untuk sekadar membuka mulut saja Diora tak mampu. Keringat di keningnya sudah banjir, rambutnya sudah terjatuh di kening tak ada selera untuk bangkit.

Kini barulah terasa tubuh Diora sangat kelelahan akibat berlari pagi, otot kedua kakinya nampak berontak tak mau diajak bekerja sama namun Diora memaksa. Sebentar lagi dia bisa beristirahat.

Beberapa meter sebelum sampai rumah, Diora melihat mobil sedan milik Bagas terparkir di depan rumah. Dia menghentikan langkahnya, meragu ingin memasuki rumah bahkan takut jika nanti bertemu dengan Bagas. Dia takut jika nanti detak jantungnya bertalu begitu cepat, padahal baru saja dia bisa menormalkan detak jantungnya akibat berlari. Keringat yang mulai menghilang perlahan hadir kembali, napasnya masih terasa sesak bahkan kini menyiksa.

Sebelah tumit Diora berputar, terpaksa dia harus memaksa kakinya kalau saja tak ada tangan yang dengan cepat mencekal kepergiannya. Melalui mata, Diora melihat Diego yang masih mencekal tangannya. Telapak tangan yang sedikit kasar itu terasa hangat di atas kulitnya yang dingin.

"Lepasin," kata Diora lirih hampir-hampir tak bisa didengar.

"Lo goblok apa tolol? Gak liat muka lo pucet gitu?" Diego menarik tangan Diora agar tubuh cewek itu mendekat. Diora tidak melawan karena tubuhnya sudah lemas. "Lo kenapa, sih?"

"Bukan urusan lo."

"Lo capek. Kalo lo pingsan nanti gimana? Dikira Nyokap lo bakal seneng?"

Sebelah tangan Diora yang bebas berusaha melepaskan cekalan tangan Diego. Meskipun cekalan itu tidak kencang, tetap saja Diora tidak bisa melepaskan. Kepalanya mulai berdenyut, kedua kakinya terasa semakin lemas dan dia membiarkan Diego menuntunnya pergi. Bukan ke rumahnya melainkan ke rumah cowok itu yang sepi tanpa ada tanda-tanda adanya Tante Rita dan juga Om Chandra.

Diora dibawa ke kamar Diego dan cowok itu mendudukkan Diora di atas kasur sebelum berlalu dan tak lama kembali dengan membawa segelas air mineral.

"Minum dulu," perintah Diego yang disambut baik oleh Diora. "Pelan-pelan."

Diora merasakan tenggorakannya kini sudah basah, disekanya mulut menggunakan lengan kaus. Denyutan di kepalanya sudah berkurang dan berangsur-angsur membaik, hanya saja kakinya masih memberontak.

"Yang lo lakuin tadi itu goblok namanya, kalo capek ya istirahat bukannya jalan lagi," desis Diego sembari merapikan meja belajarnya, memasukkan sisa-sisa puntung rokok ke dalam kotak sampah.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang