Dua Puluh Enam

100 24 6
                                    

Diora menikmati kentang goreng di depannya selepas memakan ayam goreng bagian dada yang Diego belikan untuknya lengkap dengan segelas cola berukuran sedang. Cowok itu sempat bertanya apakah semua sudah cukup dan Diora menjawab itu lebih dari cukup.

Dia duduk bersama dengan empat orang lainnya, Diego duduk di sebelah kirinya dan ada Gilang di sebelah kanannya. Diora berkumpul dengan teman-teman Diego yang pernah dia temui ketika bermain futsal. Sedangkan sosok Sarah duduk di seberangnya. Cewek itu mengenakan kemeja putih yang kedua lengannya digulung lalu dipadu padankan dengan jins berwarna biru yang membentuk lekuk kakinya. Rambut cewek itu tergerai hingga ke punggung dan ikal di bagian ujungnya.

"Maaf ya Diora, gue sama yang lain gak ada maksud ngacangin lo," kata Sarah sembari menyesap cola. "Gak usah diem aja, nimbrung aja gak apa-apa, kok."

Gak apa-apa pala lo pitak, asal nimbrung kalo yang diomongin gak nyambung ya susah lah, batin Diora.

Alih-alih, Diora nyengir kuda sembari memasukkan potongan-potongan kentang goreng ke dalam mulutnya. Jujur saja, dia dan Sarah berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dalam topik pembicaraan. Pembicaraan Sarah terlalu visioner, selalu memandang sangat jauh. Diora sih tidak pernah sampai muluk-muluk ingin menjadi ini dan itu, yang paling penting dalam hidupnya adalah berbakti pada orang tua, berguna bagi bangsa dan tidak menyusahkan siapapun. Itu saja. Tapi Sarah mempunyai keinginan yang bagus, kalau diperhatikan tak berbeda jauh dari sosok Bagas meskipun cowok itu tak pernah mengungkapkannya secara tersurat. Sarah tipikal orang yang lebih senang mendapat perhatian dan pujian, ingin menjadi pembicara pada sidang PBB bahkan kalau bisa menjadi Menteri Luar Negeri.

Tidak, Diora tidak skeptis jika Sarah tidak mampu hanya saja semuanya tidak sesuai dengan kemauan otaknya. Biasanya jika berkumpul dengan tiga teman kuliah, mereka hanya membahas hal-hal remeh lalu membuat lawakan dari sana. Tak pernah terlalu berat karena hidup saja sudah terasa berat.

"Oh iya Ra, minggu besok mau ada futsal lagi. Lo mau ikut gak?" tanya seorang cowok gondrong yang duduk di sebelah Sarah. Futsal waktu itu, dia satu tim dengan Diora.

Diora membiarkan cola itu mengaliri tenggorokan sebelum menjawab, "Ikut dong kalo sore mah. Eh tapi jangan hari Senin sama Rabu. Capek asli kuliah gue nyampe sore."

"FKIP emang mantep bener dari pagi nyampe sore. Udah kayak anak sekolahan."

"Yah namanya juga calon guru, eh nyambung gak sih?"

"Nyambung kok." Cowok itu—yang Diora tidak ingat namanya siapa—terkekeh. "Nih Sar, gue kasih tau, Diora ini maen bolanya beeeuh jago. Kemaren aja dia bisa nyetak gol."

"Oh ya? Jarang-jarang lho gue liat cewek main futsal."

"Jarang bukan berarti gak ada," sahut Diora santai. "Gue udah biasa maen bola sama anak komplek, dulu sih. Sekarang aja yang gak karena udah pada punya kehidupan masing-masing."

"Memang sih, waktu pasti bakal ngerubah semuanya tapi gak sama memori, ya kan?"

"Bener banget. Sori nih gue gak pake embel-embel Kak manggilnya, gak dihukum, kan?"

Kerumunan itu tertawa.

"Lo anaknya seru ya, Ra. Lo harus dateng ke acara wisuda gue," kata Sarah mengulum senyum.

"Diego juga udah ngajak gue. Tapi sebelum itu gue mau dateng ke acara temen gue dulu," balas Diora.

"Gak masalah, asal lo dateng."

Kemudian pembicaraan itu teralih, Diora memilih untuk menghabiskan sisa kentang goreng miliknya.

Setelah selesai, Diora mencuci tangan. Dari sini dia bisa melihat kerumunan itu di mana Diego sedang asyik berbincang dengan Sarah membuat Diora jadi bertanya-tanya mengapa mereka putus. Lagian mereka masih terlihat begitu dekat dan akrab, tidak seperti bermusuhan. Aah, rasanya Diora seakan salah tempat, kenapa juga dia harus di sini. Berada pada gerombolan orang yang baru dia kenal beberapa hari ini. Beruntungnya teman-teman Diego tidak begitu kaku, tidak termasuk Gilang karena cowok itu lebih ke arah menyebalkan dan... mengganggu.

"Udah Ra ngelap tangannya di baju gue?"

Diora terpaku, dia berpaling dan mendongak pada sosok Gilang yang berdiri di depannya. Sejak kapan cowok itu ada di sini? Dan sejak kapan tangan Diora sudah bergelung di kaus cowok itu?!

Waah sudah gila, bagaimana bisa dia melamun dan mengelap tangannya di kaus Gilang seperti ini. Mana kaus itu sampai kusut masai dan menggelap di beberapa tempat akibat menyerap air.

"Eh, aduuh. Sori, gue gak tau. Gak liat. Gue—ini dikeringin pake ini juga selesai, kok." Diora menepuk pengering tangan di sebelahnya yang tertanam di dinding. "Makasih."

Dengan canggung, Diora beranjak dari sana kembali ke tempat duduknya.

"Lo ngapain sama Gilang di sana?" bisik Diego begitu Diora duduk. Tubuhnya merapat.

"Ya cuci tangannya lah, masa cuci mobil. Aneh lo," jawab Diora jutek.

Diego sedikit menjauhkan tubuhnya dan memandang Diora tajam. "Gue saranin sama lo jangan deket-deket sama Gilang. Dia itu player."

"Udah tau. Udah keliatan dari mukanya."

"Bagus kalo gitu."

Diora menggeser tubuh Diego sebelum bersandar pada kursi. Dia mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan pada Panji.

Diora : Woi, cupin tmpt duduk buat gw

Panji kuda : Mlz

Diora : Pelit amd. Ngapa dah lu?

Panji kuda : Lo dmn

Diora : Kepci

Panji kuda : Beliin sundae sebj tar gue cupin

Diora : Dih malak

Lima belas menit lagi kuis selanjutnya akan dimulai. Diora membereskan barang-barangnya dan menarik perhatian yang lain.

"Lah, lo mau ke mana udah beberes aja?"

"Gue masih ada kuis jam satu. Ayo anterin gue ke kampus." Diora menarik Diego yang memandangnya datar, bibir cowok itu terbuka namun yang pertama kali Diora dengar bukanlah suara cowok itu melainkan Gilang.

"Biar gue aja yang nganterin Diora. Gue juga mau ke kampus lagi."

"Gak usah repot-repot. Gue bisa nganter cewek gue sendiri. Ayo, Ra." Diego segera bangkit dari duduknya.

"Sori, gue berangkat bareng Diego jadi balik juga mesti bareng dia. Duluan semua," pamit Diora sambil menyusul Diego. "Eeh bentar, beli sundae dulu." Dihentikannya sosok Diego yang hampir beranjak pergi menjauh dari kasir.

"Yang tadi masih kurang?" Kening Diego terlipat.

"Bukan, ini tuh buat temen gue. Minta duit."

"Iih, lo sangka gue kakak lo apa." Tapi toh Diego tetap memberikan sejumlah uang pada Diora untuk membeli es krim.

Mereka kembali ke kampus dalam diam. Diora berusaha menjaga agar es krim itu tidak mengenai pakaian Diego. Begitu sampai, dia segera melepas helm dan memberikannya pada Diego. Cowok itu menahan tangannya yang ingin melaju.

"Lo inget ucapan gue tadi, jangan deketin Gilang," pesan Diego pelan namun tajam.

"Siap. Gue bakal inget. By the way, makasih udah nraktir gue makan sama sundae-nya. Byee!"

Setengah berlari, Diora beranjak. Telinganya mendengar deru motor Diego yang menjauh dari sana. Seiring langkahnya yang semakin mendekati kelas, dia tidak melihat adanya sosok Bagas yang memerhatikan sejak dia turun dari boncengan motor Diego.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang