Dua Puluh Lima

101 23 4
                                    

Diora memanggil Panji dengan siulan agar cowok itu menoleh. Kemudian dia mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya, Panji yang sudah paham segera melempar selembar kertas yang sudah dibentuk bulat. Kertas itu mendarat tepat di atas meja Diora. Kertas berisikan jawaban soal kuis nomor dua. Kuis hari ini adalah kuis mata kuliah Cross Culture Understanding. Dosennya benar-benar tidak jelas. Kadang menjelaskan sesuatu yang benar-benar kosong, atau bertanya mengenai kelanjutan kata, contohnya seperti kata merupakan, maka beliau hanya akan mengucapkan kata me- saja lalu bertanya pada setiap mahasiswa.

"Me... me... me?" tanyanya sambil menunjuk satu per satu mahasiswa, kalau tidak ada berhasil menjawab benar, beliau akan melanjutkan, "Oon kalian ini."

Diora kembali melemparakan kertas itu pada teman sekelasnya yang lain. Akhirnya kertas itu berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Bergulir pada setiap mahasiswa yang membutuhkan jawaban. Tak usah muluk-muluk, Diora hanya ingin lulus dari mata kuliah ini, dia malas mengulang mata kuliah yang tidak dia sukai. Apalagi dosennya.

Diora menyandarkan punggungnya, mata nyalangnya kembali menatap sekeliling, mencari jawaban atas soal yang belum dia jawab. Soalnya memang hanya ada dua, tapi anak soalnya di setiap nomor ada lima buah. Mana soalnya susah semua, bahkan teman sekelasnya yang membuka buku saja tidak bisa menemukan jawaban.

Diora melirik ke bagian belakang, wajah-wajah di sana sama kosongnya dengan dia. Yang berada di barisan depan juga sama, mereka malah saling lirik dan tengok depan belakang. Dosen yang mengawasi nampak sibuk dengan suatu bacaan di tangan, tak memerhatikan.

"Mana? Udah belom?" bisik Diora pada Rahman yang berjarak dua bangku darinya. Cowok itu tidak mendengar dan Diora terpaksa mengulang. "Udah beloooom?"

"Udah, jawabannya di Ani," balas Rahman juga sambil berbisik.

Diora beralih pada Ani yang sedang menulis begitu seriusnya sampai-sampai pada panggilan ketiga cewek itu baru menoleh dan melempar jawaban.

Diora buru-buru menyalin jawaban dari kertas lecek di hadapannya. Masa bodo dengan jawaban yang tertulis, yang terpenting dia menyelesaikan kuis ini. Toh ini hanya kuis, belum ujian tengah semester ataupun akhir semester.

Sempak Kendor : Lo dmn?

Diora merenggangkan kedua tangannya selagi membaca pesan dari Diego ketika kuis sudah selesai. Dibalasnya pesan itu.

Diora : Fkip as always

Sempak Kendor : Gw mw ksn

Diora : Buat?

"Raaa, ada yang nyariin lo, nih!" Panji berteriak dari pintu kelas, membuat perhatian seisi kelas yang tersisa menjadi terpaut.

"Ciee, siapa tuh, Ra? Kak Bagas, ya?"

"Ha? Ya kali. Gak usah ngadi-ngadi," balas Diora sembari membereskan tasnya. Dia beranjak dan melihat Diego di depan kelas. Super sekali orang ini, belum ada satu menit memberi pesan tahu-tahu sudah ada di depan kelas. "Lah si sempak, ngapain lo?"

Diego mendesis tajam tidak suka dengan panggilan dari Diora. "Lo masih ada jam lagi?"

"Gue kan udah ngasih jadwal gue ke lo. Masa lupa? Dasar tua."

"Berisik banget lo jadi cewek. Gue belom baca jadwal lo. Semalem lo bilang pulang cepet, kan?"

"Tadinya tapi gue masih ada kuis jam satu. Kenapa dah? Lo futsal kan sore sih, masa siang-siang gini maen futsal, ntar kul—"

Diego segera membekap mulut Diora dengan sebelah tangan lalu menarik cewek itu menjauh dari teman sekelasnya. "Berisik banget lo jadi orang!"

Diora mendesis, dia mengelap bibirnya yang air liurnya muncrat bahkan hingga ke telapak tangan Diego. Cowok itu terlihat mengelap telapak tangannya ke atas permukaan jins. Tapi sayangnya, tangan Diego ternyata wangi. Wow!

"Apaan sih lo ini, tindakan lo bisa dikenai pasal penganiayaan."

"Penganiayaan pala lo botak!" oceh Diego. "Gini, gak usah buang waktu. Gue mau ngajak lo ke KFC. Lo mau gue kenalin ke Sarah."

Diora sontak mengibaskan sebelah tangannya di udara, menghalau perkataan Diego. "Besok-besok aja lah lo ngenalin gue ke dia. Minggir, gue laper."

"Gue traktir lo."

"Gue lagi gak minat makan ayam KFC, maunya ayam kantin Beautiful. Kantin FKIP."

"Ayolah," bujuk Diego.

"Gak mau. Lo ngapain sih narik-narik tangan gue segala? Demen?"

"Ra, ayolah. Jangan kayak anak kecil, gue butuh lo nih," Diego memohon, sebelah tangannya masih menarik tangan Diora.

"Ish, tapi gue itu lagi kepengen makan ayam di kantin. Ini gue istirahat cuma sejam doang, lo kok malah mempersempit sih?"

"Makanya gue ngajak lo makan di KFC. Makan seember ayam juga ayo gue bayarin. Minum seliter cola juga gue bayarin. Seplastik sundae juga gue bayarin."

Diora mendengkus, dipikir Diego dia rakus gitu? Memang sih, tapi hari ini dia ingin menikmati ayam penyet di kantin, apalagi ditambah dengan sambal terasi dan lalapan.

Wajah Diego kali ini benar-benar memohon, bisa dibilang kali ini Diora baru melihat air muka memohon milik Diego. Biasanya cowok itu selalu angkuh dan tidak tahu diri. Sekali-kali membuat cowok itu memohon tidak salah, kan?

Benar sekali, tidak salah. Sekalian saja Diora melakukan sesuatu yang lebih.

"Oke, gue bakal ikut lo, asal..." Diora mendelik geli sendiri dengan pikirannya, "lo bilang suka dulu sama gue."

Diego segera menarik badannya dengan mata nyureng dia menatap Diora. "Lo kepengen banget kayaknya kalo gue suka beneran sama lo."

"Idih, amit-amit. Tapi ya udah deh kalo lo gak mau. Gak masalah."

"Woi, gue suka sama lo."

Dengan memakai teknik pergi setelah menawar harga barang ala Mama, Diora mengulum senyumnya. Apalagi ketika melihat beberapa teman sekelasnya yang nampak tercengang. Hahaha, rasakan tuh Diego. Biar saja dia malu semalu-malunya.

Diora melihat Diego dari balik bahunya. "Oke, gue ikut. Ayo."

Sembari menahan gejolak amarah yang sudah membara dan membakar ubun-ubun, Diego melangkah perlahan menghampiri Diora lalu menarik satu tangan cewek itu agar segera pergi dari sana. Sudah, cukup sudah. Wibawanya menghilang sudah karena cewek di sebelahnya ini. Sedetik dia merasa menyesal telah menjalin kerja sama dengan Diora lalu sedetik kemudian dia ingin sekali menenggelamkan Diora di kolam air bundaran kampus.

"Lo marah ya?" Diora mengenakan helm yang diberikan oleh Diego yang memasang wajah kecut. "Gue becanda. Gak usah serius banget."

"Terserah. Cepet naek!" perintah Diego tajam, dia memerhatikan Diora sampai duduk di boncengan. "Ngapain lo kayak gitu?" Dilihatnya Diora yang membentuk tanda silang di depan tubuh dengan kedua tangan.

"Ngapain lo tanya? Seharusnya lo tau, ini nih bentuk proteksi diri dari tindakan yang akan terjadi ke depannya."

"Emangnya apa yang bakal terjadi?"

"Ooh banyak. Dengan motor gede dan tinggi macem ini, kemungkinan untuk gue merosot karena lo yang nyari keuntungan bakal besar. Dan gue gak mau nyampe bersentuhan sama lo."

Diego mendecih ketika sudah paham. "Lo harusnya masih inget kalo gue gak tertarik sama lo dan ukuran lo. Jadi gak usah pede."

"Harus dong! Kenapa gak? Cowok kan semuanya buaya," tandas Diora dengan kedua mata meloto.

"Makanya gak usah ada di lingkungan cowok buaya."

"Bodo. Ih, bukannya berangkat lo ma—anjiiiiing! Jangan langsung ngegas dong!"

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang