Empat Puluh

113 21 2
                                    

Entah kenapa Diora malah terbayang-bayang dengan pundak Diego yang kokoh tapi lembut itu. Yang membuatnya terlelap hingga sampai di depan rumah. Yang membantunya terjaga tanpa ada kendala pada perjalanan pulang dari pantai.

Diora terhenyak ketika mendengar ponselnya berbunyi. Telpon masuk dari Bagas.

Diora baru mengangkat panggilan itu lima detik kemudian. "Halo."

"Diora," kata Bagas, serak. "Saya mau minta maaf soal kejadian hari Jumat itu. Saya gak bermaksud kasar ataupun marah, saya cuma mau menyampaikan yang sebenernya sama kamu."

Diora memejamkan kedua matanya, sebelah tangannya memijit kening. "Kak, gue tau maksud ucapan lo kemaren itu apa, tapi tetep aja gue gak bisa. Gue gak bisa kita kayak dulu lagi, Kak."

"Kenapa, Ra? Saya melakukan kesalahan?"

"Gak. Bukan gitu. Kak, gue tau gue sayang sama lo, tapi rasa sayang itu—rasa sayang yang dulu—udah gak ada. Sekarang udah beda."

"Lalu saya harus bagaimana, Ra? Saya merasa bersalah karena dulu sering ninggalin kamu gitu aja. Saya dulu salah kar—"

"Kak Bagas, lo gak ngelakuin kesalahan. Semuanya gak salah, tapi kita emang gak bisa. Kita gak bisa balik lagi kayak dulu." Diora bingung harus bagaimana merangkai kata-katanya. Semuanya menjadi buram dan hilang. "Gini, gue susah untuk ngejelasinnya sama lo Kak, tapi apa lo gak bisa liat? Gue udah sama Diego."

Terdengar suara tawa menyakitkan milik Bagas. "Saya sudah bilang dengannya kalau saya masih mau berusaha. Saya masih mau sama kamu, Ra. Saya... sekarang mau jadi laki-laki egois yang ingin memiliki kamu. Selamanya."

Mampus. Diora membeku. Bibirnya kelu. Seluruh kosa kata seakan menguap dari dalam otaknya.

"Setelah kita putus, saya merasa beda. Ada yang hilang dari hidup saya. Saya berusaha nyari apa yang kurang, apa yang hilang, dan saya tau kalau saya kehilangan kamu. Saya kekurangan kamu. Hidup saya berasa kosong. Saya masih sering menatap hape, menunggu chat dari kamu, tapi saya lupa, kita sudah putus.

"Saya masih sering memikirkan kamu, apa kebiasaan kamu dan apa yang kamu suka dan tidak suka. Semua hal yang ada di kamu membuat saya senang, Ra. Membuat saya... tenang," jelas Bagas panjang lebar.

"Gak bisa, Kak." Diora menggeleng. "Gak bisa. Kalo pun bisa, gue cuma bisa nganggep kita temen. Gak lebih."

"Beri saya kesempatan satu kali saja, Ra." Bagas memohon.

"Gak ada lagi kesempatan, Kak."

"Kalau begitu saya akan merebut kamu dari Diego," kata Bagas mantap.

"Gak—"

"Ngapain lo masih nelponin cewek gue?!" suara Diego melengking begitu dia merebut ponsel dari tangan Diora. "Mau apa lagi lo sama Diora?"

Diora memerhatikan wajah Diego, keningnya berkerut dalam karena menahan marah. Sebelah tangannya yang bebas bertopang di pinggang.

"Diora pacar gue. Diora punya gue dan lo gak usah ganggu dia lagi. Lo udah putus sama dia, dan gak usah nyari masalah. ... Apa? Oke, kita selesein aja secara jantan, gak usah pake telpon kayak gini. ... Gue juga sayang sama Diora. Kenapa? ... Gue serius sama dia. Atau lo perlu bukti lain? Semisal gue tunangan sama dia? Gue bisa lakuin itu minggu besok kalo Diora nerima."

Diora mendongak, menarik ujung kaus Diego pelan hingga cowok itu menoleh. Nyala api di mata cowok itu padam ketika melihatnya. Sebelah tangannya mengisyaratkan agar Diora tenang.

"Gue mau lo jangan ngehubungin Diora lagi kalo gak ada hal yang penting. Gue gak bakal ngehapus nomer lo di sini, tapi sekali lagi lo ganggu Diora, gue gak bakal tinggal diem. Gue bakal ngehajar lo."

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang