Tiga Puluh Dua

97 21 2
                                    

Diora mengunci layar ponselnya setelah melihat ada satu pesan masuk dari Diego, lagi. Dia masih kesal dengan tingkah cowok itu kemarin yang mengabaikannya. Sebenarnya sudah sejak pagi ini cowok itu mengajaknya berbicara namun Diora menolak. Siapa yang tidak marah dan kesal diabaikan dan Diego seolah-olah melupakan tujuan utamanya.

Heran. Cowok itu hanya pandai mengatai orang tanpa pernah berkaca pada diri sendiri. Lagian Diora tidak butuh Diego, jika perjanjian mereka berakhir maka tidak masalah. Diora senang dan tidak merugi. Toh Bagas juga sudah menganggapnya memiliki pasangan, bukan?

Diora kembali meletakkan ponselnya di dalam tas sebelum kembali meluncur di arena skateboard. Biasanya dua hingga tiga bulan sekali dia datang ke Taman Gajah guna bermain skateboard ataupun sepatu roda, karena taman ini menyediakan dua fasilitas tersebut. Terkadang dia juga bermain basket bersama beberapa orang yang baru dia kenal.

Papan beroda di bawah kakinya meluncur dari ketinggian satu setengah meter, membawa Diora merasakan angin sore. Kedua kakinya berputar mengajaknya bermain di atas papan. Kemudian tubuh Diora sedikit menunduk kala arena itu menanjak, sebelah tangannya berada di balik papan siap mengangkat, dan dia melakukan gerakan melompat di atas papan. Tapi aksinya gagal hingga tubuhnya merosot dan terpisah dari papan beroda.

Diora terkekeh pelan sembari dibantu bangkit berdiri oleh seseorang. Dia mengambil skateboard dan keluar dari arena menghampiri Ani yang sedang merekam dengan ponsel.

"Hape lo dari tadi geter-geter tuh. Kayaknya ada telpon," lapor Ani begitu Diora duduk di sampingnya.

Diora segera mengeluarkan ponsel dan mendapati Diego berusaha menghubunginya sebanyak tiga kali.

"Ah si cowok sempak yang ganggu," kata Diora kemudian. "Panji sama Rahman mana?"

"Beli makanan dan gue yang ditinggal."

"Idih, tu bedua kan kalo beli makan lama mikirnya. Heran." Diora menenggak air minum dari botol yang dia bawa dari rumah. Kedua matanya menyaksikan kegiatan di depannya.

Matahari masih bersinar terang benderang meskipun sekarang sudah pukul lima sore. Diora menghembuskan napasnya, sedikit kelelahan dengan aktivitas tadi. Angin sore yang cukup kencang menerbangkan rambutnya yang diikat kuda. Dia berpaling, hendak berbincang dengan Ani ketika matanya malah menangkap sosok Diego. Sialnya lagi kedua matanya bertumbukan tepat waktu ketika Diego memang sedang mencari dirinya.

Diora berdecak dan segera bangkit, meraih kembali papannya sebelum akhirnya kembali meluncur di arena menjauhi Diego. Cowok itu berdiri di atas langkan, hendak turun namun ragu, akhirnya dia memilih untuk duduk di tempat Diora tadi—di sebelah Ani.

Diora tahu dia tidak bisa lari begini saja dari kekesalan, mau tak mau dia harus mengungkapkannya. Tapi kenapa Diego sampai menyusulnya kemari. Ah ya untuk apa lagi kalau bukan keuntungan cowok itu semata. Sial.

Papan itu berputar dan melaju kemudian berhenti sebelum sempat menyentuh tulang kering Diego.

"Ngapain lo ke sini? Ganggu pemandangan aja," sinis Diora tanpa basa-basi. Dia muak. "Minggir lo, ini tempat gue!"

Diego yang tadinya hendak bergeser memilih untuk berdiri. "Sori, gue tau gue salah kemaren. Jadi gue mau ngelurusin semuanya."

Kedua bola mata Diora memutar jengah. "Mending lo balik deh, kalo mau bahas itu di rumah. Bukan di sini."

"Lagian lo susah banget gue hubungin."

"Ya iyalah. Lo gak liat atau lo gak tau kalo gue lagi marah sama lo?"

"Ya gue kan udah minta maaf sama lo."

"Lo mah emang gak mudeng anaknya."

"Kenapa jadi gue yang mudeng? Makanya, gue harus gimana biar lo maafin gue?"

Kini, mereka nampak seperti pasangan yang tengah bertengkar karena ego masing-masing yang tinggi.

Beneran deh, Diora sejujurnya malas, namun harga dirinya serasa direndahkan setiap kali diam tanpa membalas ucapan tidak benar dari seseorang akan dirinya.

"Nih buat lo Ra, telor gulung pedes pake banget nah terus ad—Baaang," Panji nyengir kuda setelah sadar jika ada sosok Diego di sana. "Mau telor? Yang digulung apa digelar?"

Diora menahan tawanya agar tidak keluar. Bisa-bisanya Panji malah mengajak Diego bercanda di saat-saat seperti ini.

"Gak usah sok nawarin kalo ujung-ujungnya lo gak mau beliin. Mending lo duduk sini aja, terus kita cerita lagi," kata Diora. "Lo masih mau di sini?"

Diego mendengkus lalu menggeleng. Akhirnya dia pergi dari sana karena sudah diusir oleh Diora.

"Ra, lo gak apa-apa nih ngusir dia kayak gitu?" tanya Rahman. "Dia kan anak teknik, disamperin satu angkatan tau rasa lo."

"Bodo amat. Gue gak peduli. Dia sendiri yang cari masalah. Coba lo pikir-pikir lagi deh, salah siapa?"

"Salah dia sih."

"Nah itu. Gue kan udah jelasin semua tadi. Udah deh, gue mau makan dulu."

Diora baru saja bersiap memakai helm ketika sebelah tangan Diego menghentikannya di udara. Jam di pergelangan tangan hampir menunjukkan pukul enam sore.

"Pulang bareng gue ya? Gue jelasin sambil makan... atau sambil jalan?" pinta Diego sungguh-sungguh.

"Emm Ra, jadi lo mau ikut siapa?" sahut Panji pelan karena posisinya yang masih memegang helm, sementara tangan Diora juga memegang helm namun ada Diego yang mencekalnya.

"Sama dia. Lo balik duluan aja," kata Diora kemudian melepaskan pegangannya dari helm.

"Ooh oke. Sampe besok. Bye."

Ketika motor bebek Panji sudah menghilang dari pandangan, Diora beralih menatap Diego. "Mau apa?"

"Gue sebenernya mau makan. Ke Encim Gendut yok," kata Diego berhati-hati.

"Oke. Tapi lo yang bayar."

"Gue tau. Tapi jangan bar-bar lo makannya."

"Minta gue banting ya lo?"

Diego nyengir. "Jangan di sini, kalo di rumah gak masalah. Gue bisa bales banting lo."

Diora mendengkus, mengikuti Diego berjalan memasuki mobil yang diparkir tak jauh dari sana.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang