Tiga Puluh Tiga

104 23 2
                                    

Btw cerita ini gue ikutin acara GMG Hunting Writer. Naah kalian bisa tuh ikutan GMG Reader, caranya bisa liat di IG gmgwriters.id. Ada hadiah novel buat kalian, lhoooo.

***

Diora menusukkan garpu ke atas tempe goreng dengan keras ketika Diego mulai buka suara. Tidak bisakah cowok itu berbicara nanti setelah selesai makan? Kalau yang disampaikannya membuat Diora jengah yang ada nanti dia tidak bernafsu untuk makan.

"Lo ngerti etika makan, gak? Gak boleh ngobrol pas makan."

Diego berdecak, "Ntar kalo udah selesai lo mau bilang kalo nasi di perut lo belom turun, gitu?"

Diora mengangkat bahu tak acuh lalu mulai makan. Dia tadi mengambil lauk tempe goreng dengan sayur bunga pepaya dari prasamanan. Dengan menu sederhana seperti ini sudah membuat Diora senang, rasa pahit dan gurih tempe berpadu menjadi satu rasa yang mewah.

"Enak banget ya, Ra?"

Kedua mata Diora tanpa sadar sedari tadi menutup menikmati kemewahan rasa, dibukanya kedua mata itu dan melihat Diego yang menatapnya tertegun.

"Jadi lo mau ngomong apa?"

"Maafin gue. Gue tau harusnya kemaren gue gak ninggalin lo gitu aja, apalagi pake alesan keluarga Sarah. Gue tau harusnya gue ada bareng sama lo karena lo udah gue anggep sebagai gebetan."

"Oke. Terus?"

Jari-jemari Diego yang berada di atas meja bergerak memutar. "Gue... janji deh kalo ada acara lain gue gak bakal ninggalin lo, apalagi cuma berdua sama Gilang kayak kemaren."

"Ah kayaknya Gilang gak seburuk yang lo bilang. Emang player, tapi dia perhatian."

"Jangan mulai." Diego mengingatkan. "Sarah nanya hubungan lo sama gue gimana, dan gue jawab aja kalo lo bakal jadi pacar gue pas selesai gue sempro," jawab Diego. "Gue rasa sih dia udah mulai penasaran."

Diora hanya bergumam.

"Ra, gue tau apa yang gue lakuin salah. Gue ninggalin lo sama Bagas dan gue juga ninggalin lo sama Gilang. Gue... brengsek karena gak mikirin lo. Maaf."

Diora sedikit terhenyak ketika melihat kepala Diego tertunduk. Di luar, senja sudah mulai hilang, digantikan dengan kelabu. Lampu-lampu dari bangunan-bangunan yang ada di sana sudah menyala terang, menerangi setiap sudut kota.

Setelah lama berkecimpung dengan pikirannya, Diora akhirnya berdeham, "Oke. Itu kesempatan terakhir lo, kalo sampe lo nyeleweng lagi gue hajar lo!"

Meskipun dengan nada mengancam, namun Diego mengulas senyumnya.

Lima belas menit kemudian, Diego mengajaknya untuk kembali pulang, berkendara kembali membelah jalan menuju rumah. Sesekali mereka berbincang seputar topik yang tidak masuk akal atau seringkali seputar aktor luar negeri.

"Jadi lo udah maafin gue?" tanya Diego ketika Diora membuka pintu pagar.

"Udah. Kenapa belum?"

"Ya siapa tau lo minta perhatian gue, kan."

"Gak usah ge-er jadi orang!" Diora mendengus dan berbalik, namun pergelangan tangannya ditarik pelan oleh Diego. Kekosongan sela-sela jemarinya diisi dengan pilinan jari-jemari Diego.

Diego menatap ke arah jemarinya yang bertaut lalu pada wajah Diora. "Good night, Ra."

Desiran pelan itu menghangatkan jari-jemari dan merambat ke wajahnya, Diora mengerjapkan kedua matanya, mengangguk pelan lalu melepas tautan sebelum akhirnya berbalik memasuki rumah.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang