Empat

167 33 9
                                    

Sembari mengikat tali sepatu, Diora menyenandungkan lagu dengan kedua mata mengamati rumah sebelah yang sunyi. Katanya sudah pindah tapi mengapa masih terlihat seperti sebelum dihuni. Padahal sudah dua hari ini pindah, Mama juga bilang kalau anaknya Tante Rita berkuliah di kampus yang sama dengannya, tapi sayangnya anak Tante Rita itu cowok—dan Diora masih belum tau rupa Tante Rita seperti apa.

Hari ini hari Sabtu. Hari libur. Seperti biasa, seminggu sekali Diora pasti lari pagi. Hitung-hitung buat badan capek terus tiduran lagi, itu pun jika Mama dan Wildan tidak mengganggu. Hari libur memang hari santainya, tidak perlu mandi, bisa menonton televisi sepuasnya, bermain tic-tac-toe, menyelesaikan puzzle dan minum cokelat panas.

Langkah kaki Diora melaju perlahan setelah melakukan pemanasan, rambutnya yang diikat ekor kuda berayun seirama. Dihembuskannya napas lalu ditariknya kuat-kuat dan kembali dihembuskan. Paru-parunya seketika terisi dengan udara pagi nan sejuk menenangkan.

Setelah berlari pagi selama kurang lebih tiga puluh menit, Diora mengistirahatkan kedua kakinya di sebuah minimarket 24 jam.

Diora membuka mesin pendingin, hawa dingin meningkat dua kali lipat ketika merayapi tubuhnya yang berkeringat, sebelah tangannya berusaha mencapai minuman isotonik yang berada di urutan keempat. Minuman itu terenggut sepersekian detik sebelum tangannya sempat meraih.

"Eh itu Pocari punya gue! Balikkin!" decak Diora yang kini sudah berkacak pinggang. "Lah elo ternyata, si tersangka pengrusak hape dan penumpah Chatime gue."

"Oh ternyata elo si cewek bar-bar." Diego menaikkan satu alisnya yang bercodet.

"Dasar lo, udah gak bertanggung jawab sekarang pake ngata-ngatain gue lagi. Mau cari masalah?"

"Dari awal lo yang cari masalah. Minggir lo, gue mau bayar."

"Eh gak!" Sergah Diora menahan siku Diego. "Gue yang ngeliat duluan."

"Tapi gue yang ngambil duluan." Diego bersikukuh sembari mendekap minuman.

"Gue yang buka tutup freezer-nya."

"Gue yang megang duluan." Telunjuk Diego segera menunjuk wajah Diora mantap. "Oh jangan-jangan lo cuma modus pegang-pegang gue, kan?"

Diora buru-buru menyentak tangannya. Sial. "Najis. Lo gak usah ge-er jadi orang."

"Kalo lo mau—" Diego membuka tutup minuman itu dan menenggaknya dua kali. "—ambil aja," katanya menyodorkan isotonik itu pada Diora.

"Lo kata gue sudi minum bekasan lo? Emang jigong lo itu semacem jigongnya Poseidon?"

"Sebelas dua belas lah. Masih gak mau?"

Banner promo produk yang sedang diskon di atas kepala Diego bergoyang-goyang pelan, menanti perdebatan sengit selanjutnya di antara kedua insan muda di bawahnya.

Kedua mata Diora memicing. "Lo emang bener-bener tukang cari masalah, ya? Pertama, lo gak mau ganti rugi karena udah ngerusakin layar hape gue, minta maaf aja gak. Kedua, lo masih aja nyolot?"

Diego berdecak, bulir keringat terlihat mengalir dari kening dan berhenti di alis tebalnya. "Kenapa memangnya? Emang lo udah jadi orang yang bertanggung jawab? Lo juga gak minta maaf sama gue."

"Buat apa minta maaf sama orang songong kayak lo?"

"Dan buat apa gue minta maaf sama cewek gak tau diri kayak lo?"

"Maaf Mbak sama Mas, mungkin berantemnya bisa di luar aja." Sang kasir yang sedari tadi diam memerhatikan menginterupsi, merasa bahwa perdebatan dua orang itu sudah di luar batas. "Maaf, tapi pelanggan yang lain keganggu."

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang