Tujuh Belas

123 28 8
                                    

"Nih. Tapi lo gak harus bohong kayak tadi juga." Diora menyerahkan sebotol infused water pada Diego yang sedang berolahraga di depan rumah sore itu. "Ya tapi makasih juga sih karena lo, gue jadi ada alesan."

"Dia buat lo gak nyaman?" Kedua tangan Diego bertopang di atas tembok pembatas antara rumahnya dan rumah Diora. Keringat meluruh dari dahi ke dagunya.

"Bukan, bukan gak nyaman kayak gitu. Lo udahan latihannya?"

Diego mengangguk, matanya mencari mata Diora yang selalu saja menolak. "Udah. Dia ganggu lo?"

"Gak. Lo lanjut aja latihannya."

"Gue udah selesai. Dia mantan pacar lo, kan? Lo putus sama dia gak baik?"

"Baik, cuma..." Diora menggaruk tengkuknya, bingung harus menjelaskan apa pada Diego. "Udah deh. Kenapa lo jadi kepo banget sama gue, sih? Jangan-jangan lo mulai tertarik ya sama gue?"

Diego mendesis, dia kembali melihat sosok Diora yang biasa. Cewek itu mampu memasang wajah mengejek. "Iya gue tertarik menjalin suatu kerja sama."

"Ha? Gue bukan pengusaha, lo harusnya datengin Bang Wildan."

"Ini bukan yang ngehasilin duit. Tapi bakal ada keuntungan buat lo sama gue," ujar Diego mantap.

"Gue gak ngerti maksud lo apaan."

"Makanya jelasin dulu kenapa lo bisa putus dari Bag...Bagan?"

"Bagas," koreksi Diora cepat.

"Iya itulah. Gue minta penjelasan soal kenapa lo bisa putus dari Bagas itu."

Diora mendekatkan tubuhnya hingga wajahnya hanya berjarak satu jengkal dari Diego. Kedua matanya menelisik raut wajah cowok itu saksama. "Gini ya sempak kendor, lo gak punya hak untuk tau lebih dulu tanpa ngasih tau lebih dulu ke gue."

"Menarik." Diego menarik tubuhnya makin dekat hingga sepenuhnya menempel dengan tembok. "Gue... gue putus dari pacar gue secara gak baik-baik. Dan gue mau buat dia sadar kalo cuma gue cowok yang cocok sama dia."

Diora hampir saja menyemburkan tawanya di depan wajah Diego. Cowok itu benar-benar percaya diri sekali. "Emang ya kalo urat malunya udah kendor jadi pede aja kayak lo, sempak kendor. Maksud lo, gue bakal bantuin mantan lo buat balik sama lo?"

"Gak secara langsung. Kita bisa buat perjanjian nanti."

"Kalo lo masih suka sama dia ya lo harusnya berjuang sendirilah. Aneh lo."

Sebulir keringat mengalir turun dari dahi ke dagu Diego, menciptakan jalur basah. "Ini juga cara gue berjuang sama dia. Gue mau liat reaksi dia. Dan gue yakin dia juga sepenuhnya masih suka sama gue."

"Siapa nama mantan lo?" tanya Diora.

"Sarah."

Diora manggut-manggut. Dia menyentil semut yang lewat di atas tembok dan hampir mengenai wajah Diego. "Dari mana lo yakin kalo Sarah masih demen sama lo?"

"Banyak bukti cuma dia gengsi aja untuk bilang sama gue. Jadi gimana? Setuju?" Diego menaikkan kedua alisnya begitu antusias dengan perjanjian yang tengah mereka perbincangkan tapi Diora masih ragu.

"Gak. Gak. Gue masih ngerasa ngambang. Lo, tetangga gue, tiba-tiba ngajak kerja sama. Gue bener-bener gak percaya sama lo. Kenapa harus gue?"

"Karena lo tetangga gue dan... gue suka sikap lo yang blak-blakan itu. Apa lagi yang kurang?"

"Doesn't make sense enough. Ooh jangan-jangan karena gue ini gak selevel sama mantan lo itu?" Hidung Diora berkerut.

"Salah satunya," kata Diego, buru-buru dia menambahkan, "Gak. Bukan gitu. Gue ngeliat kalo lo itu beda dari kebanyakan cewek, lo emang gak kayak Sarah. Lo beda. Lo... orang yang tampil apa adanya."

"Jadi?"

"Jadi gue ngerasa kalo lo itu orang yang bakal bisa bantu gue karena lo gak neko-neko. Oh iya, ini bukan cuma buat gue doang tapi buat lo." Diego memasang senyum simpul.

"Buat gue?" Diora mencemooh. "Gak usah sok tau urusan gue deh."

"Bukan sok tau tapi gue tau. Dari gelagat lo juga keliatan, Diora," ucap Diego percaya diri. Kedua matanya yang tajam mengunci tubuh Diora hingga cewek itu berdiri kaku. "Lo gak nyaman sama Bagas."

Diora mengerjap kaku, dia menjauhkan tubuhnya lalu berdiri tegak. "Gak nyaman? Lo gak tau ceritanya."

"Makanya kasih tau gue."

"Lo tau gak sih, hubungan lo sama gue itu aneh. Siapa yang gak tau lo sama gue itu musuhan? Lo liat kan, ada garis kasat mata antara lo sama gue."

Diego diam menyimak dengan menyugar rambutnya yang sudah setengah kering.

"Garis musuh," Diora melanjutkan, "jadi lo gak bisa nganggep ini sesimpel itu. Gue gak bisa bantu lo. Gak sama sekali."

"Ini cuma boongan. Gampang. Pertimbangin ini lagi deh sebelum lo nolak."

Diora memutar otaknya, menelisik kejadian beberapa hari terakhir. "Oooh ini juga ya alesannya lo pernah baik sama gue. Mau ngajak gue kerja sama?" tebaknya langsung.

Diego menghembuskan napas, memerhatikan langit sore di atasnya dan kembali memandang mata hitam milik Diora. "Terserah lo mau bilang apa. Intinya gue emang mau jalin kerja sama."

"Lo yakin banget kayaknya kalo gue bisa bikin lo balikan sama Sarah."

"Belun tau kalo belum dicoba, Diora."

Diora mengernyit melihat betapa gigihnya Diego dalam mengajaknya menjalin kerja sama. Padahal cowok itu juga tahu kalau dirinya tidak bisa membantu. Apapun caranya.

"Gak banyak yang tau kalo lo itu bermasalah sama gue. Ya palingan cuma Gilang—"

"Bagas juga tau," sela Diora tajam.

Diego mengibaskan tangannya. "Itu gampang. Lo liat gimana reaksi dia pas ada gue kemaren? Lo pasti bisa liat itu juga."

Iya memang, meskipun sekilas namun Diora tahu jika Bagas terganggu dengan adanya sosok Diego. Tapi apa untungnya jika dia menjalin kerja sama dengan cowok ini? Tentu saja tidak ada.

Akhirnya Diora menggeleng keras. "Gak deh. Lo bisa cari yang lain."

Diego malah menyeringai, membuka minuman yang diberikan oleh Diora lalu ditenggaknya. Jakunnya naik turun dengan napas yang sedikit berdegak. "Gue masih buka kesempatan 1x24 jam. Pikirin aja dulu."

***

Diora ternyata benar-benar memikirkan ucapan Diego sore tadi. Sebuah penawaran yang sebenarnya masih membayang dan setengah hati Diora ingin menjawab iya. Dia tahu jika dia butuh seseorang untuk mengalihkan Bagas. Perasaannya pada Bagas.

Diora sempat berpikir untuk mencari seseorang yang baru agar bisa melupakan Bagas namun nyatanya tidak berhasil. Dia masih saja terpikirkan Bagas, hanya ketika bersama dengan tiga temannya, pikiran akan Bagas itu hilang. Namun dia tidak bisa jika meminta Panji dan Rahman membantunya agar menjauhkan Bagas di kala Bagas mulai kembali memasuki dunia Diora. Diora tidak ingin mematahkan janji yang sudah dibangun susah payah untuk dirinya sendiri.

Diora bukan merasa terganggu dengan Bagas, tapi dengan perasaannya sendiri. Dia sampai-sampai takut dan juga kesal.

Diora berguling di atas kasurnya. Kedua matanya kini menatap langit-langit kamar. Rahman mengajaknya untuk keluar tadi namun dia tolak. Dia sedang bingung dan kalut.

Apa kiranya keuntungan yang akan didapat Diora jika menyetujui kerja sama dengan cowok setengah sinting yang ternyata adalah tetangganya itu. Cih, rasanya tidak ada. Mungkin Diego bisa membohongi Sarah namun Bagas tidak demikian. Cowok itu malah sudah menduga semuanya adalah sandiwara sejak awal. Bagas terlalu pintar untuk dibodohi oleh orang seperti Diora.

Kalau dipikir-pikir sih apa untungnya menjalin kerja sama dengan Diego? Karakter keras cowok itu bisa saja membuat Diora terkena hipertensi, nanti wajahnya tahu-tahu sudah penuh keriput halus sebelum menginjak usia dua puluh lima tahun. Tidak deh. Apalagi dengan sikap menantang milik cowok itu yang bahkan Bagas saja mampu dibuat tidak nyaman.

Sialan!

Dengan cepat Diora turun dari kasur, membuka pintu kaca dan melompat ke balkon seberang. Buku-buku jemarinya beradu dengan kaca yang tertutup kemudian terbuka.

"Oke gue setuju kita jalin kerja sama."

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang