Enam Belas

114 23 2
                                    

Diora melihat kalender yang tertempel di ruang keluarga itu dengan kening berkerut. Jika dilihat-lihat dan dihitung-hitung, wisuda akan dilaksanakan kurang lebih sebulan lagi. Hari ini juga adalah batas akhir mendaftar wisuda. Diora lebih takut menghadapi bulan esok karena janji yang sudah dia ucap pada Bagas daripada kuis-kuis, UTS dan juga UAS.

"Bagi es krim lo," kata Wildan yang berdiri di sebelah Diora. Adiknya itu segera memberikan es krim yang tersisa setengah pada Wildan. "Ngapain lo ngeliatin tanggalan? Mau nyari hari baik buat ditembak?"

"Ih bukan urusan lo. Lo buat gue bete aja."

"Kafe gue aja yok." Wildan menelan sisa es krim hingga tandas. "Ada yang mau gue tunjukkin ke lo."

Wildan segera merangkul Diora, membawa adiknya menuju kafe. Lima belas menit berselang mereka sampai, Wildan segera mengajak Diora menuju lantai dua.

"Widih, keren juga studio poto lo." Diora memutar tubuh. Kedua matanya berbinar mengagumi studio photo itu. "Ini siapa yang ngerancang?"

"Si Amir sama adeknya," jawab Wildan. "Nah Ra, cocok. Lo diem di sana."

Diora segera terdiam ketika melihat Wildan mengeluarkan ponsel dari saku celana kemudian dia sedikit mengangkat bibirnya membentuk senyum tipis.

"Gimana? Gimana? Cantik, kan?"

"Jutek banget anjir. Gak cocok lo jadi model, cocoknya jadi pegawai toko kosmetik."

"Ih kopet emang. Jadi haus gue, nih. Lo kudu tanggung jawab." Diora menghentakkan kedua kakinya sebelum beranjak turun untuk meminta segelas espresso. Langkahnya terhenti di anak tangga terakhir ketika dia melihat Diego dan kumpulannya menempati meja panjang di pojokkan.

Gilang menyadari sosok Diora dan segera mengulas senyum menarik perhatian Diego yang duduk di sebelahnya. Bedanya Diego memasang wajah datar seakan tak peduli. Tapi Diora juga tidak peduli. Sudah deh, menjadi tetangga yang meskipun jarang bertemu saja Diora sudah malas menyapa, apalagi bertemu seperti ini.

Eh tapi omong-omong soal Diego, tadi pagi cowok itu datang kembali ke rumahnya bersama dengan Tante Rita untuk meminta maaf. Padahal Diora dan Mama sudah tidak ada masalah lagi dengan hal itu, namun Tante Rita memaksa karena mengkhawatirkan Diora. Alih-alih merengut Diego malah memasang wajah datar, menarik tanya di kepala Diora.

"Ra, mau minum?" Willy yang sudah memegang cangkir itu menyentak Diora dari lamunannya. "Minum apa?"

"Espresso mendidih," jawab Diora asal.

"Seriusan nih mendidih banget? Gak sekalian langsung gue tuang ke mulut lo, Ra?"

"Ah Bang Will bisa aja becandanya." Diora nyengir kuda. "Espresso aja satu."

"Dua, Bang Will."

Diora menoleh dan melihat Bagas dalam balutan kemeja putih lengan pendek duduk tersenyum dengan rambut yang disisir ke samping. Senyum cowok itu terukir sejak tadi.

"Halo, Diora," sapa Bagas, gigi-geliginya nampak ketika dia tersenyum.

"H-Hai, Kak Bagas. Tumben ke sini." Melihat wajah Bagas, Diora jadi teringat akan jadwal wisuda.

"Saya mau ngobrol sama Kakak kamu soal foto wisuda," jelas Bagas. "Gak nyangka ada kamu juga di sini."

Diora menerima espresso yang disodorkan oleh Bagas setelah sebelumnya disodorkan oleh Willy. "Ooh, iya ya, kan bentar lagi mau wisuda."

"Gimana kabar kamu di kampus?"

"Baik kok, Kak. Masih kumpul sama tiga orang itu. Masih suka ngelawak."

"Bagus deh. Saya jadi gak khawatir. Tiga temen kamu emang sesuai sama kamu, Ra." Sinar mata Bagas penuh dengan ketulusan yang membuat wajah Diora menghangat.

Diora nyengir kuda seraya menyeruput espresso di depannya. Mukanya hampir saja menjalarkan semburat merah karena mendengar Bagas berkata jika dia khawatir dengan Diora. Ya Allah ya Rabb, beneran deh, Diora jadi tidak tahan. Kedua matanya saja sudah mengunci pada sosok Bagas dan melihat bibir cowok itu berkomat-kamit. Namun Diora tidak tahu cowok itu berkata apa sampai akhirnya dia sedikit menjauhkan bibir cangkir dari bibirnya.

Setelah beberapa detik, Diora sadar dia salah meminum kopi. Kopi yang baru saja dia sesap dan masih bertengger di tangannya itu milik Bagas.

"Aduh Kak, sori banget. Sori. Ini beneran deh tangan gue gak sinkron sama otak. Sori banget," sesal Diora.

"Ra, ya ampun. Diora. Astaga." Bagas malah tertawa lepas hingga kedua bahunya berguncang hebat. Air mata bahkan sempat tercetak di kedua matanya.

Mau tak mau Diora juga jadi tertawa karena Bagas. Diletakkannya cangkir di atas meja. "Untung kopi gue belum diminum. Gih, lo minum punya gue aja."

"Kamu memang moodboster saya, Ra. Selalu bisa buat saya tertawa."

Diora tersenyum malu-malu. Padahal, dulu, Diora itu tidak ingin melepaskan sisi liarnya di hadapan Bagas, tapi otaknya sering kali tidak mau bekerja sama. Hingga sering kali Diora seperti kuda liar, tertawa terbahak, duduk tidak benar dan juga melakukan sesuatu yang jarang orang lakukan. Contohnya seperti yang tadi.

"Tambah mochaccino satu ya di meja sana, Bang," ucap Diego tiba-tiba dari belakang tubuh Diora. Sengaja menaikkan volume suaranya. "Sama kentang goreng deh dua."

Willy mengangguk mengerti dan segera menyiapkan pesanan dibantu dengan Amir yang baru saja datang.

Punggung Diora bisa merasakan jika lengan Diego memang sengaja menyentuh lengan belakangnya. Entah dengan tujuan apa.

"Kepala lo masih sakit?" tanya Diego dengan suara beratnya, membuat Diora mendongak.

"Udah baikan kok. Tadi pagi lo juga udah nanya."

Diego sedikit menunduk menyejajarkan wajahnya pada wajah Diora dan tanpa permisi menyingkap sejumput rambut Diora yang menutupi kening. Tanpa sadar Diora menahan napasnya karena melihat Diego yang menatapnya dalam. "Oke," katanya singkat lalu memundurkan wajahnya.

"Memangnya kepala kamu kenapa, Ra?" tanya Bagas khawatir yang membuat Diora segera membalikkan badan.

Diora menggaruk tengkuknya yang mendadak terasa gatal. "Oh itu... gue kemaren kena bola karena gak liat. Tapi gak apa-apa kok," jelasnya yang tak berani membalas tatapan Bagas.

Bagas mengangguk pelan, lidahnya bergerak membasahi bibir. "Emm, Ra, kamu hari ini bisa ke rumah saya?"

"Ha? Ada apaan emangnya, Kak?" tanya Diora gugup. Dia harus menolak ajakan itu dengan sehalus mungkin.

"Ibu mau ketemu sama kamu katanya," ucap Bagas santai. Padahal hanya begitu saja sudah mampu membuat Diora berdesir.

Ingin dia menjawab iya namun Diora paham konsekuensinya. Ingin dia menjawab tidak tapi dia juga tahu konsekuensinya. Semuanya sama-sama memiliki konsekuensi. Tapi konsekuensi terberat yang akan dia tanggung adalah ketika menjawab ya. Tapi untuk menjawab tidak Diora butuh alasan kuat dan masuk akal. Tidak mungkin dong alasan Diora hanya sekadar tidak enak badan ataupun diare. Itu basi.

Di saat dia bimbang, punggungnya kini merasakan tangan Diego yang seakan ingin merengkuh namun tangan itu segera menjauh tapi tidak dengan tubuh Diego.

"Lo ada janji kan sama nyokap gue nanti sore. Jangan lupa. Nyokap gue gak suka kalo janji gak ditepatin."

Diora mendongak hampir mengeluarkan sumpah serapahnya, tapi urung ketika melihat wajah datar milik Diego. Dia segera beralih pada Bagas. "Eh iya, gue lupa. Sori Kak, gue udah ada janji lain yang lebih duluan. Jadi gak bisa."

Bagas melirik Diego sejenak sebelum menatap Diora lalu berkata, "Iya, gak apa-apa, Ra. Saya paham kok."

Namun Diora tahu, bukan itu yang dirasakan oleh Bagas. Dia paham jika cowok di depannya tidak pintar menyimpan emosi. Dalam hati, Diora ingin berterima kasih pada Diego yang sudah membantunya meskipun itu melukai Bagas. Pundaknya kemudian diremas pelan oleh Diego. Remasan yang hangat dan tulus hingga Diora sedikit terhenyak. Dengan pandangan, dia mengikuti Diego yang kembali bergabung dengan kumpulan di sana, kembali sibuk tanpa menatap Diora sama sekali.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang