Dua Puluh Satu

113 24 4
                                    

Diora menyesap Chatime-nya dengan penuh kenikmatan. Yang kurang hanya ayam geprek yang baru saja dia pesan karena tidak mau mengambil resiko kepedasan, jadi dia berinisiatif memesan Chatime terlebih dahulu. Semuanya tentu saja dibayar menggunakan uang virtual milik Diego. Ah sungguh enak sekali pekerjaan yang dia lakukan. Tak apa jika harus pulang lebih lama asalkan dia tidak harus menguras uang jajan demi Chatime dan makan.

Ada dua orang cewek yang duduk dua meter dari Diora, bercakap-cakap ramai seputar make up, boyband Korea dan segala macam perawatan tubuh yang tidak Diora mengerti. Mereka adalah pasangan dari dua teman Diego yang masih berada di lapangan.

Dua menit selepas ayam geprek pesanannya datang, Diego sengaja menepi untuk menghampiri. Wajah cowok itu dipenuhi peluh dengan rambut yang lepek.

"Lah udah lo mainnya?" tanya Diora ketika Diego menghampirinya dengan badan penuh keringat. Cowok itu menaikkan bajunya hingga perutnya terlihat.

"Istirahat dulu lah. Makanya main," dengus Diego. Dia hendak mengambil Chatime dari tangan Diora tapi cewek itu dengan cepat menepis tangannya. "Pelit banget lo."

"Yee, tadi gue tanyain mau apa gak, lo jawab gak mau. Lagian tuh bagusnya minum air putih."

"Berisik lo. Makanannya udah dateng?"

"Udah." Diora meilirik kotak ayam geprek di sebelahnya. "Lo mau makan juga?"

Diego menggeleng samar. "Gak deh. Gue gak mau nyiksa lambung gue dengan level lima itu."

"Ya bagus. Gue juga basa-basi doang. Awww!" Diora segera mengusap keningnya yang dijitak pelan oleh Diego. Dia mendesis. "Tangan lo borokan tau rasa."

Diego berdecak, dia segera duduk di sebelah Diora. Tubuhnya begitu dekat hingga keringatnya saja sudah menempel ke pakaian Diora. "Lo bisa gak sih jaga mulut? Lo lupa kalo kita udah mulai perjanjian?" bisiknya tajam.

"Ih iya, iya. Lo jauhan deh. Keringet lo ngalir kayak dipakein pipa paralon."

"Lo gak gabung ke sana?"

Diora melihat arah lirik Diego—pada dua cewek di sebelahnya. "Gak. Gue gak sefrekuensi sama mereka. Yang ada gak nyambung deh."

"Ya iyalah. Secara, lo kan dari dunia lain," kata Diego. Dia buru-buru menghindar dari serangan cubitan Diora. "Udah lo makan sana."

Diora segera mengeluarkan sendok yang selalu dia bawa dari dalam tasnya dan mengelapnya menggunakan ujung baju. Diego menggeleng takjub. "Eh iya, jadi alasan lo waktu itu nanya gue ada pacar apa gak karena mau jalin kerja sama?"

"Iya. Tapi lo udah keburu ge-er, nyangka gue suka sama lo beneran. Sori nih, tapi gue masih waras," ucap Diego sembari menyunggingkan senyum mengejek. "Pulang jam delapan kayaknya kita."

"Oke. Gak masalah. Yang penting lo udah ijin sama orang rumah gue terus gue juga udah makan."

"Lo gak risih apa kagak mandi gitu?"

"Kenapa emangnya? Gue gak ada masalah. Alhamdulillah juga gak ada penyakit kulit."

"Lo mah penyakit hati yang banyak," komentar Diego. "Gue mau main lagi. Abisin nasinya jangan sama kotaknya. Kalo kurang ya udah ratapin aja."

Diora ingin melempar sendok di tangannya kalau saja makanannya sudah habis. Coba saja pikirkan, Diego bilang mereka sedang menjalankan kerja sama, tapi cowok itu selalu mengundang amarah. Aneh memang. Dasar sempak kendor sudah tidak waras. Harusnya cowok itu juga bisa menjaga emosi dan suasana agar Diora tidak terpancing.

Diora hampir beserdawa ketika makanannya sudah habis tanpa sisa, Chatime-nya juga sudah habis. Bahkan kini Diora sudah mulai mengunyah sisa-sisa es batu. Tadi Gilang sempat menghampiri untuk berbasa-basi yang dibalas sekenanya oleh Diora.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang