Tiga

175 36 2
                                    

"Kok lo gak bilang sih kalo ada di rumah?" tanya Diora kesal begitu mendapati kakaknya kini sudah duduk manis di teras rumah.

Kenapa kakaknya tidak bilang kalau ada di rumah, sih? Kan Diora bisa menghemat uang ongkos, hitung-hitung bisa untuk tambahan beli Chatime.

"Lo gak nanya," jawab Wildan cuek.

Diora mendesis, "Eh, sebelah udah ngisi ya?" tanyanya kemudian dengan leher terjulur panjang-panjang. Dilihatnya rumah di sebelahnya yang kini sudah ada sebuah truk. "Lagi pindahan?"

"Bawel amat lo. Kan bisa keliatan sih, kalo lo kepo datengin sana."

Kepala Diora masih memerhatikan, melihat apa saja yang bisa terlihat. Tapi sepertinya tidak ada apa-apa. Atau jangan-jangan hanya sekadar mobil truk yang parkir di sana? Tapi rumah itu sudah bersih dari rerumputan liar, kan kalau benar ada tetangga baru Diora jadi tidak merasa terlalu sepi.

Sepuluh menit kemudian rumah itu mulai menunjukkan aktivitas, ada beberapa laki-laki keluar dari sana, tak lama sebuah mobil truk berukuran lebih besar datang. Kali ini beberapa laki-laki itu mulai mengangkut barang dari truk yang lebih besar.

"Kamu habis dari mana, Ra?"

"Eh, Mama. Ngagetin aja," ujar Diora hampir terlonjak dari duduknya. "Aku habis dari kampus."

"Tumbenan kamu ke kampus. Kan gak ada jam." Mama menggeser tubuh Diora agar dia bisa duduk di sebelah anak perempuannya.

"Abis kerja kelompok, Ma," kilah Diora.

"Kerja kelompok apa kerja kelompok?" sahut Wildan dengan nada mengejeknya yang membuat Diora hampir melayangkan meja di sebelahnya.

"Mama udah tau siapa yang mau pindah?"

Mama menggeleng. "Mama cuma liat sekilas aja, terus orangnya belum keluar-keluar lagi."

"Mama seneng kan ada temen ghibah?" Diora menyenggol Mama namun dia segera mendapat cubitan pelan di lengan.

Mama mendelik. "Kamu ini lho, ghibah aja pikirannya."

Nyengir kuda, Diora berdendang, "Tetangga baru Alhamdulillah, tuk berghibah di Hari Raya, tak barupun tak apa-apa, masih ada tetangga yang lama."

Wildan dan Mama serempak terkekeh pelan, bahkan Wildan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Mandi dulu sana, badan kamu itu bau asem. Nanti gak ada cowok yang mau sama kamu kalo bau," oceh Mama menghalau tubuh Diora agar segera mandi.

Diora mengangguk dan melangkah masuk menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Dia melepas ranselnya dan melemparnya ke atas kasur namun tas itu malah terjatuh ke lantai.

Niat awalnya memang ingin mandi namun karena melihat ponselnya dia malah asyik berselancar dalam dunia Twitter, melihat video-video konyol yang membuatnya terbahak, sayup-sayup suara berisik membuatnya mendongak. Dari kamarnya dia bisa melihat aktivitas dari rumah sebelah—tepatnya di bagian kamar yang berdekatan dengan kamarnya—terdapat beberapa orang berlalu lalang memindahkan barang.

Beranjak bangun dan berjalan menuju pintu kaca geser, Diora kini berdiri di balkon kamarnya sembari menatap kamar tetangganya yang berada tepat di depan matanya. Ukiran-ukiran akar pohon berkelindan di pagar pembatas balkon, beberapa garis hitam tak beraturan menjalar di sekitar uliran menjelaskan jika rumah di depannya sudah cukup lama kosong.

Tirai kamar di depannya nampak menari-nari terbawa hembusan angin, jemari Diora memegang tepian balkon, kedua matanya senantiasa menatap kamar di depannya. Kurang lebih dua tahun rumah itu kosong dan kini rumah itu akan ada yang menempati, begitu juga dengan kamar yang bersebelahan dengan kamarnya. Terakhir kali yang Diora ingat, pemilik kamar itu adalah seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang sangat pendiam dan jarang keluar rumah.

Diora kembali memasuki kamarnya dan menutup pintu kaca geser di belakangnya itu hingga berbunyi. Mungkin kali ini Diora akan memiliki tetangga yang sesungguhnya.

***

Panji kuda : Katanya mo keluar sm kk lu. Tukang tipu lo

Diora membaca pesan WhatsApp dari Panji itu sebagai balasan dari foto yang dia pasang sebagai status WhatsApp miliknya. Jemari Diora segera membalas pesan itu.

Diora : Nga jd. Kk gue ke kafe

Panji kuda : Hhhhhhhhhhhhhh

Sebenarnya memang dia tadinya akan pergi dengan Wildan ke mal membeli tas baru namun karena Wildan sibuk dengan kafenya jadinya rencana itu ditunda. Diora ingin marah tapi berhubung Wildan yang akan membayari tasnya jadi dia hanya bisa diam, sudah dapat gratis kok memaksa, kan tidak etis sama sekali. Dia juga mau saja keluar tapi kemalasan kini sudah berada di atas dari segala hal yang harus dia lakukan malam ini. Rahman dan Panji juga tidak akan mau menjemputnya, alasan klasiknya adalah jarak—tapi memang benar sih jarak dari King ke rumahnya cukup jauh.

Tak berselang lama, sebuah pesan WhatsApp masuk, isinya hampir sama dengan pesan dari Panji namun kali ini datang dari Ani. Diora hanya membalas sekenanya.

Biasanya Diora memang keluar bersama dengan tiga orang itu yang sudah menjadi konco kentel dengan lawakan-lawakan receh yang selalu dilontarkan oleh Panji dan Rahman. Biasanya tempat nongkrong malam mereka ada di King—salah satu kedai kopi langganan mereka.

"Wih ada rawon. Mama masak rawon?" Diora berseru senang ketika membuka tudung saji dan melihat semangkuk rawon di sana.

"Bukan." Mama menyerahkan piring pada Diora. "Tapi Tante Rita."

"Tante Rita? Rita Sugiarto?"

"Hish bukan. Itu tetangga baru. Tetangga sebelah."

Bibir Diora membulat sembari memundurkan kursi agar dia bisa duduk. "Aku kira penyanyi dangdut. Satu kali kau salah melangkah, bibir mulai berdusta. Acikiwir! Acikiwir!"

"Udah! Udah! Kamu ini kalo udah dangdut aja cepet." Mama mengibaskan kedua tangannya dan menyuruh Diora untuk segera makan. "Oh iya Ra, Tante Rita itu ternyata bisa ngerajut lho."

"Oh ya?" tanggap Diora. "Enak dong, Mama kan dari dulu pengen ngerajut."

"Iya. Kamu juga sekali-kali belajar ngerajut."

"Diora kok disuruh ngerajut Ma, nyapu aja gak bersih."

Ingin sekali rasanya Diora menusukkan garpu di tangannya ini ke kedua bola mata Wildan yang baru saja datang dengan ocehan menyebalkan. "Gak usah rese ya jadi orang."

Wildan malah menjulurkan lidahnya sebelum duduk di seberang Diora. "Wih rawon. Pasti bukan adek gue nih yang masak."

"Lo bener-bener pengen gue colok ya!"

"Heh udah. Ini rawon dari Tante Rita, tetangga sebelah," jelas Mama berusaha menenangkan kedua anaknya.

Wildan mendelik. "Ha? Rita Sugiarto? Gimana tuh lagunya, Dek?"

"Itu loh yang satu kali kau salah melangkah, bibir mulai berdusta. Acikiwir! Acikiwir!" Diora mulai bersenandung yang diikuti oleh Wildan. Pasal sambung lagu sih mereka memang akur.

Sementara Mama hanya bisa geleng-geleng kepala sembari melanjutkan makan malamnya.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang