Tiga Puluh Sembilan

85 20 2
                                    

Diora menatap layar ponsel Diego yang berisikan daftar belanjaan yang harus mereka beli di pasar Rabu dan Minggu itu. Yap, pasar itu hanya buka pada hari Rabu dan Minggu. Pasarnya sendiri tidak terlalu luas, hanya terdiri dari beberapa pelapak pasar namun pasar itu terbilang lengkap. Dari mulai sayuran hingga hewan laut pun ada.

"Kita cari cumi sama udang dulu. Nah itu dia!" Diora menggiring Diego ke salah satu lapak yang menjual hewan laut. "Wih cuminya gede-gede. Kata Nyokap lo sih kita beli dua kilo cumi sama satu kilo udang."

Diego mengangguk paham lalu berkata pada sang penjual agar membungkus pesanan mereka. Setelah selesai mereka kembali mencari lainnya, yaitu sayur.

Dalam hati Diora bertanya-tanya mengapa Digo begitu terampil dalam memilih sayur dan juga hewan laut. Dia menebak kemampuan Diego didapat dari pengalaman berbelanja ke pasar, entah sendiri atau bersama Bundanya.

Tanpa terasa satu tangan Diora sudah memegang sekresek barang belanjaan pun juga dengan Diego. Cowok itu berhenti dan berbalik menatap Diora yang masih menggunakan pakaian tadi pagi, sama sepertinya karena mereka tadi sempat menghabiskan waktu berkeliling kota Metro demi menyenangkan Diora.

"Lo mau sosis bakar?" tanya Diego.

Satu alis Diora naik lalu mengangguk. "Makan di sini aja. Gue males kalo bawa ke rumah."

Diego mengangguk lalu mengajak Diora untuk duduk di lapak penjual bakso dan sosis bakar. Cowok itu memesan sepuluh tusuk sosis bakar setelah itu kembali duduk bersama Diora. Baru kali ini dia bepergian tanpa peduli dengan penampilan dan juga bau tubuhnya. Bahkan dia saja rela pergi tadi pagi tanpa mandi dan mengganti pakaian dalamnya. Ini semua demi cewek yang duduk di depannya kini, yang wajahnya sudah kusam terkena debu dan sedikit berminyak di bagian hidung, pipi dan kening. Demi Diora, Diego rela berangkat dan memacu kendaraan sangat kencang. Mendapati cewek itu tengah berhadapan dengan Bagas.

Sejenak Diego merasa kesal dan ingin menyingkirkan Bagas saat itu juga. Kalau saja tadi mereka tidak berada di perpustakaan, maka Diego bisa saja berteriak meminta Bagas untuk menjauh dari Diora. Menjauh dari pacar... pura-puranya. Menjauh dari... dari siapa?

Dia hampir lupa jika Diora hanyalah sekadar rekan kerja yang akan berpisah suatu hari kelak, tak lebih.

***

Pemandangan di depannya sungguh menyegarkan walaupun tidak terlalu menyegarkan karena pasir-pasir di sekitarnya menyimpan sampah plastik.

Diora memasang kacamata hitam, menghalau sinar matahari yang menusuk mata siang itu. lima menit yang lalu dia sudah memasang story di WhatsApp bergambarkan suasana pantai. Akhirnya dia bisa merasakan liburan meskipun hanya dengan Mama dan keluarga Diego.

"Sok keren banget lo pake kacamata item segala. Mau mijet orang?"

Dari balik kacamatanya, Diora memutar bola mata. "Kenapa? Lo mau gue pijet?"

Diego mendengkus dan mengambil duduk di sebelah Diora. "Mau sih, tapi enaknya kalo dipijet di kamar. Awww! Sakit, Ra, sakit!"

"Rasain!" Diora mendesis senang setelah mencubit pinggang Diego. "Lo itu emang gak tau situasi ya, udah tau terik gini masih mancing emosi, mending mancing ikan."

"Lo suka mancing ikan?"

"Gak, gue sukanya mancing keributan."

"Udah keliatan dari muka lo. Renang yok. Gue sewain ban deh."

"What? Ban?" Diora menaikkan kacamatanya. "Ayo aja sih!"

Dengan menggunakan ban berukuran besar, Diora dan Diego duduk berhadapan. Menikmati alunan air yang bergelombang menghanyutkan ban di bawah mereka. Di pondok yang sudah mereka sewa, ada Mama dan Tante Rita sedang mengobrol sedang Om Chandra tengah menelpon di sebelah pondok.

Diora sebenarnya ingin menatap Diego tapi karena cowok itu bertelanjang dada, Diora jadi tidak tahan. Ya iyalah, sebagai cewek penikmat perut roti sobek Diora tidak bisa menahan pemandangan di depannya ini. Diego benar-benar menggiurkan. Rasanya Diora ingin mencubiti perut cowok itu.

"Gue mau tau gimana perkembangan lo sama Sarah," ucap Diora kemudian. Tubuhnya terombang-ambing karena ombak. "Kayaknya terlalu banyak kisahnya condong ke gue."

Mata Diego hampir berbinar senang. "Ah iya gue hampir lupa, dia kadang suka bales story gue. Ya kalo gue baca sih dia cemburu tapi Sarah bukan tipikal orang yang mau maju duluan, dia tuh harus nunggu gue gerak."

"Ooh jadi dia—tapi itu udah jadi tanda bagus, kan?"

"Lumayan. Gue hapal gimana kebiasaan dia kalo lagi cemburu."

"Lo kenapa gak langsung ngajak balik dia aja sih? Gue rasa Bagas juga udah paham kok sama gue." Kedua tangan Diora memegang tepian ban karena ombak menerjang hampir membuatnya terhuyung.

Diego terkekeh, pelan namun sarat kepedihan yang tak kentara. "Kalo aja gue bisa, Ra. Sayangnya, Sarah gak mau kalo cuma gitu aja. Dia selalu mau yang bagus dan sempurna."

Bibir Diora terbuka, cipratan air laut masuk ke mulutnya hingga asin dia rasa. "Jadi... sebentar, lo gak mau pake cara lama karena itu bakal susah dan lo pake cara ini biar dia yang ngerasa kehilangan lo?" Saat itu Diego mengangguk lemah. "Bi—ya kalo reaksi dia sekarang udah beda dari yang lo kenal berarti tandanya bagus."

Diego tak menjawab, namun sorot mata yang sayu, pundak yang merosot itu sudah menjelaskan semuanya bahwa dugaan Diora benar.

Hubungan Diego dan Sarah memang sebuah kesalahan. Bahkan tak habis pikir mengapa mereka bisa sampai bertahan dua tahun lamanya dengan sifat mereka yang sangat bertolak belakang. Jika Diora tidak bisa membaca kesedihan Diego tadi, maka kata-kata mencemooh sudah mengalir lancar dari mulutnya.

"Enak banget ya rasanya setelah kuliah yang melelahkan bisa ngerasain liburan." Diora mengubah topik.

Diego akhirnya mendongak. "Lo gak pernah liburan ya?"

"Gak. Soalnya gak ada yang ngajak. Ada sih tiga temen gue cuma gue suka kasian aja sama mereka."

"Kenapa?"

"Soalnya gue gak bisa bawa motor. Jadi kalo pergi jauh-jauh naik motor kan gak bisa gantian."

"Seriusan lo gak bisa?"

"Dua rius malah," aku Diora.

"Gue gak nyangka cewek kayak lo gak bisa bawa motor. Emangnya kenapa?"

Diora bergumam sejenak. "Karena dulu tuh pas gue SD dijemput sama Papa tuh, nah pas di jalan pulang ditabrak sama mobil nyampe tangan kiri gue patah." Ditunjukkannya bekas jahitan di lengan kirinya. "Jadi dari situ gue gak berani bawa motor. Trauma gitu lah."

Sementara itu Diego nampak memerhatikan bekas jahitan di lengan Diora, seakan baru menyadari hal itu sekarang. Kalau saja Diora tak bercerita maka dia tak akan tahu. "Kalo gitu gak usah, gue yang bakal nganter dan jemput lo."

Diora tersenyum tipis dengan jemari bermain di air asin di bawahnya.

Ban itu kembali bergoyang-goyang namun tak pernah beranjak jauh dari bibir pantai. Sembari duduk di atasnya, keduanya masih bercerita dan kadang melempar lelucon agar suasana tidak terasa sepi. Mereka baru kembali ke tepian ketika lapar dan lelah. Mereka memilih berhenti dan membilas diri agar badan tidak lengket. Ketika mereka kembali, makanan sudah tersaji di sana.

Sekitar satu setengah jam kemudian, mereka berkemas bersiap kembali ke rumah. Diora membawa rantang nasi namun Diego menghentikannya.

"Eh, gak usah, gue bisa kok." Diora berusaha menghentikan Diego.

Diego menggeleng. "Lo mending bawa yang enteng aja. Piring sama keranjang itu biar gue. Lo jangan bawa yang berat-berat."

Diora mengernyit tapi dia toh menyerahkan bawaannya pada Diego yang juga langsung membawa keranjang lainnya.

Setelah semua barang sudah masuk, mereka bersiap pulang. Diora beserta Mama dan Diego duduk di kursi tengah karena bagian belakang diisi dengan barang-barang. Baru berjalan sepuluh menit Diora sudah merasa mengantuk dan kesadaran mulai hilang darinya. Yang dia tahu kepalanya sudah bersandar di bahu kokoh milik Diego.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang