Lima

166 29 2
                                    

"Diora, baju kamu yang bagus dikit dong. Masa pake celana training sama kaos kayak gini. Kamu emangnya mau olahraga?" komentar Mama begitu Diora turun dari kamarnya. "Cepet ganti!"

Diora berdecak seraya memutar kedua bola matanya. "Ya elah, Ma. Cuma mau makan di rumah sebelah, kan? Ngapain juga pake gamis segala, dikata mau kondangan kali."

"Kebiasaan, kalo disuruh pasti ada aja alasannya. Ayo cepet ganti!" titah Mama.

"Gak mau, Ma. Ini juga kan sopan, sih? Gak salah, kan?"

"Ini anak kalo diomongin ngeyel banget. Wildan! Wildan! Coba ini omongin adek kamu dulu."

"Biarin aja Ma, Diora itu emang susah diatur," sahut Wildan setengah berteriak dari dalam kamar. "Hahaha, astaga dek, pantes aja lo jomblo. Liat lah, ngenes banget kali tu muka, bajunya juga," katanya ketika keluar dari kamar dan melihat penampilan Diora.

Diora berdecak. Dia malas berdandan, apalagi tujuannya adalah rumah si cowok pengrusak itu. Cih, dia tidak akan membiarkan Diego mengira jika dirinya menerima cowok itu sebagai tetangganya. Dia tidak akan mempercantik diri di hadapan Diego, mending di hadapan Bagas. Iiih, kenapa Diora jadi teringat akan sosok Bagas, sih?

"Terus nih, kalo bukan pake ini aku harus pake apa? Karung goni?" Diora melipat kedua tangannya dengan bibir mengerucut.

"Baju kamu kan banyak di lemari, coba pake dress yang pernah mama beliin. Atau pake blouse, tunik, ya pokoknya yang bagus lah. Coba kamu liat kakak kamu, dia aja pake kemeja. Ganteng tuh!" omel Mama panjang lebar.

Wildan yang dibilang ganteng itu dengan sengaja menyugar rambut dan menunjukkan wajah-sok-keren-nan-menyebalkan.

"Ma, ini kan makan malem biasa, pake dress disangka lagi ada arisan kali. Udah ah, aku tetep pake ini. Kalo Mama gak suka, aku gak bakal ikut," tandas Diora tidak mau dibantah.

Mama menghembuskan napasnya berat karena sudah tidak tahu bagaimana menghadapi kekeras kepalaan anak keduanya ini. Pilihannya hanya satu yaitu menyerahkan masalah ini pada Wildan. Dengan kode mata, Mama meminta Wildan mengambil alih.

"Dek, ya anggep aja nih ya, ini acara makan malam eksklusif undangan dari Tante Rita sama kita sebagai tetangga.. Liat, selain kita siapa lagi coba yang diajak makan malem?" Wildan merangkul pundak Diora lembut, sedetik kemudian kepalanya menunduk mendekat ke telinga adiknya yang membuat bulu kuduk Diora berdiri. "Kalo lo gak nurut, gue stop uang lo bulan depan."

"Eh jangan dong!" Diora berseru cepat. "Iya! Iya! Aku ganti baju!" Kedua kakinya menghentak lantai keras-keras, gaya khas Diora jika sebal.

Ingin saja dia membantah, tapi ancaman Wildan itu serius. Pernah ketika semester dua, Diora membuat masalah, Wildan mengancam dan menjalankan ancamannya hingga jatah bulanannya berkurang. Akibatnya dia harus mengutang ke ketiga temannya. Diora masih ingin hidup tenang dan senang, dipotong uang jajan bisa membuatnya jatuh miskin seketika. Tidak deh.

Akhirnya Diora mengganti pakaiannya dengan blouse dan celana jins. Dengan raut wajah sedikit ditekuk Diora hanya mengekori Mama, duduk di ruang keluarga rumah Tante Rita bersebelahan dengan Wildan. Tapi beruntungnya tidak ada Diego di sana. Setidaknya dia tidak harus menyakiti matanya dengan melihat sosok Diego. Tapi tetap saja Diora tidak nyaman. Sedari awal dia lebih banyak diam dan mengangguk, palingan dia menjawab seadanya jika ditanya. Tentu saja dia menyimak setiap kali Tante Rita dan suaminya—Om Chandra—bercerita mengenai perkuliahan Diego.

"Iya lho Mbakyu, Diego itu susah banget diatur. Liat nih, padahal udah dibilangin mau ada tamu eh dia malah pergi dari sore gak pulang-pulang," cerita Tante Rita bersahabat. Suaminya yang duduk di sampingnya juga tak kalah bersahabat, dengan logat Jawa yang khas itu. "Saya ini sebenernya Mbak, kepengeen banget punya anak perempuan, tapi Tuhan ngasihnya laki. Ya saya terima. Rejekinya itu."

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang