Delapan

137 29 2
                                    

Dari dalam kamarnya, Diora bisa melihat sosok Diego yang tengah berjalan mondar-mandir di balkon kamar. Diora jadi kesal sendiri hingga akhirnya dia memilih untuk menutup tirai. Sedetik kemudian terdengar suara geraman dari kamar sebelah.

"Wah, itu orang udah gila kali ya. Kesurupan aing maung apa malem-malem gini," desis Diora seraya bangkit dari tidurnya, dia mengintip dari balik tirai dan melihat pintu kaca kamar Diego terbuka.

Lalu kembali terdengar geraman dan akhirnya sosok Diego keluar dengan membawa barang-barang yang diletakkan di balkon. Cowok itu masuk kembali lalu keluar lagi dan memungut barang-barang itu dan kembali masuk. Tapi tak berselang lama dia keluar lagi dan meletakkan barang-barang tadi di balkon. Dan begitu seterusnya hingga Diora muak.

"Lo ngapain sih bego banget?" tanya Diora tajam begitu berhasil membuka pintu kaca kamarnya.

Diego yang sedang memegang kardus itu mendongak. "Bukan urusan lo."

"Lo itu ganggu orang tidur. Gue laporin ke Pak RT juga nih biar lo diusir."

Tak diduga, Diego melengos kembali memasukkan barang ke kamar sebelum akhirnya menutup pintu kaca cukup keras hingga Diora berjengit. Lampu kamar Diego pun meredup dan gelaplah kini kamar cowok itu.

Tapi heran juga sih melihat sikap Diego barusan, sorot mata cowok itu yang biasanya tajam kini nampak lesu tak berselera, bahkan bisa dikatakan sedih. Cowok itu juga tak memedulikan sosok Diora padahal tadi Diora sudah mengira bakal ada adu mulut hingga membangunkan satu RT. Yah, ambil untungnya saja sih, jadi Diora bisa menikmati malam dingin ini dengan damai. Benar bukan?

Sayangnya, malam keesokan harinya Diora malah mendengar Diego yang bernyanyi tidak jelas diiringi dengan alunan gitar yang cowok itu mainkan sendiri. Benar-benar Diora tidak mengerti, dia mengintip dari dalam kamar, melihat sosok Diego. Cowok itu bernyanyi dengan raut wajah terluka, sangat pilu dan menyedihkan.

"Lo udah mulai jadi secret admirer?"

Tubuh Diora terlonjak kaget ketika mendengar suara Wildan di telinganya. "Bukan kali, gue cuma kasian aja sama anak sebelah. Lo liat tuh, kemaren dia ngangkut barang sekarang ngangkut nyawa orang karena suara serek sumbangnya dia."

Wildan menaikkan satu alisnya dan ikut mengintip. "Ah tau ini gue, pasti dia mau cari perhatian lo."

"Mau gue colok ya mata lo?"

"Becanda. Tapi gue rasa dia lagi patah hati."

"Masa?" Diora tidak percaya begitu saja. "Patah hati sama siapa?"

"Mana gue tau. Lo mending hibur dia kek, lo kan pinter tari ulet," ucap Wildan.

Diora sontak saja menjitak kepala Wildan. "Lo bilangin dia kek jangan ganggu orang nugas. Gue masih ada kerjaan tau."

"Ya lo bilang aja sendiri. Ada mulut, kan?"

"Ck! Ini nih biar lo enak, man to man. Pasti lebih ngerti."

"Gini dek, biarin aja deh Diego kayak gitu. Ini emang waktunya dan juga caranya. Mau diapain lagi coba?" Wildan mengangkat bahunya tak memberikan solusi lalu keluar dari kamar Diora.

Akhirnya Diora hanya bisa membiarkan Diego bernyanyi tidak jelas sedangkan dia melanjutkan pekerjaan Intermediate Writing yang masih harus dia selesaikan tiga paragraf lagi. Memang sedikit, tapi kemampuan otaknya berpikir lebih sedikit, jadi pekerjaannya serasa menggunung. Meskipun begitu Diora berhasil menyelesaikannya walaupun tahu hasilnya palingan C+. Biarlah, yang terpenting adalah tugasnya selesai dengan hasil jerih payahnya sendiri.

Di luar, suara Diego masih memecah kesunyian malam. Dengan senyum liciknya, Diora menyampirkan tirai agar dia bisa merekam sosok Diego dari balik kaca. Jemarinya mengatur agar posisi gambar sesuai dan suara yang dihasilkan bagus. Tak lupa pula Diora memberikan backsong dengan suaranya sendiri.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang