Dua Puluh Tiga

100 25 3
                                    

"Gila lo Ra, ngupas kulitnya jangan ke dagingnya juga kali," desis Ani pelan begitu melihat gaya memotong Diora. "Nah kan, lo mending motong yang udah bersih aja deh."

Diora cemberut. "Ish, serem tau Ni kena piso tuh. Tajem. Makanya gue gak—aww!"

Jemari Diora teriris, dia segera menekan jarinya yang mengeluarkan darah segar. Perih. Meskipun kecil tapi terasa menggetarkan seluruh jiwa dan raganya.

Tante Rita yang sedang mengulek bumbu itu menoleh dan terkejut, ulekan batu di tangannya terjatuh dan berkelotak, wajahnya berubah panik ketika melihat Diora. "Welah dalah, Nduk. Kamu berdarah Nduk. Kepiye iki? Aduh tante bingung ini. Gimana ini?"

"Udah Tan, ini cuma luka kecil. Diora mah kuat kayak Panji Petualang," lawak Ani di saat seperti ini, mau tak mau Diora tersenyum atau lebih tepatnya meringis. Jujur saja, raut wajah Tante Rita benar-benar panik, seakan Diora baru saja tertimpa patung Sphinx.

"Ah iya bener itu, Tan. Ini mah dicuci juga udah selesai," timpal Diora.

"Ya udah, kamu cuci ke belakang ya. Tante anterin."

Tante Rita menemani Diora mencuci tangan di wastafel. Wanita itu juga memastikan jika luka Diora benar-benar sudah bersih. Lalu Diora diperintahkan duduk di ruang keluarga sementara Tante Rita beranjak memanggil Diego.

"Ya ampun Bun, cuma luka segaris upil gini aja panik. Aku malah kasian sama pi—" Diego segera terdiam begitu Tante Rita memukul punggungnya. "Bunda mau aku ngapain?"

"Itu lho Leh, diliat lukanya Diora. Bunda takut kalo infeksi."

Diego melipat keningnya. "Bun, aku ini bukan anak Kedokteran tapi Sipil. Mana ngertilah sama bagian tubuh."

"Ya terus itu gimana itu? Kasian Diora pasti kesakitan."

"Ngapain dikasihani Bun, dia mah otaknya juga udah sakit. Aduuuh, Bun sakit. Tapi emang aku serius, lho. Dia it—iya, iya. Aku ambil Betadine dulu." Diego akhirnya beranjak setelah mendapat tatapan tajam dari Bundanya. Tak lama cowok itu kembali dengan sebuah kotak di tangan. "Tuh obatin sendiri."

Tante Rita segera memukul punggung tangan Diego. "Ssh! Kamu gak liat Diora lagi kesakitan? Kok dia yang suruh ngobatin sendiri. Kamu bantuin!"

"Bunda, plis, lukanya gak sedalem Palung Mariana. Udah ah, aku mau ngerjain skripsi biar bisa seminar." Diego segera melengos dan pergi begitu saja.

"Lho? Lah, alesan aja. Tante tau Ra, Diego itu cuma males aja." Tante Rita mengambil duduk di sebelah Diora dan membuka kotak obat. "Maaf ya Ra."

Diora meringis ketika Tante Rita mulai mengusap lukanya dengan obat merah. "Gak apa-apa Tan, aku udah tahan sama yang kayak gitu."

"Padahal kalo sama temennya yang lain itu ya Diego ramah tenan. Tante juga gak ngerti kenapa dia sama kamu kok yo bedo," kata Tante Rita, kini dia membalut luka Diora dengan plester luka. "Padahal kan tante seneng lho punya tetangga kamu ini. Udah anaknya ceria, rajin bantu Mama juga, yang paling penting kamu itu mahasiswa pendidikan."

"Memangnya ada apa sama pendidikan, Tan?" tanya Diora. Lukanya sudah terbalut dan tidak terlalu terasa sakit lagi.

"Tante itu kepengin nanti punya menantu yang punya background pendidikan, yang punya keinginan majuin bangsa. Jadi nanti kan kalo punya anak bisa tuh diajarin."

"Waah, bagus itu Tan. Kalo gitu saya doain semoga nanti Diora yang jadi menantu Tante. Kan udah sesuai sama tipe Tante," celetuk Ani dengan semangat 45.

"Ya pasti toh Nduk. Tante juga udah seneng sama Diora. Aamiin ya, Diora, semoga beneran."

"Iya. Aamiin, Tante."

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang