Tiga Puluh

98 22 2
                                    

Diora bergeming selama beberapa saat. Tubuhnya mendadak kaku. Lidahnya kelu. Dia tidak berani untuk menoleh sekadar melihat kedua mata Bagas. Alih-alih Diora beranjak mengambil tas dan juga jaketnya sebelum berlalu dari sana. Ketika dia menuruni tangga, sosok Diego memasuki kafe dan memanggil namanya namun Diora melengos memasuki toilet.

Apa tadi dia salah dengar? Bisa saja. Tidak mungkin Bagas berkata demikian meskipun dia yakin telinganya tidak bermasalah. Tapi tujuannya apa? Atau haruskah Diora kembali dan memastikan pada Bagas sendiri bahwa apa yang dia dengar itu salah?

Diora keluar dari toilet dengan rambut yang berantakan karena jemarinya. Dia melihat Diego yang duduk bermain ponsel dengan tampang santai. Cowok itu memang egois, tidak memedulikan dirinya yang jelas-jelas membutuhkan bantuannya.

"Lo udah gila gue rasa," ketus Diora sembari menjatuhkan dirinya di kursi di seberang Diego. "Gue mau batalin kerja sama."

Diego serta-merta mendongak dari ponselnya dan menelengkan kepala. "Ha? Lo kenapa sih? PMS?"

"PMS pala lo botak. Pokoknya gue gak mau kerja sama lagi! Titik. Salah. Seru!"

"Gak bisa gitu dong. Lo kenapa sih? Marah karena gue gak nganter lo ke sini?"

"Bukan masalah itu. Ah udahlah. Pokoknya gue gak mau lanjut."

Diego segera meletakkan ponselnya di atas meja dan hampir menarik tangan Diora yang berada di atas meja. "Woi jangan gitu dong. Kan tadi lo udah ngeiyain, masa sekarang lo maen putus kerja sama sepihak gini."

Diora mendengus sinis, "Lagian kerja sama lo dan gue gak ada di atas materai dan pake notaris atau apalah. Jadi gue mau semaunya berakhir."

"Gak bisa. Diora, lo coba deh cerita dulu asal muasalnya gimana sama gue. Gak ngerti beneran gue," jelas Diego. Mencoba mencari jalan keluar. "Ayolah."

Diora menghembuskan napasnya yang memburu. "Lo... mikirin gue gak sih atas perjanjian itu? Atau itu emang semata-mata buat keuntungan lo doang?"

"Ya gak lah. Gue juga peduli sama lo."

"Oh ya?" Diora menaikkan satu alisnya mencemooh. "Lo tau, di sini ada Bagas dan gue... gak tau harus apaan."

Diego melongo. Kemudian sosok yang sedang dibincangkan turun dari tangga. "Kenapa lo gak chat gue?"

"Gimana sempet, gue bantuin Kakak gue. Lo yang harusnya paham."

Diego bangkit dari duduknya dan berpindah ke sebelah Diora. "Gue gak tau. Beneran. Lo jangan marah dong. Oke, gue bantuin lo abis ini."

Diora mengetuk-ngetukkan jemarinya ke atas meja, dia masih marah dengan sikap Diego yang egois. Dia ingin memaki cowok itu tapi tidak bisa, tidak di sini. "Terserah," katanya singkat, tajam dan pedas. Kemudian dia mendorong kursi dan berlalu menghampiri keluarga Bagas.

Diora masih tidak mau berbicara meskipun mereka sudah sampai di kediaman Bagas yang cukup ramai. Ada beberapa tetangga dan juga teman-teman Bagas. Dua papan bunga bertengger manis di depan rumah sampai ke rumah tetangga. Ibu Bagas meminta dia dan juga Diego untuk duduk di ruang tamu sembari mencicipi jajanan pasar yang keluarga Bagas buat sendiri.

Diego beberapa kali mengajak Diora berbicara tapi cewek itu mengabaikannya, membiarkan Diego sibuk dengan ponsel.

Diora menumpukkan piring-piring kotor untuk kemudian dibawanya menuju dapur. Di sana dia melihat Bagas yang sigap menghampiri dan segera memindahkan piring-piring itu ke tangannya.

"Diora, tunggu sebentar."

Diora yang hendak melangkah itu berhenti dan menoleh pada Bagas yang kini sudah berdiri di hadapannya.

"Saya... mau ngomong sama kamu. Bisa?"

"Bisa. Mau ngomong apa, Kak?" Diora mengerjapkan matanya.

"Kamu... beneran ada hubungan sama tetangga kamu itu?" tanya Bagas lirih. Kedua matanya sendu. "Jawab jujur, Ra."

Diora menggigit pipi bagian dalam. "Ya.. kayak yang dia bilang, Kak. Gue emang belum resmi pacaran sama dia, ya sampe minimal dia sempro dulu."

Terdengar desah napas berat keluar dari mulut Bagas. "Ra... yang tadi, pas di sana, apa yang saya ucapin itu bener adanya. Saya gak bohong."

"Maksudnya, Kak?" Diora pura-pura tidak tahu, namun itu adalah sebuah kesalahan. Bertanya berarti membiarkan sesuatu semakin menjadi menyakitkan.

"Saya masih suka sama kamu, Diora."

Tubuh Diora kembali kaku seperti kejadian tadi, bahkan kali ini efeknya lebih dahsyat karena Diora bisa mendengarnya dengan jelas dan bahkan sangat jelas. Cowok di depannya terlihat serius, berdiri dengan berani dan penuh keyakinan. Seperti awal mula Bagas menyatakan perasaannya dulu.

"Gue kira lo kenapa-napa, eh tapi emang bener lo kenapa-napa. Ngapain lo beduaan?" Diego berdiri bersandar di tembok dengan tirai yang menyibak ke tubuhnya. Sorot matanya tajam dan menelisik seakan ingin menguliti.

Dan Diora seperti baru saja ketahuan berselingkuh oleh pasangannya sendiri.

"Udah ngobrol sama cewek gue?" tanya Diego sembari berjalan mendekat, pandangannya tak pernah lepas dari sosok Diora. "Apa masih ada yang mau diomongin lagi?"

Sementara itu, Bagas menatap pada Diora dan Diego bergantian sebelum mundur satu langkah. "Gak ada. Saya udah omongin sesuatu yang harus saya omongin sama Diora."

"Apa?"

"Itu cuma buat Diora denger, bukan yang lain."

"Oke, ini yang terakhir. Gue gak bakal biarin lo ngomong berduaan sama Diora kayak gini lagi."

"Saya tau. Saya rasa emang cukup sekali saya ngasih tau Diora," kata Bagas tenang. Namun Diora tahu, Bagas terusik dengan kehadiran Diego.

Untung saja Diego tidak cepat emosi dan melanjutkan perdebatan, alih-alih cowok itu mengajaknya untuk berpamitan dan pulang. Motornya membelah jalanan yang cukup padat namun baik Diora maupun Diego sama sekali tak bersuara.

Diego berusaha melihat pantulan wajah Diora di kaca spion tapi tak bisa, akhirnya dia menepikan motornya dan melirik Diora. Wajah cewek itu memerah dan Diego bisa melihat jika Diora menangis meskipun cewek itu dengan cepat mengusap air mata dan membuang muka.

"Lo mau pulang dulu apa jalan-jalan?" tanya Diego di tengah kebisingan jalanan.

"Pulang dulu aja deh. Gue mau mandi. Lengket," kata Diora kemudian. Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan kembali.

Diora segera melempar tubuhnya ke atas kasur begitu sampai di kamar. Pikirannya masih tertuju pada kejadian di rumah Bagas. Cowok itu benar-benar berkata demikian. Sialan. Hal itu membuat Diora menjadi menangis di perjalanan pulang. Gamang, ingin tetap melanjutkan kebohongan ini atau tetap melanjutkan perasaannya.

Diora benar-benar butuh ketiga temannya untuk mengutarakan semuanya. Sangat butuh tapi sayang tidak bisa hari ini karena dia masih harus menemani Diego. Terpaksa Diora mengatur kegiatannya untuk besok malam.

Rasa dingin air kala Diora mandi sore itu sedikit mendinginkan kepalanya yang penuh dengan pikiran akan Bagas. Berulang kali ucapan Bagas terngiang di kepalanya layaknya komidi putar, membawanya pada satu tempat yang sama.

Sekali lagi, Diora memandang pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tidak terlihat menyeramkan dengan berjuta pikiran yang masih membayang.

Dari bawah, terdengar suara Mama memanggil dirinya, memberitahukan bahwa Diego sudah datang. Menghembuskan napas, Diora menyambar tas, keluar dari kamar dan menutup pintu.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang