Tiga Puluh Delapan

93 21 2
                                    

Diego membawanya menuju salah satu kamar kos milik temannya yang menjadi tempat dia menginap semalam, tak jauh dari kampus. Katanya cowok itu ingin mandi, menyegarkan diri karena dia belum sempat membersihkan diri.

Diego keluar dari kamar mandi, kausnya sudah berganti, jins panjangnya tergantikan dengan jins selutut. Dia mengacak rambutnya yang basah dengan handuk.

"Gue kelamaan ya dateng ke perpus tadi?" tanya Diego, berjalan keluar dari kamar untuk menjemur handuk yang dia pakai. "Hmm?"

"Gak. Cuma dia dateng di waktu gak tepat aja. Tadi lo ngomong apa sama dia?"

Diego menjatuhkan tubuhnya di sebelah Diora yang duduk di pinggir kasur. "Dia bilang kalo mau ngambil hati lo dari gue. Dia gak mau nyerah gitu aja."

"Terus?"

"Terus ya gue persilakan. Tapi gue juga gak bakal mundur, gue bakal merjuangin lo."

Diora berusaha mengukir senyum tipis. "Thanks lo udah mau nolongin gue."

"Ngapain terima kasih? Kan udah sesuai sama perjanjian kita."

Perjanjian.

Tanpa sadar hati Diora mencelus. Alasan apa lagi yang membuat Diego datang kalau bukan karena itu?

"Gue gak tau kenapa dia tiba-tiba dateng kayak tadi dan bilang kalo mau balik lagi sama gue," ujar Diora sembari menunduk. "Gue hampir gak bisa ngasih alesan buat jauhin dia tadi."

"Kalo ada masalah kayak tadi lagi jangan lupa hubungin gue. Oke?" Sebelah tangannya mengelus lengan Diora, menghantarkan kehangatan walaupun sesaat.

"Oke. Tapi lucu juga ngeliat muka bantal lo tadi. Asli lo baru bangun?"

Diego meringis. "Iya, gue ketiduran terus pas gue melek gue langsung dihadiahin chat dari lo. Langsung aja gue labas gak pake mandi. Tapi gue masih ganteng, kan?"

"Ganteng pala lo botak!" dengus Diora. "Kasian banget masih bau iler."

"Heh, gue kayak gini juga tidur gak ngiler. Gak kayak lo. Apa? Mau ngeles? Ada buktinya di bantal punya gue yang lo bawa."

"Rese banget lo sumpah." Diora membuang muka, menahan jalaran merona di wajahnya.

"Sengaja, biar lo gak keinget cowok tadi terus keingetnya gue aja. Ya gak?" Dengan pelan, Diego menyenggol lengan Diora sembari nyengir kuda.

"Bodo amat."

"Nanti sore lo harus temenin gue ke pasar kaget," ucap Diego. Diora menoleh.

"Mau ngapain?"

"Biasa."

"Ha? Eh, dikata gue tinggal satu rumah dan satu otak sama lo apa makanya bisa tau hal biasa dalam hidup lo?" Diora sengaja menyentil jidat Diego agar cowok itu sadar.

"Sekalinya bar-bar ya bakal tetep bar-bar. Gue disuruh Bunda belanja buat besok. Katanya mau piknik ke pantai."

"Besok? Sabtu?" Diora mengalihkan pandangan pada ponselnya yang bergetar, ada satu pesan masuk di grup kelas. "Asik dong."

"Ho-oh. Lo mau ikut? Nanti gue bilang sama Bunda."

"Mau lah kalo diajak." Dia membuka pesan itu yang berupa pemberitahuan jika tidak ada kelas hari ini. Itu artinya Diora libur. "Anjir, kelas gue gak ada jam. Gue free hari ini."

"Jadi, lo mau ke mana? Masih mau bahas orang itu atau pergi?" tanya Diego sembari menyugar rambutnya yang setengah basah.

"Gue gak mau bahas dia lagi, jadi ayo pergi. Kebetulan gue mau ganti batere jam. Dah mati."

Mereka berkendara menuju Tanjung Karang guna mengganti baterai jam tangan Diora. Didapatinya salah satu tukang jam di pinggir jalan, motor itu menepi dan mereka menunggu sekitar sepuluh menit lamanya agar baterai jam itu terganti.

"Lo laper gak?" tanya Diego sembari menghidupkan mesin motor. Mesin motor itu meraung pelan.

"Lumayan sih, kenapa? Mau makan?" Diora balik bertanya.

"Iya. Lo mau makan bakso?"

"Mau. Apa aja gue mah mau yang penting halal dan enak."

Diora tidak menyangka jika Diego membawanya cukup jauh. Atau bisa dibilang jauh karena mereka kini berkendara di Jalur Lintas yang dipenuhi oleh mobil berukuran besar yang membawa muatan cukup banyak. Diora hanya bisa menikmati jalanan sembari memegang jaket Diego yang berkendara cukup kencang. Meskipun motor ini berukuran besar tapi Diego terampil meliuk-liuk, menghindari lubang dan menyalip kendaraan lain yang lebih besar.

"Eh Sempak Kendor, kita mau ke mana sih sebenernya?" tanya Diora setengah berteriak agar Diego dapat mendengar.

"Makan bakso," balas Diego juga setengah berteriak.

"Ih itu juga gue tau, tapi kita makan bakso di mana? Jauh banget."

"Metro. Gue kangen bakso di sana."

"Haa? Gila, mau makan bakso aja jauh banget."

Kini Diora paham tujuan mereka tapi dia masih bingung ada di mana tempat penjual bakso itu berada. Dia melirik jam tangannya, sudah hampir setengah jam mereka berkendara, kemudian motor itu berbelok keluar dari jalur utama hingga akhirnya berhenti. Mereka berhenti di depan tempat penjual bakso dengan gerobak bakso di depan. Bangunan itu tidak terlalu besar namun cukup menampung hingga sekitar dua puluh orang.

"Bah, jauh banget makan bakso nyampe ke sini. Capek badan gue," keluh Diora sembari melepas helm dan meletakkannya di atas jok motor.

Diego mendengkus pelan, "Lo gak bakal nyesel karena rasa baksonya enak. Ayo."

Diora mengekori Diego memasuki bangunan itu yang sudah terisi lima orang pembeli. Dia mengambil duduk di bangku panjang yang kosong. Beberapa saat kemudian, seorang bapak-bapak menghampiri, wajahnya sudah dipenuhi keriput namun tubuhnya masih tegap berdiri. Dengan senyum, sang bapak yang Diora duga adalah sang pemilik menanyakan mereka hendak memesan apa.

"Bakso aja deh gue, minumnya terserah," sahut Diora langsung. Sementara Diego yang duduk di depannya itu mengangguk.

"Pak, bakso biasa satu sama bakso supernya satu. Minumnya es jeruk dua, ya."

"Siap. Ditunggu ya." Kemudian sang bapak beranjak untuk membuat pesanan.

"Lo sering banget ke sini, ya?" Diora memandang ke sekeliling bangunan yang terdapat beberapa figura berisikan sertifikat halal, penghargaan dan juga potongan koran yang berisikan gambar sang penjual tengah bersalaman dengan orang lain.

Diego bergumam, "Kadang gue kan suka ikut touring gitu jadi ngerti aja," katanya. "Nah ini dia pesanan kita datang." Jemarinya bergerak membantu sang penjual untuk memindahkan bakso dan minuman dari baki. "Makasih ya, Pak." Ketika sang bapak berlalu, dia beralih pada Diora. "Ayo coba."

Diora menurut dan segera meraih sendok dan garpu untuk menyantap bakso. Dia melirik bakso di mangkuknya dan juga mangkuk Diego. Porsi yang dipesan cowok itu berbeda, ada empat bulatan bakso berukuran sedang di mangkuk cowok itu, sedang miliknya hanya ada satu dengan lima pentol bakso kecil. Diora mulai menyuap bakso yang sudah tidak menguarkan asap panas.

"WOW!" Diora terkesiap merasakan bakso yang ternyata memang sedap dan enak. Bukan sedap karena penyedap namun sedap karena rasa daging dan tulang yag berbaur menjadi satu. "Asli ini enak banget. Gila!"

Meskipun Diego sudah bisa menebak reaksi Diora tak ayal dia tak bisa menahan senyumnya untuk tidak tercetak di sana. Dia menyukai reaksi Diora yang terlihat natural dalam menyicipi tanpa ada rasa malu. Bahkan cewek itu saja sampai menyeruput kuah dengan semangat seakan-akan sudah berhari-hari tidak makan.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang