Tiga Puluh Enam

89 23 2
                                    

Tidak tahu bagaimana ceritanya Diora kini sudah duduk manis menunggu Diego yang sedang mengantri untuk membeli Chatime. Kalau sudah urusan Chatime rasanya Diora jadi lemah. Gampang termakan umpan. Tapi Chatime memang enak.

Dari luar, Diora bisa melihat sosok Diego dari balik kaca. Duduk manis menunggu pesanan. Ada beberapa orang juga yang menunggu di sana. Sekitar lima menit kemudian, Diego keluar dengan dua cup Chatime.

"Gue kirain lo beli buat gue semua." Diora menerima Chatime dari tangan Diego.

"Udah gue bilang, jangan keseringan beli minuman kayak gini dan jangan kebanyakan. Bagusnya itu minum air biasa. Air bening. Air putih," ujar Diego memberi penjelasan.

"Iya, gue ngerti." Diora mulai menyeruput Chatime, menikmati setiap rasa yang bergumul di dalam mulutnya. "Enak banget jadi seger."

"Ya iyalah seger. Coba lo ngaca, kucel banget lo karena belum mandi."

"Bodo amat, gue jalan sama lo ini, bukan sama pasangan gue beneran!"

Diego mendesis dan menyeruput Chatime-nya keras. "Cepet cerita. Gue mau denger."

Diora mengangkat sebelah tangannya, menghadapkan telapak tangannya pada wajah Diego. "Sebelum itu gue mau nanya, semalem lo tidur di mana?"

Menyeruput boba, Diego berdeham sejenak, "Gue tidur di depan tipi. Sama sekali gue gak masuk kamar."

Diora memerhatikan kedua mata Diego saksama yang menatapnya dalam dan tajam. "Oke. Gue percaya."

"Lanjutin cerita lo."

"Once upon a time there lived a beautiful girl named Diora. She—"

"Gue gak mau denger dongeng khayalan kayak gitu, apalagi tokoh utamanya lo."

Diora mencebik dan mencubit lengan Diego yang terbuka hingga cowok itu meraung. Mau tak mau Diora kembali mengulang kisah semasa menjadi mahasiswa baru.

Diego yang duduk di depannya itu menyeruput Chatime sejenak sebelum akhirnya tertawa terbahak hingga kedua bahunya berguncang hebat. "Gue gak tau ya harus seneng atau bangga karena punya tetangga dan partner yang terkenal gini."

"Tuhkan, nyesel gue jadinya cerita. Gue tau reaksi lo pasti bakal kayak gini. Nyebelin."

"Sori, tapi emang lucu sih. Lo jadi buat brand buat diri lo sendiri."

"Apaan yang bagus dari brand si Dora? Nyebelin iya," sungut Diora.

"Tapi emang sesuai sama lo, sih. Sama-sama nyebelin."

Diora hanya bisa menyeruput Chatime berulang kali supaya meredakan amarahnya pada sosok di depannya ini.

"Gue juga punya cerita, ini kejadian tahun lalu pas ospek di univ. Jadi, ada anak nyasar ke teknik. Padahal dia anak FKIP. Gue harap itu bukan lo," Diego buka suara kemudian.

"Itu gue."

"Ha?"

"Orang itu gue," sahut Diora santai. "Yang tiba-tiba kayak orang bego dan hampir kena hukum, kan?"

Diego manggut-manggut masih tidak percaya.

"Iya itu gue. Gue yang salah masuk barisan karena ketiduran pas di lapangan."

"Haa—apaan sih!" desis Diego karena Diora sempat hampir menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Tapi beneran gue gak nyangka kalo itu lo. Jujur ya, hampir satu teknik jadi heboh dan penasaran siapa orangnya karena pas waktu itu tu cewek langsung lari."

Diora tidak tahu apa memang hidupnya selalu penuh dengan komedi atau tidak. Tapi kejadian itu memang benar terjadi. Diora mengulang kembali memori itu pada sosok Diego yang nampak senang dan antusias, layaknya anak kecil yang sedang menanti permen Halloween.

Waktu itu, ketika cuaca panas terik pada hari terakhir ospek universitas yang berlangsung di lapangan, Diora sengaja mengendap-endap agar bisa bersandar pada pohon besar di belakang barisan. Pohon besar itu mampu menutupi badannya sehingga dia bisa beristirahat dengan tenang, di bawah rimbun dedaunan yang mendinginkan tubuhnya. Tanpa sadar dia tertidur dan baru sadar ketika ada suara-suara yang keras. Sayangnya Diora hanya mendengar 'jaya' alih-alih 'teknik jaya'.

Masih dalam keadaan setengah sadar, Diora kembali ke barisan. Tak merasakan keanehan apapun sampai akhirnya dia berjalan menuju fakultas teknik. Saat itulah Diora mulai sedikit sadar ada keanehan di sana. Teman-teman barisannya berbeda dari biasa dan juga mereka membawa atribut yang berbeda. Bahkan saat itu Diora hampir terkena hukuman karena tidak membawa atribut. Diora membela diri dengan berlari dari sana dalam kecepatan cahaya. Jadilah tidak ada yang tahu bahwa orang itu bernama Diora.

"Wah gila beneran sih. Lo ternyata buronannya, gue pasti gak nyangka kalo pertama kali ngeliat lo. Pas udah beberapa waktu tau lo sih gue jadi gak heran," komentar Diego begitu Diora selesai bercerita.

"Yap. Gue gak tau kenapa semenjak gue kuliah hidup gue makin lucu. Apa gue harus jadi komedian aja pas lulus?"

"Ah jangan, gak sesuai. Lo coba aja ntar ikut casting Dora The Explorer live action."

"Emang kurang ajar lo!" dengus Diora sebal. "Kalo lo, gak ada cerita lucu gitu?"

Diego menggeleng. "Gak selucu cerita lo. Cerita hidup gue monoton, komedinya flat gitu."

"Keliatan sih dari muka lo."

"Tapi jangan salah, gini-gini juga banyak yang suka sama gue," ujar Diego membanggakan diri. Dadanya setengah membusung.

Diora hanya bisa geleng-geleng kepala. Dasar, Diego memang orang paling pede yang pernah dia tahu dan kenal.

"Habis ini mau ke mana lagi?" tanya Diego. Chatime miliknya sudah habis hanya menyisakan es batu yang tinggal sedikit.

"Pulang aja kali ya, soalnya gue mau mandi. Lengket nih badan."

"Beruntung gue masih mau satu mobil sama lo."

Diora hampir menendang kaki Diego namun cowok itu ternyata lebih sigap dan berhasil menghindar. "Chatime-nya gratis, kan?"

Diego mengangguk, membuang cup Chatime ke dalam tong sampah lalu beralih pada Diora. "Lo mau makan dulu gak?"

"Kagak deh. Di rumah aja ntar, Mama pasti udah masak. Eh iya, gue bawa kartu Time Zone lho, masih ada saldo kayaknya. Lo mau bantuin ngabisin gak?"

"Boleh. Gue tau sesuatu yang bagus buat kita berdua."

Diego ternyata mengarahkan mereka menuju photobooth. Mereka berdiri untuk mengantri karena masih ada dua pasangan lagi yang hendak mengambil foto instan. Sembari menunggu, Diego memainkan rambut Diora entah sadar atau tidak. Jemarinya memilin rambut Diora dengan perlahan kemudian kepalanya menunduk.

"Rambut lo agak... lengket. Pasti belum keramas," bisik Diego pelan namun menyebalkan.

Diora meringis. Rambutnya memang sudah terasa lengket dan berminyak karena sudah tiga hari belum dia cuci. "Bodo amat. Rambut juga rambut gue. Kalo gak suka gak usah pegang," balasnya ketus.

"Gue suka aja sih mainin rambut cewek. Asik aja gitu."

"Gue bukan Sarah!"

"Emang. Tapi gue gak pernah mainin rambutnya Sarah, ini pertama kalinya gue mainin rambut cewek. Dan itu lo."

Diora tidak tahu bagaimana caranya kini kedua pipinya merona mendengar perkataan Diego. Namun dia berusaha menormalkan diri. "Kenapa gitu?"

Diego mengangkat bahunya, menoleh pada Diora yang menatap lurus sehingga dia hanya bisa menatap puncak kepala Diora. "Karena dia gak suka hal-hal yang kayak gini. Gue juga gak paham."

Tidak tahu harus mengatakan apa, Diora memilih mengangguk. Dalam pikirannya dia berpikir jika Sarah mungkin lebih dari yang dia bayangkan. Sosoknya adalah kesempurnaan, semuanya harus berada dalam kesempurnaan dan entah mengapa Diora berpikir jika Diego dan Sarah adalah kesalahan. Hubungan dua orang itu adalah kesalahan.

Akhirnya, setelah beberapa menit menunggu kini tibalah giliran mereka.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang