Tiga Belas

108 27 5
                                    

"Pardon?"

Diego menghela napas lalu melepaskan cekalannya. "Lo sama cowok yang di butik itu beneran udah putus?"

Diora memicingkan matanya. "Ha? Ngapain lo nanya ginian?"

"Jawab aja, kalo gak gue ambil balik tu laptop."

"Eh anjir. Jangan! Ish iya, gue emang udah putus sama dia."

"Sekarang lo punya pacar?" tanya cowok itu santai, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku depan celana jins, namun sorot matanya menelisik.

Diora rasanya ingin membersihkan telinganya karena apa yang diucapkan Diego dalam beberapa menit terakhir ini membingungkan.

"Heh jawab!"

"Ih lo ngapa sih aneh-aneh aja pertanyaannya. Gue yakin deh jawaban gue gak bakal muasin lo," ucap Diora kemudian.

"Lo jawab aja punya atau gak."

"Bukan urusan lo. Weeek!" Mengulurkan lidah pada Diego, Diora dengan sigap menuruni tangga dan melompat begitu di tangga terakhir. "Tan, aku pulang dulu ya. Makasih laptopnya."

Tante Rita yang sedang menata piring di atas meja itu menoleh. "Diora gak makan dulu di sini?"

"Gak usah Tan, Bang Wildan pasti udah nungguin."

"Lho, Wildan udah pulang tadi, Ra."

Mata Diora membelalak sejenak, harusnya dia hafal dengan gelagat Wildan. "Oh hehe. Ya udah, saya langsung pulang ya Tante. Makasih." Dengan terburu-buru, Diora segera keluar dari rumah Diego.

Sesampainya di rumah, dia mendengkus kesal melihat Wildan sedang asyik menonton televisi. Diora hampir saja membantingkan dirinya ke tubuh Wildan jika dia tidak ingat sedang membawa laptop milik Diego. Sementara itu Wildan malah memasang tampang tidak tahu apa-apa. Cih. Dasar, Kakaknya memang seperti itu.

Setelah selesai dengan tugasnya, Diora meregangkan otot-otot tubuhnya, tulang-tulangnya berbunyi pelan. Dia beranjak berdiri dan menyibak tirai, melihat kamar Diego yang tertutup. Tak ada suara berisik sama sekali yang terdengar.

Dia jadi memikirkan apa maksud dari pertanyaan Diego tadi, apakah cowok itu ingin mengejeknya? Atau mungkin cowok itu tidak percaya jika Bagas pernah menjadi pacarnya? Mana dia juga bertanya apakah Diora sudah memiliki pacar. Apa-apaan tuh, sungguh tidak sopan sekali.

Kamar Diego masih sepi, tak ada bayangan cowok itu terpantul di tirai, pintu kacanya pun tertutup rapat. Ah kenapa Diora jadi memikirkan pertanyaan cowok itu, Diego kan memang manusia yang tidak jelas maunya apa, harusnya Diora paham. Palingan Diego hanya iseng dan jika nanti Diora terjebak, cowok itu langsung tertawa lebar.

Ah mungkin saja itu adalah efek setelah patah hati yang dialami oleh Diego.

***

Diora segera mempersilakan ketiga temannya itu untuk masuk begitu sampai di kediamannya selepas acara arisan komplek. Diora bisa melihat wajah berbinar dari tiga temannya yang siap menyambut makanan gratis. Ketiganya juga terlihat membawa tas besar sebagai upaya jaga-jaga jika disuruh untuk membawa pulang makanan.

"Ah Tante, gak usah repot-repot ngundang kita segala. Ah iya, ada yang mau dibantuin gak, Tan?" Panji mencoba berbasa-basi seperti biasa. Tentu saja Mama menolak.

"Gak usah, Panji. Tante aja udah seneng kalian dateng, jadi makanan kan gak mubazir. Sana langsung ke dapur, ambil bakso sendiri, ya," kata Mama.

Panji mengangguk. Kebiasaan yang ketiganya lakukan ketika bertandang ke rumah Diora adalah self service alias anggap saja rumah sendiri. Tentunya mereka senang bukan main, itu artinya bisa mengambil semau mereka tanpa rasa malu.

"Eh Ra, tetangga lo yang rese itu mana? Gak dateng?" tanya Ani pelan. Bakso di depannya menguarkan bau daging.

"Sukur dia gak ada, kalo ada dia bisa-bisa acara arisannya kacau. Berantakan," balas Diora. "Dia itu gak bisa kalo sehari gak buat masalah sama gue."

"Ya tap—"

"Ra, kamu udah balikkin laptop Diego?" sela Mama yang tengah menarik sehelai tisu keluar dari sarangnya.

Diora menoleh pada Mama. "Belum, Ma. Mama aja deh yang mulangin ke dia, aku males."

"Kamu yang minjem kok mama yang balikkin. Cepet pulangin, gak enak make lama-lama," pesan Mama sebelum berlalu ke dapur.

"Lo ngapain minjem laptop dia?" Ani kembali berfokus pada Diora setelah tadi disela oleh Mama.

Diora menjelaskan sembari menjejalkan kacang bawang ke dalam mulutnya, "Laptop gue rusak, punya Bang Wildan lagi dipinjem, makanya gue minjem laptop dia. Kalo emang gak kepepet sih gue ogah minjem."

"Kalo gitu gimana kita balikkin aja laptopnya sekarang? Gue kan gak tau muka orang itu gimana. Mau gak lo?"

"Nah ide bagus. Biar lo nilai sendiri gimana cowok itu. Ke kamar gue dulu, ngambil laptop dia."

Diora dan Ani beranjak menuju lantai dua, membiarkan Panji dan Rahman menikmati seporsi bakso dengan pentol bakso yang banyak di mangkuk mereka. Pintu berderit sejenak ketika Diora membukanya. Pintu kaca lebar di depannya segera menampilkan kamar Diego yang tirainya terbuka setengah, terlihat cowok itu sedang berjalan mondar-mandir sembari sibuk dengan ponsel.

"Kamar cowok itu di sana?" Ani hampir membuat matanya lepas karena lebarnya melotot. "Deket amat."

Diora menyingkirkan kertas-kertas yang berserakan di atas laptop. "Emang. Lo kan tau kalo kamar gue sama kamar tetangga gue deket banget. Eh ayo, lo malah sibuk ngeliatin kamar sebelah." Ditariknya satu lengan Ani agar bergegas turun dan ke rumah Diego.

Butuh waktu beberapa menit bagi Diora untuk dibukakan pintu, sosok Diego nampak tidak bersemangat, wajah cowok itu terlihat lusuh dan loyo. Kepalanya mendelik meminta atau lebih tepatnya memaksa Diora masuk, tapi cewek itu menolak dan segera menyerahkan laptop tapi Diego tak menerima.

"Apaan nih maksudnya? Lo mau ngasihin laptopnya ke gue? Gue sih oke aja." Diora mendekap laptop itu. "Seriusan niiih?"

Diego melihat ke sisi Diora sebelum berbalik menatap kedua mata cewek itu. "Udah?"

"Udah, makanya mau gue balikkin. Kalo gak mau—"

"Pertanyaan gue semalem," desah Diego.

"Ha? Maksudnya? Coba jelasin sesuai kaidah kebahasaan." Diora berdecak kesal.

"Lo udah punya pacar?"

Diora bisa mendengar Ani yang berdiri di sebelahnya kesusahan menelan ludah. Temannya itu sangat terkejut. "Apa sih pentingnya itu buat lo? Lo cuma mau ngejek gue aja, kan?"

Diego menggeleng, punggungnya bersandar pada kosen pintu dengan kedua tangan terlipat. "Kalo temen lo itu, udah punya pacar?"

Diora dan Ani sontak terkejut bukan main, mulut keduanya menganga. Diora yang pertama bereaksi. "Gak usah gila ya lo jadi orang! Udah gak waras nanyain kayak gitu? Gak sopan lo!"

"Jadi apa jawaban lo?"

Diora menggeram, ingin dia menjambak rambut Diego dan membenturkan kepala cowok itu ke kosen pintu. "Nih! Makasih!" Disodorkannya laptop itu ke dada Diego tanpa peduli siapkah cowok itu menerima.

Setelah itu dia berlalu dengan langkah lebar disusul dengan Ani, pagar besi beruliran itu bergetar ketika Diora menyenggolnya tanpa sengaja. Kepalanya mendadak panas hanya dengan obrolan singkat tadi, ujung matanya sampai-sampai tak melihat Bagas yang berjalan menghampiri, dan seketika tubuh keduanya beradu. Kepala Diora terantuk dada Bagas cukup keras.

Diora sempat terhuyung dengan kedua mata tertutup, namun lengannya merasakan sentuhan pasti namun sedikit kasar yang menariknya agar tidak jatuh. Sentuhan ini terasa berbeda, bukan seperti yang pernah dia rasa, tak ada kelembutan seperti dulu.

Dan memang ini berbeda karena yang sedang menahan tubuhnya kini adalah Diego alih-alih Bagas.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang