Tiga Puluh Tujuh

96 21 2
                                    

Diora menyelipkan kertas foto yang bergambarkan dirinya dan juga Diego kala mereka mengambil foto di photobooth kemarin. Mereka melakukannya dua kali agar masing-masing dapat menyimpan satu. Semalam Diora sudah mengunggah foto itu ke dalam bentuk story pada Instagram-nya yang segera mengundang perhatian teman-teman sekelas.

Diora menyelipkan foto itu di antara kertas binder, kembali menarik buku referensi tentang linguistik yang menjadi bahan kebingungan dan kesibukannya kini. Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul sembilan, hal itu membuat Diora bingung dan tersadar jika jam itu mati. Ternyata kini sudah setengah jam berlalu dan Diora masih bingung dengan tugas yang diberikan oleh Miss Devi.

Rasanya Diora memang sedang kerasukan setan rajin karena suatu hal yang tidak mungkin terjadi padanya datang ke perpustakaan universitas untuk mengerjakan tugas alih-alih bergosip. Sayangnya tiga temannya tidak bisa datang karena Rahman dan Panji cukup malas untuk bangun pagi di saat jam pertama kuliah pukul satu, sementara Ani tidak ada kendaraan yang bisa dia pakai.

"Diora."

Diora berjengit, bulu kuduknya nampak meremang mendengar suara yang sudah beberapa hari ini tidak dia dengar. Dia mendongak melihat ke kedua mata gelap milik Bagas yang seakan menelannya.

"Eh, Kak Bagas." Tubuhnya menegang, hawa panas segera datang mengalahkan desau angin AC.

"Lagi ngerjain tugas?" tanya Bagas. Ramah. Seperti sebelumnya. Seperti biasanya. Penampilan cowok itu rapi—memang selalu rapi—kemeja abu-abu dan celana jins.

"Emm iya Kak, tugas Linguistik dari Miss Devi," jawab Diora.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Tidak. Diora tidak membutuhkannya tapi dia tak kuasa menolak ataupun mengusir Bagas. "Gak usah Kak, gue mau usaha sendiri. Kak Bagas ada urusan apa di sini?"

Bagas menghela napasnya sejenak. "Saya... cuma mampir aja. Sebenernya saya mau ngomong sama kamu lebih tepatnya."

"Apa tuh, Kak?"

Bagas berdeham, merapikan duduknya lalu berucap, "Entah gimana saya gak percaya kalo kamu punya hubungan dengan Diego."

Diora menutup buku linguistik di depannya itu hingga berdebum pelan. Namun dia tidak berbicara.

"Apa yang pernah saya bilang sama kamu itu bener, Ra. Saya masih suka sama kamu dan saya masih sayang sama kamu. Saya... mau kembali sama kamu."

Setelah beberapa waktu Diora berhasil melupakan sosok Bagas dan kini semuanya seakan kembali ke awal. Berputar, membawa Diora kembali ke tempat semula.

"Kak, gue hargain ucapan lo barusan tapi gue bener-bener gak bisa. Sekarang gue beneran udah sama Diego," kata Diora beberapa saat kemudian.

"Saya tau, tapi saya mau berjuang. Saya mau kembali, Ra." Kedua mata Bagas bergetar, bergerak-gerak. "Saya tau dulu itu kesalahan saya yang selalu ninggalin kamu. Saya sadar, Ra, saya juga bodoh karena hanya menjawab iya ketika kamu ingin pergi. Harusnya saya lebih berani untuk menahan kamu, tapi saya juga berpikir kalo kamu gak nyaman dengan sifat saya yang dulu."

Diora menelan ludah. Pikirannya kembali membawanya melayang pada kejadian ketika dirinya meminta untuk menyudahi hubungan yang dia sukai itu. Bagas salah menyangka.

"Jujur, saya agak kaget waktu denger kamu sama Diego karena saya masih ingat kamu tidak suka dengan dia. Ra, kasih saya kesempatan ya?"

Ya. Ya. Diora ingin sekali menjawab iya dan membocorkan semuanya pada Bagas namun itu tidak mungkin. Dia sudah jauh melangkah dan tak mungkin kembali. Lalu, ponselnya di atas meja itu berkedip, memunculkan sebuah pesan dari Ani. Diora jadi berpikir jalan keluar dari semua ini dengan cara menghubungi Diego.

"Kak, iya memang gue tadinya benci sama Diego tapi... gue rasa itu kecepetan. Nyatanya gue sekarang sama dia," ujar Diora. Jemarinya meraih ponsel dan dibawanya ke atas pahanya. "Gue... akuin kalo emang dia tadinya nyebelin, tapi Kak Bagas gak liat sisi lain dari dia." Diora buru-buru membuka kunci dan mengirimi Diego pesan.

Bagas menghela napasnya, berat. "Mungkin harusnya saya tetap menahan kamu di sisi saya. Harusnya saya lebih menjadi cowok pemaksa. Sampai sekarang saya masih sering memikirkan kita yang dulu. Saya masih sering memikirkan gimana lucunya kamu dan gimana tertawa kamu yang buat saya juga tertawa. Saya rindu semuanya dan kalo bisa saya mau memutar waktu, kembali seperti semula."

Diora menunduk, memainkan jemarinya. Masih belum ada balasan dari Diego. Diora panik.

"Gue gak bisa balik kayak dulu lagi," kata Diora ketika dia mendongak, "mau gimanapun caranya sekarang kita gini. Udah bukan siapa-siapa lagi. Kalo mau balik juga kita cuma tetep jadi temen. Gak lebih."

"Ra, mungkin emang terlambat, tapi apa kamu gak bisa kasih saya waktu?"

Diora serta merta menggeleng. "Lo gak salah Kak, kita pisah emang karena kita gak cocok. Mau kayak mana juga kita emang gak sesuai. Dan harusnya emang gitu."

Lagi-lagi Bagas menghela napasnya berat. Mulutnya sudah membuka namun belum sempat berucap karena saat itu juga Diego datang dan segera mengambil duduk di sebelah Diora.

Kedatangan cowok itu tentu saja mengagetkan mereka berdua. Belum lagi dengan penampilan Diego yang terlihat seperti baru bangun tidur.

"Sori ya gue lama," kata Diego pada Diora. Dia beralih pada Bagas. "Lo ngapain di sini?"

"Saya nyapa Diora. Kebetulan lagi ada urusan juga di sini," kata Bagas. "Saya rasa Diora butuh bantuan saya untuk ngerjain tugas."

"Memangnya dia ada chat lo atau nelpon lo minta bantuan?" tanya Diego dengan gaya menantang. Suaranya berat sarat ancaman.

"Gak ada. Tapi saya cukup sadar diri untuk membantu Diora."

"Lo juga harusnya cukup sadar diri untuk gak ganggu cewek orang."

"Kamu gak tau gimana hubungan saya dengan Diora."

"Gue gak mau tau gimana hubungan lo sama dia dulu. Yang gue tau sekarang Diora itu cewek gue." Diego merangkul Diora posesif. "Dan gue rasa lo juga kayaknya gak bantuin dia. Mau pergi?" Dia menoleh pada Diora.

"Yap. Gue juga ada janji sama Ani tadi," kilah Diora. Berharap semuanya berakhir.

"Silakan kalo mau duluan. Gak apa-apa," ucap Diego pada Bagas, tidak halus tapi tajam.

Bagas mematung sejenak sebelum akhirnya berlalu dari sana dalam langkah pelan.

"Gak usah lo pikirin dia. Pikirin aja tentang kita." Diego membantu Diora merapikan buku. "Mau pinjem ini?"

Diora mengangguk lalu berdiri. Dia diam. Tidak tahu harus berkata apa. Sampai akhirnya Diego meraih satu tangannya dan membawanya pergi dari sana.

Cowok itu memandu Diora ke hadapan mesin pintar guna membantu mahasiswa untuk meminjam dan mengembalikan buku. Diora nampak seperti mayat hidup, tangannya bergerak tanpa dia perintah. Digelengkannya kepala yang diiringi hembusan napas agar kembali teratur. Diliriknya Diego yang mengenakan kaus hitam polos dengan celana jins pudar, sepatu keds yang tidak terikat talinya dan wajah cowok itu masih lesu. Ada kotoran di ujung matanya.

Diego menghela tubuh Diora begitu selesai meminjam buku. Sesampainya di luar perpustakaan, mereka melihat sosok Bagas.

"Lo di sini aja. Sebentar," kata Diego ketika Diora sudah sampai di motor miliknya. Diora mengangguk sementara Diego kini sudah berjalan menghampiri Bagas.

Diora tidak tahu apa yang mereka ucapkan, namun dia masih bisa melihat keduanya cukup tegang. Diego menggeleng berulang kali sementara Bagas nampak menghela napas berulang kali. Beberapa saat kemudian Diego kembali, wajahnya setengah kusut.

"Kenapa?" tanya Diora.

"Gue ceritain nanti. Gak di sini," balas Diego sembari menyerahkan helm pada Diora.

Diora menoleh dari balik bahunya, melihat Bagas masih memerhatikan dirinya sebelum akhirnya dia duduk di boncengan motor Diego dan berlalu dari sana.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang