Delapan Belas

117 26 7
                                    

Diora menarik buku catatan milik Ani dan mulai menyalin hasil tulisan rapi milik temannya itu. Jemarinya bergoyang ke sana kemari, mengulik setiap kertas dengan coretan pena hitam. Diora berdecak ketika tahu tinta penanya ternyata habis. Dia melihat pena milik Rahman yang teronggok di atas kertas, tidak terpakai. Tanpa meminta izin, Diora mengambil pena itu dan menggunakannya.

"Ni, menurut lo kalo kita buat perjanjian kudu ada hitam di atas putih gak, sih?" tanya Diora tanpa mengalihkan fokusnya dari menyalin.

"Ya kalo cuma perjanjian ecek-ecek mah ngapain pake gituan segala. Ngeribetin."

"Gitu," sahut Diora. Dia membalik kertas di bindernya. "Menurut lo ada gak sih perjanjian yang ngerugiin?"

"Ada lah, banyak malah. Lo liat aja dari jaman dahulu pas kita dijajah, perjanjian gak selamanya nguntungin dua belah pihak, Ra," kata Ani yang sedang mengetik di ponselnya.

Diora berhenti menyalin dan mendongak. Sudah seminggu sejak dia menyatakan setuju menjalin kerja sama dengan Diego, tapi belum ada perbincangan lebih lanjut. Kata Diego sih nanti dia akan mengabari Diora untuk membicarakan lebih dalam pasal perjanjian mereka. Selama seminggu ini juga dia tidak terlalu sering melihat Diego, kata Tante Rita sih anaknya itu sedang menginap di rumah teman.

Sejak kemarin, antara menyesal dan semangat, Diora kembali menimang apakah keputusannya itu sudah benar atau belum. Yeah, meskipun harus Diora akui jika jalinan kerja sama mereka tidak terjadi, dia tidak akan rugi.

Diora kembali untuk menyalin. Membiarkan pikiran-pikirannya teralihkan pada hal yang lain sebelum kembali terjun dengan pemikirannya sendiri.

"Woi, ini tugas dari Sir Aga untuk CCU minggu besok. Doi gak bisa masuk jadi ganti tugas," teriak Panji di muka kelas yang menghantarkan getaran senang pada seisi kelas. "Nih ya. Jadi dikumpulnya minggu besok pas pelajaran Cross Culture Understanding."

"Jadi kita gak usah masuk kelas Sir Aga, kan?" tanya Atris dari sebelah jendela.

"Uugh lo, gue lempar penghapus juga nih. Iye kagak masuk. Cuma disuruh ngerjain ini."

"Ya jangan marah-marah dong, Nji. Cepet tua ntar."

"Gue emang udah tua. Puas lo semua?"

Seisi kelas tergelak.

"Kerjain bareng yok," ucap Diora bersemangat ketika Panji mendatanginya untuk menyerahkan selebaran tugas. "Gue kan bego CCU."

"Ya ayoklah. Ke kafe Abang lo aja, Ra. Cozy kan suasananya," sahut Rahman memasukkan kertas ke dalam tasnya setelah sebelumnya dilipat menjadi dua.

"Ah gue setuju!" timpal Panji yang sudah menyelesaikan tugasnya. "Sebelum itu, ayo makan dulu lah. Gue belom sarapan asli. Gemeteran dari tadi udah kayak tremor."

"Hmm pantes dari tadi gue ajak ngobrol gak nyambung," dengus Diora. "Lo semua duluan aja deh. Gue mau ngomongin soal tugas sama Atris."

"Di kantin Beautiful ya."

Diora mengangguk sebelum beranjak menuju Atris membahas tugas kelompok mereka. Tak lama, Diora keluar dari kelas C4 untuk menyusul ketiga temannya. Di saat yang sama, Bagas yang baru keluar dari gedung E itu setengah berseru memanggil nama Diora. Diora melenguh dalam hati.

"Mau makan? Kita makan bareng yuk. Tadi saya juga liat tiga temen kamu ke kantin," kata Bagas ramah. Wajahnya setengah ditutupi bayang-bayang dedaunan di atasnya.

Diora mengerjap, ingin menolak tapi tidak tahu bagaimana caranya. Namun Tuhan begitu baik menghantarkan sosok Diego.

"Lo lama amat baru keluar dari kelas. Gue udah nungguin dari tadi." Diego berdiri di sebelah Diora. Seakan kurang dekat, cowok itu melingkarkan sebelah lengannya di pundak Diora. "Lo gak lupa kan janji lo sama gue?"

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang