Enam

145 28 8
                                    

"Ngape muka lu cemberut gitu?"

Sembari mengenakan helm, Diora mendengkus, "Gue ceritain di kampus ntar. Ayo jalan."

"Gue gak pamitan dulu, nih?" tanya Panji, spion motornya sudah memantulkan sosok Diora yang duduk di boncengan. "Raaa."

"Gak usah, Abang gue belom bangun, nyokap gue lagi ke tetangga sebelah."

"Ha? Eh udah ada yang ngisi aja. Kapan?"

"Ah tau ah. Gak usah bahas tetangga gue. Mending jalan aja," sahut Diora jutek.

"Lah lu galak amat, udah ditebengin juga." Panji manyun.

"Lo mau gue gaplok pake helm?" ancam Diora, kenapa pula Panji ini jadi banyak tanya. Bukannya langsung melajukan motornya saja. "Ntar keburu telat."

Panji yang akhirnya memilih mengalah dan kembali menyalakan motor bebeknya. "Masih ada dua puluh lima menit, dari sini ke kampus cuma tujuh menit, Non. Lo lagi PMS ya?"

"Lo banyak bacot ya, Nji. Udah deh jalan aja."

Mau tak mau Panji akhirnya melajukan motor bebeknya dari sana walaupun setengah kesal.

Selepas mata kuliah pertama, Ani mengajak yang lain untuk pergi ke Teknik karena ingin meminjamkan almamater pada temannya yang akan seminar proposal. Tadinya Diora menolak karena malas bertemu dengan Diego, tapi dia berpikir ulang, mengingat Diego adalah mahasiswa Teknik Sipil jadi kemungkinan bertemu sangat tipis karena Ani mengajaknya ke Teknik Eletkro.

Kepala Diora rasanya ingin pecah saat itu juga, kenapa sih adegan semalam masih membuat kepalanya berdenyut nyeri. Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul sebelas, masih ada dua jam setengah sebelum mata kuliah Advanced Structure dimulai. Diora bersama dengan Panji dan Rahman kini tengah duduk di bangku panjang di bawah pohon di depan gedung Teknik Elektro. Kedua mata Diora tertuju pada ujung sepatunya, memikirkan Diego dengan segala keributan yang sudah terjadi.

"Woi, lo gak tau kalo bangku ini buat kating? Maba kan lo? Woi budeg lo?!"

"Bacot anjir lo! Eh..." Diora nyengir kaku begitu mendongak, di sebelahnya sudah ada dua orang cowok berambut gondrong tengah memandangnya lurus-lurus. "Eh apa tadi? Gue gak denger."

"Bangku ini buat kating. Jurusan apa lo?"

Kedua alis Diora menyatu, dia menoleh dan tidak melihat adanya Panji dan Rahman. Sial, dia ditinggalkan sendiri di sini. Haruskah dia berbohong? Oh ya tentu saja, menurut rumor, mahasiswa teknik tak ada yang ramah. Bisa-bisa nanti dia tamat. Jangan dulu, Diora masih ingin merasakan wisuda. Untung saja dia memakai jins dan kaus, tidak kentara bahwa dia anak FKIP.

"Oh anu, gue jurusan ... Teknik Administrasi."

Duh goblok lo, Ra!

"Hah? Lo pasti bukan anak sini. Anak mana lo?"

Duileh, mana dua orang itu serem-serem banget mukanya, ya Allah tolooooong, batin Diora menjerit.

Diora menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu. "Gini Bang, jadi gue itu lagi nungguin temen. Gue gak kuliah di sini. Beneran." Di sini maksudnya di Teknik.

"Bohong lo. Sekarang push up!"

"Haaa?!" Diora membelalakkan matanya. "Eh jangan dong. Kan gue gak tau jadi wajar, gak ada tulisannya juga di sini."

Diora jadi mati kutu. Dia bingung harus bagaimana, lari bisa saja, tapi dia sedang malas kelelahan. Mana ketiga temannya mendadak hilang begitu saja. Dua cowok gondrong di hadapannya ini begitu mengintimidasi, kenapa sih senioritas di Teknik begitu terasa. Untung saja dia tidak masuk Teknik, bisa-bisa darah tinggi dia.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang