Tujuh

144 28 2
                                    

Pagi itu, sebelum berangkat ke kampus, Diora melihat Mama sedang menyiram kebun bunga kecil di halaman depan. Kebun bunga yang dibangun bersama dengan mendiang Papa. Mama memang menggilai bunga anggrek dan anggrek yang ada di sana terdiri dari beberapa jenis. Diora tidak tahu apa saja, yang jelas itu adalah bunga anggrek.

Saking cintanya dengan bunga anggrek, Mama bahkan pernah memarahinya dua hari dua malam karena tidak sengaja menyenggol pot hingga pecah, padahal bunganya saja tidak tergores sama sekali. Benar-benar seperti anak sendiri. Begitu disayang. Semenjak saat itu Diora jadi lebih hati-hati jika melewati halaman depan rumah.

"Dek, lo mau ikut gak nanti? Gue sama Oliv mau ke PH," kata Wildan tanpa melepas pandangan dari ponsel. Sedannya berderu menyala.

"PH-nya Pizza Hut bukan?" Diora memastikan dengan wajah berbinar dan semakin berbinar ketika Wildan mengangguk. "Wiih enak nih. Gue ajak tiga orang temen gue, ya? Eh tapi ada acara apaan, sih?"

"Oliv diterima agensi."

"Ha? Wah anjir, keren juga Kak Oliv bisa jadi model. Gue jadi pengen kayak dia."

Diora akui jika pacar kakaknya—Olivia—memang rupawan dengan tubuh semampai, jujur saja, Olivia orangnya supel dan loyal, mau berbagi cerita dan saling bantu. Bukan hanya membantu ucapan tapi perempuan itu juga sesekali membantu kegiatan Wildan di kafe. Diora sih sudah seratus persen setuju jika kakaknya akan menikahi Olivia nanti.

"Jangan jadi Oliv deh, lo cukup jadi Diora aja." Wildan tersenyum mencemooh. "Soalnya sifat lo gak cocok."

"Ih bangke lo ya!" Diora mendengkus seraya mengikat tali sepatu. "Aaah, liat geh sepatu gue udah kelaperan, dipake terus hampir satu tahun setengah. Uh cup. Cup. Sayang."

Wildan yang mengerti jika Diora sedang memberi kode agar dibelikan sepatu baru itu hanya bisa geleng-geleng kepala. "Buruan, ntar lo telat lagi."

"Masih ada setengah jam kali."

Saat itu juga Tante Rita datang dengan satu tangan memegang rantang. Mama yang masih menyiram bunga itu berhenti, mematikan keran dan menghampiri Tante Rita, keduanya mengobrol sejenak sampai akhirnya Tante Rita melihat Diora yang sudah rapi.

"Lho Diora udah mau berangkat kampus?" tanya Tante Rita.

Diora mengangguk. "Iya nih, Tan."

"Gak bareng sama Diego aja? Dia juga mau berangkat ke kampus."

Mending Diora naik kerbau saja daripada bersama dengan Diego. "Oh gak usah Tante, makasih. Nanti yang ada saya malah dibawa ke penjara sama dia."

"Hush! Mulut kamu ini, ya!" tegur Mama dengan mata melotot. "Maaf ya, Mbak. Oh iya, nanti jadi kita ngerajutnya?"

"Oh jadi toh Mbakyu. Wong benangnya wes tak siapin di rumah," balas Tante Rita.

"Ma, aku berangkat ya. Tante. Assalamualaikum." Diora berpamitan tanpa perlu menunggu obrolan dua orang itu terjeda, sudah bisa ditebak masih akan lama. Dia duduk manis di kursi mobil.

"Lo kenapa sih sama anak sebelah gak akur amat?" tanya Wildan seraya memundurkan mobil dari halaman rumah. "Lo liat tuh coba, dia bawa motor gede."

Dari dalam mobil, Diora bisa melihat sosok Diego yang berdiri di samping motor sport. "Ah bodo amat. Mau dia naek motor yang rodanya tiga juga masa bodo. Gue benci sama itu orang."

"Eh inget lho ya, benci itu bisa—"

"Gue buang dari mobil juga nih ya lo!"

"Emangnya lo bisa bawa mobil sendiri?" Satu alis Wildan naik, dia tahu Diora tidak bisa mengendarai mobil, jangankan mobil, motorpun tidak bisa. Wildan terkekeh. "Dek, Dek. Udah tua gak bisa bawa kendaraan."

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang