Empat Puluh Empat

107 24 4
                                    

Diora merasakan gurih dan segar dari udang yang baru saja dia gigit sebagai lauk makan malam, seketika dia bangkit dan berjalan ke arah Diego. "Ada udang di sayur kentangnya," katanya, menunjuk kepada kentang saus asam manis yang ternyata bercampur udang. "Gue pindahin dulu."

Sementara sendok di tangan Diora sibuk memindahkan semua kentang saus asam manis ke atas piring cewek itu, Diego memerhatikan dalam diam.

"Udah. Gue gak mau liburan ini jadi buat lo susah, kenapa Sarah gak tau yang kayak gini?" dengus Diora, sekejap dia tersadar. "Sori, gue gak ada maksud."

"Dia emang kayak gini. Makasih, Ra," ucap Diego pelan. "Temenin gue."

Diora mengangguk dan mengambil duduk di sebelah Diego dan itu juga yang membuat Sarah memandanginya dengan api berbalut dinginnya senyum.

Selepas makan, Diora memilih untuk undur diri dan memasuki rumah bersama dengan Kinar. Semenjak memasuki mobil Gilang kala itu, Kinar sudah dianggap sebagai teman baik oleh Diora. Keterdiaman cewek itu setidaknya mampu membuat Diora tenang tanpa harus berkata apapun yang membuatnya jengah.

Pukul sepuluh malam tepat ketika Diora melirik arloji di tangannya. Kinar sudah tertidur sejak setengah jam yang lalu, meninggalkan dengkur halus. Sementara Diora masih membuka matanya lebar-lebar tanpa adanya rasa kantuk. Besok mereka sudah kembali dan Diora sudah tidak sabar menantikannya. Meninggalkan segala resahnya di pulau cantik ini. Jika saja Diora tidak dalam keadaan demikian, niscaya dia sudah mengompori ketiga temannya yang belum pernah kemari sama sekali.

Diora tidak bisa tidur, hingga dia memutuskan untuk keluar. Kamar sebelah yang dihuni oleh Sarah dan temannya itu masih terdengar berisik. Diora beranjak keluar dan segera mendapati tubuhnya yang tertiup angin malam nan dingin. Dia tidak kembali untuk mengambil jaket alih-alih Diora tetap melangkah. Merasakan deru angin yang semakin menusuk sehingga dia harus memeluk tubuhnya sendiri. Merasa begitu konyol namun Diora menyukainya. Merasakan sensasi yang tak sedingin dengan khayalannya sekembalinya mereka dari sini.

Kakinya berbelok, sebelah tangannya menari di atas dedaunan yang melambai mengajaknya menari. Pasir-pasir terasa sudah menaiki sandal yang dia gunakan, sesekali dia mengibaskan sandal itu agar pasir hilang karena telapak kakinya terasa tak nyaman. Dia kembali berbelok menyusuri jalanan kecil, pijar-pijar nyala lampu tertangkap matanya, suasana tidaklah terlalu hening namun menenangkan.

Kepalanya mendongak dan mendapatkan siluet seseorang yang sedang berdiri. Bukan. Melainkan dua orang. Karena sudut pandang yang kurang jelas, Diora mendekatkan diri sembari melangkah perlahan dan tanpa suara. Nyala lampu di depannya menyulitkan mata Diora hingga dia harus menyipit untuk melihat siapa dua manusia yang memiliki tinggi hampir sama itu. Postur tubuhnya sudah menjelaskan semua. Sarah dan Diego.

Diora bisa melihat jika Sarah mengalungkan lengannya ke leher Diego dengan lembut dan Diego tidak menolak. Ya, kenapa juga dia harus menolak toh Sarah memang yang diinginkannya. Tubuhnya yang tadinya bisa Diora tatap berputar sehingga Diora hanya bisa menatap punggung Sarah. Tanpa sadar Diora menahan napasnya menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tubuhnya yang tertutup pohon dan juga dedaunan memungkinkannya tidak terlihat, tapi degup jantungnya yang semakin bertalu-talu niscaya membuat siapapun terbangun dari tidur.

Harusnya dia merasa senang. Harusnya dia merasa bahagia terlepas dari sosok Diego yang menyebalkan, alih-alih demikian bayangan senyum dan tawa Diego lah yang terngiang di kepalanya kini.

Diora terkesiap pelan dan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, kakinya hampir saja gemetar dan tidak bisa melangkah dari sana. Dengan penuh tekad, Diora berbalik, berjalan memasuki kegelapan. Menjauh dari dua sosok yang sedang... berciuman.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang