Sebelas

115 25 2
                                    

"Lho Ma, Bang Wildan mana?" Diora yang tadi sudah keluar rumah terpaksa kembali masuk karena tidak melihat mobil Wildan.

Tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel, Mama berujar, "Wildan kan udah pergi pagi tadi. Kamu gak tau?"

"HAA?!" Diora berseru hingga Mama menutup kedua telinga. "Kok gitu? Aku ditinggal gitu jadinya? Ish, kan. Tau gini dari tadi aku pesen Gojek. Mana udah siang."

"Kebiasaan kamu kalo berangkat santai-santai, telat kan." Mama mencubit pinggang Diora. "Udah sana cepet, liat tuh udah jam berapa."

Diora merutuk karena tak ada satupun driver tersedia, kalau adapun Diora langsung ditolak. Aduh, alamat dia harus menaiki angkutan umum kalau begini, naik taksi online ongkosnya pasti mahal. Rutukannya tanpa sadar membuat dia kini sudah sampai di depan gerbang rumah Diego, klakson nyaring terdengar begitu mengejutkan hingga Diora hampir melempar ponselnya.

"Lo emang punya kebiasaan maen hape sambil jalan ya?" ketus Diego membuka kaca helm. Kedua alisnya menukik tajam dengan mata elang yang menusuk. "Minggir!"

Diora menyugar rambutnya yang tidak dia ikat, telapak tangannya terasa sedikit lengket. "Idih, gak sopan. Lo yang mau nabrak kok gue yang dimarahin."

"Lho Diora belum berangkat? Gak dapet ojek ya?"

Diora melirik Tante Rita melalui bahu Diego. "Eh belum, Tan."

"Udah jam berapa ini? Kamu berangkat sama Diego aja ya biar gak telat."

"Gak, Bun!"

"Gak usah, Tan!"

Tante Rita mengibaskan tangannya di udara lalu dengan cepat dia berbalik dan berlari. Dalam waktu singkat, Tante Rita sudah kembali dengan helm yang segera dipakaikan di kepala Diora. Diora berdiri kaku, mematung dengan bibir terkatup erat.

"Cepet naik, Ra. Diego, pelan-pelan bawa motornya," ucap Tante Rita yang kini berdiri di sebelah motor Diego.

"Bun, aku gak mau. Ngapai—"

"Diego!" sergah Tante Rita dengan mata melotot.

Diego mendengkus malas lalu berdecak. "Buru!"

Diora bisa merasakan tangan Tante Rita yang menuntunnya menaiki bocengan motor Diego dengan lembut dan penuh kasih sayang. Sementara Diego menatap jalanan di depannya tanpa mau melepas kedua tangan dari stang motor untuk membantu Diora duduk. Beberapa sekon berlalu, tubuh Diora masih mematung, bibirnya masih melekat satu sama lain dan isi otaknya menghilang begitu saja.

Aplikasi angkutan online di ponselnya masih belum menemukan driver sama sekali hingga Diora menutup aplikasi itu begitu kesadaran datang.

Diego sudah melajukan kendaraan itu, motor sport yang membuat Diora bingung harus berpegangan di mana yang akhirnya membuat dia mencengkeram lengan ranselnya. Selama perjalanan, hanya suara deru knalpot dan desing angin yang mengisi keduanya juga dengan aroma parfum milik Diego yang tercium jelas oleh Diora.

"Lo gak mau turun?"

Diora tersentak, motor Diego sudah berhenti di depan fakultas. Buru-buru Diora turun dan hendak membuka helm ketika deru motor Diego meraung membelah jalanan. Sial, Diego meninggalkannya begitu saja dengan helm ini.

"Lo kok bawa helm?" tanya Ani heran begitu melihat Diora menenteng helm. "Lo udah bisa bawa motor?"

"Kagak. Ini helm tetangga gue, tadi berangkat bareng." Diora melempar badannya asal ke kursi di sebelah Ani dan hampir terjatuh karenanya.

Bibir Ani membentuk huruf O. "Lah gak sama kakak lo?"

"Gak tau, dia malah udah pergi, gue ditinggalin gitu aja," gerutu Diora. "Tumben doi gak marah pas gue dateng." Kediknya pada dosen yang tengah memandang ponsel dengan sebelah tangan mengangkat kacamata hitam gelapnya.

The Partner Next Door✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang