***
Lisa berdiri di atas sebuah panggung. Panggung yang begitu megah, dengan gemerlap cahaya lampu dari atapnya. Harusnya panggung itu terasa panas, harusnya sorot lampu warna-warni itu terasa sangat panas, namun kali ini semuanya terasa begitu dingin, seolah ada ratusan penyejuk ruangan yang dinyalakan sekaligus. Rasa dinginnya menusuk tulang, namun Lisa tetap berdiri di tengah-tengah panggung itu.
Dengan bingung Lisa berjalan ke bagian depan panggung. Ada sebuah microphone di sana dan Lisa mengambilnya. "Apa ada orang di sini?" tanya Lisa, dengan microphonenya karena ia tidak bisa melihat apapun selain panggung bercahaya yang kosong.
Sorak dan tepuk tangan sayup-sayup terdengar. Lisa bertanya sekali lagi dan saat ia mengedipkan matanya, di depannya kini ada ratusan bahkan ribuan orang yang bersorak padanya. Lisa tidak mengenali orang-orang itu, tapi mereka semua bersorak dengan wajah yang begitu datar. Samar-samar Lisa mendengar ungkapan-ungkapan cinta. Aku mencintaimu, Lalisa kau ratuku, Lalisa kau panutanku, Lisa aku tidak bisa hidup tanpamu, Lisa kau sangat cantik, Lisa kau begitu berbakat, Lisa kau hebat dan banyak pujian lainnya terdengar memenuhi ruangan. Anehnya, orang-orang yang berseru itu, mereka yang bersorak memasang wajah yang sangat datar, sangat menakutkan.
"Jangan khawatir Lisa! Walaupun agensi bersikap tidak adil padamu, kami akan tetap bersamamu!" sebuah teriakan lain terdengar, namun mereka yang berteriak tetap memasang raut wajah datar. Menakutkan.
Disaat yang sama, sebuah cahaya menyilaukan muncul dari belakang orang-orang berwajah datar itu. Cahayanya berwarna putih tanpa ujung, seperti sebuah jalan tanpa akhir dan di sana berdiri orang-orang yang Lisa kenal. Ada Jiyong di sana, berdiri memunggunginya sembari tertawa dengan orang di sebelahnya. Ada Jisoo juga disana, menggandeng seorang anak kecil– yang tidak Lisa kenal– dan tertawa bersama anak itu. Ada Rose di sana, juga Jennie. Jennie menggandeng Danny Chung di sana. Keduanya terlihat akur, walau Lisa sangat tahu kalau beberapa hari terakhir ini Danny menghindari Jennie juga anggota Blackpink lainnya.
"Eonni! Kemana kau akan pergi?!" seru Lisa, dengan microphonenya. Gadis itu memanggil orang-orang yang dikenalnya, satu persatu ia panggil nama orang-orang itu, namun tidak satupun dari mereka yang menoleh. Satu-satunya hal yang berubah hanya suara sorak manusia berwajah datar yang jadi semakin keras. "Eonni! Oppa! Jiyong oppa! Jiyong oppa! Eonni! Kwon Jiyong! Oppa! Lihat kemari! Oppa! Jiyong oppa!" jerit Lisa, yang lama-kelamaan mulai merasa putus asa. Jeritannya hanya membuat sorak sorai manusia berwajah datar semakin keras. Jeritannya sama sekali tidak membuat orang-orang yang ia panggil menoleh. Air mata mulai menggenang, rasa takut semakin menekan, hawa dingin semakin menusuk. "Oppa... Jiyong oppa! Lihat aku! Sekali saja! Eonni! Lihat aku! Oppa... Lihat aku... Sekali saja! Sekali saja, kumohon, lihat aku! Tunjukan wajahmu padaku sekali saja... Sekali saja, lihat aku sekali saja... Biarkan aku melihat kalian sekali lagi... Sekali saja..."
Lagi-lagi mimpi yang sama.
Berkat mimpi itu, Lisa bangun mendahului suara alarmnya. Gadis itu bangun lebih dulu dari suara ketukan pintu yang biasanya dibunyikan managernya. Ia membuka matanya yang basah, kemudian mengusapnya. Ternyata, air mata yang keluar dalam mimpinya juga keluar dari matanya.
Handphone yang semalam tidak sempat ia isi baterainya kini dalam keadaan mati. Mungkin semalam ada banyak orang yang menghubunginya, pikir Lisa sembari bangkit untuk mengisi daya handphonenya itu. Ada banyak sekali pesan dari nomor-nomor yang tidak ia simpan. Panggilan tak terjawab pun menumpuk dalam riwayat panggilannya. Nomor-nomor tak di kenal itu mungkin berasal dari para reporter yang entah bagaimana bisa mendapatkan nomor teleponnya. Atau dari beberapa fans yang juga tidak tahu bagaimana bisa mendapatkan nomor telepon itu. Lisa tidak banyak ambil pusing tentang panggilan dan pesan-pesan itu. Namun sebuah pesan dari Jisoo membuatnya tidak bisa melepaskan handphonenya yang baru saja menyala. "Ingin pergi lari berolahraga bersamaku?" tanya Jisoo dalam pesannya.
Singkat cerita, Lisa pergi berolahraga dengan Jisoo di sebuah pusat kebugaran yang buka dua puluh empat jam, masih di kawasan komplek apartemen tempat tinggal mereka. Lisa dan Jisoo bertemu di jalan depan pintu utama gedung apartemen masing-masing kemudian berjalan bersama menuju tempat kebugaran itu. Saat itu jam masih menunjuk pukul lima pagi dan Jisoo bilang ia baru saja terbangun dan tidak bisa tidur lagi, padahal di luar masih cukup gelap untuk beraktifitas. Beruntung karena Lisa bangun dan ia punya seorang teman untuk menghapus kesepiannya pagi ini.
Kira-kira satu jam mereka berolahraga bersama. Di akhir olahraga itu, Lisa berjalan di atas treadmillnya, sedang Jisoo bangkit dari sepeda statis di sebelah Lisa dan mengatakan kalau ia harus ke toilet. Lisa mengiyakannya, sedang Jisoo berlari ke toilet setelah ia menjahili Lisa dengan menekan tombol kecepatan di atas treadmill gadis itu. Jisoo sedikit mempercepat laju treadmill itu kemudian berlari sembari terkekeh, mengabaikan Lisa yang mengeluh karena kejahilannya.
Kira-kira tidak sampai satu menit setelah Jisoo pergi, dua orang wanita kantoran naik ke atas treadmill di sebelah Lisa. Kedua orang itu sedang membicarakan teman mereka yang hamil sebelum menikah saat mulai berlari. Seorang wanita dengan baju olahraga pink bicara pada temannya yang memakai baju hitam. Katanya Jisoo si manager marketing mengugurkan bayinya lalu bertengkar dengan Yoongi si anak magang alias ayah bayi itu.
"Aku mengerti kalau Jisoo malu karena berkencan sampai hamil dengan si anak magang itu. Maksudku, dia manager dan Yoongi hanya anak magang yang belum jelas masa depannya. Tapi mengugurkan anak yang tidak tahu apa-apa sangat keterlaluan. Betapa jahatnya dia karena membunuh anak yang tidak tahu apa-apa itu," cibir si wanita berbaju pink kepada temannya yang memakai baju hitam. "Itu sebabnya kita butuh sex education. Apa yang kau harapkan dari seks tanpa kondom? Kulkas dua pintu? Kalau tidak mau hamil harusnya dia pakai kondom, benar-benar bodoh. Bagaimana bisa seorang manager sepertinya tidak mampu membeli kondom? Atau... Kalau memang tidak mampu membeli kondom, jangan bercinta. Dia... Kurasa Jisoo dan si anak magang adalah contoh dari manusia bodoh yang tidak bisa menahan nafsu binatang mereka, iya kan? Lalu karena nafsu binatangnya itu, dia jadi pembunuh, benar-benar mengerikan, kurasa kiamat akan datang sebentar lagi? Makin banyak saja orang yang mendahulukan nafsu mereka," cibir si pink sedang si pakaian hitam hanya berlari di atas treadmillnya sembari mendengarkan.
Lisa yang ada di sana merasa jengah dengan ucapan-ucapan itu. Seperti yang Regis tulis dalam bukunya– Loving The Wounded Soul– stressor adalah peristiwa yang netral, respon dari stressor itulah yang membuatnya bermakna. Bagi si baju pink, peristiwa yang menimpa manager marketing dan anak magang itu adalah hal netral. Tapi bagi orang lain– si manager, si anak magang atau bahkan Lisa yang pernah menyaksikan sendiri bagaimana peristiwa seperti itu terjadi– peristiwa yang mereka bicarakan bukan lagi sebuah hal netral. Ada kedekatan emosional di antara Lisa juga manager dan anak magang yang sedang dibicarakan itu. Kedekatan emosional yang kemudian berubah menjadi stres.
"Eonni," seru Lisa, tiba-tiba bergabung dalam pembicaraan dua pegawai kantor itu. "Maaf aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Tapi, bukankah mulut orang-orang yang sebenarnya membunuh anak itu? Kita tidak tahu alasan mereka bercinta, bisa saja mereka bersetubuh karena mereka memang jatuh cinta. Kondom? Bukankah tingkat keberhasilan kondom hanya delapan puluh persen? Mungkin mereka adalah bagian dari dua puluh persen yang kondomnya gagal. Tapi kita bicara seolah kita tahu segalanya, kita membicarakan mereka, menyalahkan mereka yang hamil sebelum menikah, mencibirnya, menghancurkan hidup dan rasa percaya dirinya. Kemudian membuatnya menyerah dan mengugurkan bayinya. Mungkin dia berfikir lebih baik anak itu tidak perlu lahir, dibanding ia harus lahir dan mendengar komentar orang-orang tentang kelahirannya? Siapa yang tahu?"
***
![](https://img.wattpad.com/cover/229998308-288-k715430.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hampir
FanfictionApa kata yang paling menyedihkan di dunia? Hampir. Aku hampir cukup baik. Dia hampir mencintaiku. Aku hampir bisa. Kita hampir berhasil. Kita hampir bertahan.